Pada
tanggal 9 April 2019 beredar video kapal Indonesia yang nampak sedang
berkejaran dengan kapal patroli Malaysia di Selat Malaka. Menurut video,
kapal Malaysia mengusir atau memprovokasi kapal Indonesia di perairan
Indonesia. Dari berita, hal ini terjadi setelah patroli Indonesia
menangkap kapal nelayan Malaysia yang dianggap beroperasi di perairan
Indonesia. Apakah yang terjadi?
Perlu dipahami bahwa batas maritim
Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka bagian utara memang belum tuntas
untuk pembagian Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Sementara itu, garis batas
landas kontinen sudah ditetapkan tahun 1969. Maknanya, pembagian dasar
laut (landas kontinen) sudah tuntas tetapi pembagian air lautnya (ZEE)
belum jelas.
Pertanyaannya, kalau garis batas air laut
belum disepakati, mungkinkan mengatakan kapal berada di perairan suatu
negara atau melanggar batas? Jika dua tetangga belum penetapkan pagar di
antara mereka, mungkinkah salah satu dari mereka melanggar pagar?
Yang menarik, meskipun belum menyepakati
batas ZEE, Indonesia dan Malaysia sudah menyampaikan usulan/klaim
masing-masing. Ternyata kedua garis usulan ini berbeda satu sama lain.
Secara sederhana, bisa dikatakan bahwa kedua belah pihak menginginkan
ruang laut yang seluas mungkin bedasarkan intepretasi mereka atas hukum
laut yaitu Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Perbedaan klaim kedua negara ini
menimbulkan tumpang tindih ruang laut. Intinya, ada ruang laut di Selat
Malaka yang sama-sama diklaim oleh Indonesia maupun Malaysia dengan luas
sekitar 14,300 kilometer persegi. Sangat luas, seperti yang terlihat
pada gambar berikut (bit.ly/PetaMalaka)
Tidak berhenti sampai di sana, kedua
negara mencoba untuk menguatkan klaim masing-masing dengan cara hadir di
ruang tumpang tindih tersebut. Kapal Indonesia dan Malaysia umumnya
melakukan patroli dan penangkapan ikan di sana. Insiden kerap terjadi.
Jika patroli Indonesia mendapati kapal nelayan Malaysia beroperasi di
Kawasan tersebut, maka Indonesia akan menangkap Malaysia. Sementara itu,
petugas patroli malaysia (kapal maupun helikopter) yang mengetahui
penangkapan itu tentu saja tidak akan tinggal diam. Karena sudah
merupakan tugasnya, petugas Malaysia akan berusaha mencegah penangkapan
itu dan meminta agar patroli Indonesia melepaskan nelayan Malaysia. Hal
sebaliknya tentu juga terjadi di kawasan tersebut.
Yang perlu diingat, Indonesia dan
Malaysia sudah menyepakati Memorandum of Understanding (MoU) tahun 2012
tentang pedoman bersama terkait perlakuan terhadap nelayan oleh lembaga
penegakan hukum di kedua negara di kawasan tumpang tindih. MoU ini
sejatinya untuk meredakan ketegangan akibat saling klaim dan tentu tidak
untuk menuntaskan batas yang masih tertunda. Maka menjadi penting untuk
dipastikan bahwa sebenarnya kedua negara telah bersikap sesuai dengan
MoU tersebut selama bertugas di lapangan.
Pertanyaan berikutnya, apakah insiden
yang diberitakan dalam video pendek yang beredar belakangan ini terjadi
di kawasan tumpang tindih atau tidak? Jika ya, maka ceritanya seperti
yang dijelaskan di atas. Jika tidak, maka perlu dipastikan dahulu apakah
lokasi tersebut termasuk kedaulatan atau kewenangan Indonesia atau
Malaysia. Untuk ini perlu diketahui koordinat posisi insiden secara
akurat agar analisis dan keputusan bisa diambil dengan cermat. Peran
disiplin penentuan posisi seperti Geodesi sangat penting dalam hal ini.
Sementara itu, situs Malaysia, My Metro,
menegaskan bahwa pihak Malaysia yakin bahwa nelayannya beroperasi di
kawasan tumpang tindih. Oleh karena itu, menurut aparat Malaysia,
semestinya Indonesia tidak menangkap mereka dan cukup mengusir saja
sesuai dengan MoU tahun 2012. Rupanya terjadi perbedaan pandangan dan
eksekusi di lapangan antara kedua negara.
Pertanyaan mendasar, mengapa batas
maritim antara kedua negara belum tuntas padahal aturan di UNCLOS sudah
jelas? UNCLOS memang mengatur hak dan kewenangan suatu negara atas ruang
laut tetapi dalam hal menetapkan batas ZEE (air laut) UNCLOS tidak
mengatur secara pasti metode yang dipakai. Pada pasal 74 UNCLOS hanya
menegaskan agar kedua negara dapat mencapai solusi yang adil. Tentu saja
istilah “solusi yang adil” ini bisa menimbulkan beragam interpretasi.
Bisa dipahami, kedua pihak pasti mengusulkan yang lebih menguntungkan
pihaknya. Hal inilah yang menyebabkan negosiasi batas maritim bisa
berlangsung puluhan tahun.
Kesimpulannya, batas maritim antara
Indonesia dan Malaysia belum tuntas dan ada ruang tumpang tindih di
Selat Malaka. Kedua negara sudah menetapkan MoU tahun 2012 dan harus
menjadikannya pedoman dalam memperlakukan nelayan di kawasan tumpang
tindih itu. Insiden di Selat Malaka belakangan ini nampaknya terjadi
karena ketidakpatuhan pada MoU tersebut. Kedua negara harus bekerja
keras untuk menuntaskan batas maritim demi pertetanggan yang baik.
Seperti kata Robert Frost, “good fences make good neighbors”.
Tiga Alasan KKP Layangkan Protes Keras ke Malaysia
Kembali 2 Kapal Illegal Fishing Malaysia di Tangkap Aparat KKP
Baca Berita Pelaku Illegal Fishing Lainnya
Untuk
kebutuhan Air Minum yang menyehatkan coba konsumsi Air Izaura Air yang
terbukti dapat membantu proses penyembuhan Kegemukan, Migran, Alergi,
Sakit Maag, ASam Urat, Nyeri Sendi, Sambelit, Saking Pinggang,
Osteiporosis, Reumatk, Kanker, Vertigo, Ashma, Brinchitis, Darah Tinggi,
Kencing Batu, Kolestrol, DIABetes, Jantung, Darah Rendah, Jerawat',
WAsir dan Batu Ginzal. Dan menghilangkan racun dalam tubuh.
Mau Sehat dan Menyehatkan Minum Air Izaura
Mau Meraih Penghasilan Besar, Membantu Kesehatan Semua Orang dan Memiliki Bisnis Yang Mudah Anda Jalankan dengan Modal 350 ribu s.d 500 ribu. Berminat Hub Mukhtar, A.Pi HP. 081342791003
Mau Meraih Penghasilan Besar, Membantu Kesehatan Semua Orang dan Memiliki Bisnis Yang Mudah Anda Jalankan dengan Modal 350 ribu s.d 500 ribu. Berminat Hub Mukhtar, A.Pi HP. 081342791003
Cari Kos Kosan di Kota Kendari ini
tempat
Menerima pesanan
Kanopi, Pagar Besi, Jendela
dengan Harga
Murah dengan Sistim Panggilan.
Miliki Kavling tanah
di Pusat Pemerintahan Kabupaten Bima di GRIYA GODO PERMAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar