FAO mengadopsi suatu pedoman
pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab (Code of Conduct for
Responsible Fisheries = CCRF) pada tahun 1995, yang berarti semua
negara anggota termasuk Indonesia memiliki kewajiban politik dan moral untuk
mengelola perikanan di negaranya sesuai dengan kaidah FAO yang telah
disepakati.
Sistem perumusan suatu dokumen di
FAO yang mengikat melalui proses pembahasan bersama semua negara anggota, jadi
dokumen CCRF tersebut juga melibatkan delegasi Indonesia secara aktif. Oleh
karenanya, jika ada negara yang enggan menerapkan kaidah pengelolaan perikanan
yang bertanggung jawab maka negara tersebut sebenarnya harus malu dalam
hubungan internasional, karena mengkhianati komitmennya sendiri. Bagaimana
dengan pengelolaan perikanan (khususnya perikanan tangkap) di Indonesia? Apakah
sudah sesuai dengan CCRF dan apa perlunya mematuhi CCRF tersebut?.
Data FAO menunjukkan bahwa ikan
untuk konsumsi manusia mengambil porsi 18% dari protein hewani; nilai
perdagangan ikan dunia lebih dari 50 Milyar USD per tahun; produksi total 117
juta ton per tahun (74% penangkapan dan sisanya budidaya). Isyu penting yang
dihadapi perikanan dunia meliputi: ketersediaan pangan untuk manusia; mata
pencaharian untuk nelayan dan pembudidaya kecil; konservasi dan manajemen
sumberdaya; overfishing (lebih tangkap) dan over capacity
(kapasitas berlebih); degradasi lingkungan; dan ikan yang dibuang (discard).
Tujuan mulia CCRF adalah
1) Terwujudnya manfaat yang lestari dalam hal
pangan, tenaga kerja perdagangan, ekonomi bagi manusia seluruh dunia;
2) Menyediakan prinsip dan standard yang dapat
diterapkan dalam konservasi dan manajemen perikanan.
Permasalahan yang dihadapi Perikanan
Tangkap di Indonesia adalah masih tingginya illegal fishing, terjadinya overfishing
dan over capacity sebagai dampak dari manajemen yang amburadul,
menurunnya stock sumber daya ikan, makin menurunnya hasil tangkapan per unit
upaya (Catch Per Unit of Effort = CPUE), makin tingginya biaya operasi
melaut sebagi dampak makin lamanya hari operasi, serta makin menurunnya profit
margin.
Apakah ini berarti pengelolaan perikanan
tangkap tersebut belum sesuai CCRF?, jawabannya pasti ya. Coba kita
bandingkan dengan pengelolaan di negara-negara lain.
Ada dua kelompok negara sebagai
pembanding, satu kelompok adalah yang menerapkan manajemen ketat sesuai CCRF
yaitu negara-negara Australia, Eropa (Islandia, Norway dan negara Scandinavia
lain), dan Canada.
Kelompok kedua adalah negara-negara
yang tidak menerapkan manajemen ketat seperti Malaysia, Thailand, Philippine,
Vietnam, Burma, Cambodia. Terjadi perbedaan yang sangat mencolok, untuk
negara-negara kelompom pertama ternyata terjadi kelestarian stock ikan dan
manfaat ekonomi yang didapat sungguh sangat tinggi, mampu menghasilkan devisa
dan PDB yang tinggi serta menjadi andalan ekonomi negara. Untuk kelompok ke
dua, terjadi sebaliknya yaitu stock makin menurun, degradasi lingkungan dan
manfaat ekonomi sangat rendah. Itulah sebabnya kapal-kapal ikan mereka merambah
ke perairan kita secara illegal. Lalu dimana posisi Indonesia?
Manajemen perikanan tangkap di
Indonesia masih jauh dibandingkan dengan negara-negara kelompok pertama, namun
berada di atas sedikit dari negara-negara kelompok kedua yang notabene pelaku
illegal fishing di Indonesia. Apabila tidak ada perbaikan manajemen, maka dalam
waktu tidak lama lagi Indonesia akan mengalami hal yang sama dengan Malaysia
dan Thailand yaitu stock ikan habis dan nelayan mencuri ikan di negara lain.
Indikator terjadinya over fishing dan over capacity saat ini sudah semakin
jelas.
Over fishing adalah penangkapan yang
melebihi tingkat kelestarian sedangkan over capacity adalah kapasitas
penangkapan (modal, upaya, hari melaut) yang makin tinggi namun hasil makin
menurun. Indikatornya meliputi:
1) Makin
langkanya jenis ikan tertentu di suatu kawasan (misalnya Kakap Merah di Laut
Arafura);
2) Nelayan artisanal makin sulit mendapatkan
ikan di jalur dekat pantai; 3) CPUE makin menurun (misalnya hook rate
Tuna menurun drastis);
4) Makin lamanya hari operasi melaut untuk
menangkap ikan (terjadi di semua kapal saat ini);
5) Ukuran ikan yang ditangkap makin kecil;
6) Usaha penangkapan ikan makin merugi. Parahnya
kondisi tersebut tidak lain disebabkan oleh Kebijakan dan regulasi pelaksanaan
yang tidak jelas, tidak mengacu kepada CCRF dan tidak berorientasi kepada masa
depan kelestarian sumber daya serta tidak berpihak kepada nelayan dan nasib
rakyat kecil.
Bukti amburadulnya manajemen
perikanan tangkap dapat dilihat dari fakta sebagai berikut:
Pertama,
tidak ada penetapan JTB (jumlah tangkapan yang diperbolehkan) yang
seharusnya dijadikan acuan dalam menetapkan jumlah maksimum izin. Seharusnya
JTB paling tidak ditetapkan tiap tahun dan hal tsb merupakan tugas Menteri
sebagaimana diatur dalam UU Perikanan nomor 31 tahun 2004 pasal 7.
Kedua, jumlah izin penangkapan saat ini terlalu banyak (terutama
kapal di atas 30 GT), bandingkan pada tahun 2003 hanya sekitar 3000 izin dan
saat ini lebih dari 5000. Otoritas yang mengeluarkan izin terkesan tidak
punya referensi dan tidak ada perhitungan rasional, kebijakannya sporadis dan
tidak akuntabel berdasarkan ilmu dasar perikanan. Sungguh naif dan ironis
apabila ada statement pejabat yang mengatakan bahwa masih perlu ditingkatkan
armada kapal tanpa ada angka referensi.
Ketiga,
menaikkan tarif PHP (pungutan hasil perikanan) di tengah kondisi CPUE makin
menurun, merupakan hal yang kontradiktif. Bagi kapal eks asing tarif dinaikan
100% tidak masalah karena masih untung, mengingat cara menangkapnya
kebanyakan melanggar aturan kelestarian, alias keruk habis habisan. Kebijakan
yang berpihak dapat dilaksanakan misalnya bagi kapal eks asing (yang masih ada
ABK asing) tarif naik 200% dan kapal asli Indonesia dengan ABK Indonesia tidak
dinaikan atu naik 30%.
Keempat, arah kebijakan tidak menuju kepada prinsip ke hati-hatian (precautionary
approach) sebagimana prinsip CCRF, di tengah data stock atau MSY
(maximum sustaniable yield) meragukan (data yg digunakan hasil survey th
2001 yaitu 6.4 juta ton?), namun justru gegabah dalam menentukan jumlah izin.
Saat ini diperlukan kebijakan
radikal yang dapat menyelematkan kondisi perikanan Indonesia dari keterpurukan
dan kekhawatiran habisnya stock dalam waktu beberapa tahun, antara lain:
Pertama,
segera lakukan perhitungan JTB dan tetapkan dengan Peraturan Menteri berapa
maksimal jumlah izin. Penetapan JTB dapat dilakukan dengan perhitungan cepat
sampling hasil tangkapan atau yang disebut metode holistic dalam
perhitungan stock ikan, tidak perlu beralasan menunggu metode analitic
yang memerlukan waktu lama dan biaya mahal. Balitbang KKP sangat berperan dalam
hal ini.
Kedua, menerapkan
manajemen ketat dan prinsip precautionary approach dengan berdasarkan kepada
pendekatan input control (pengendalian input) dan output control
(pengendalian output). Input control dilakukan antara lain dengan
mengurangi jumlah izin terutama Purseine dan Pukat Ikan, menetapkan mesh
size (ukuran mata jaring) yang lebih besar, mengurangi kapal yang GT nya
besar agar yang kecil bisa hidup lebih baik.
Saat ini justru jumlah izin kapal eks asing dengan GT besar
mendominasi kedua alat tangkap tersebut. Purseine akan mengancam kelestarian
Tuna karena faktanya banyak menangkap baby Tuna (Tuna kecil), hal ini
terbukti banyaknya izin Purseine menurunkan hook rate kapal Tuna.
Pukat Ikan pada dasarnya mirip Trawl, yang dalam berbagai kasus ditemukan oleh
jajaran pengawasan kapal Pukat Ikan memodifikasi jaringnya untuk menangkap ikan
dasar sehingga semua jenis ikan tersapu bersih. Banyaknya Pukat Ikan akan
merusak kelestraian sumber daya ikan dan mematikan kapal dengan lat tangkap
lain. Seharusnya kapal Pukat Ikan dihapuskan diganti yang ramah lingkungan agar
terjadi pemulihan stock.
Ketiga,
nasionalisasi Armada Perikanan, yaitu semua kapal harus dibuat di galangan
kapal nasional, semua ABK harus WNI (sebagaimana UU Perikanan nomor 45 tahun
2009 pasal 35A). Bagi kapal eks asing, dikurangi secara bertahap dan
diberi kesempatan membuat kapal sendiri dalam 2-3 tahun, sehingga dalam 3 tahun
tidak ada lagi kapal esk asing. Setiap pelanggaran oleh kapal eks asing,
langsung cabut saja SIPInya dan paksa ganti kapal asli Indonesia.
Kebijakan bantuan 1000 kapal bagi
nelayan dengan proyek APBN bukan solusi cerdas dan akan menjadi tragedi
jika armada kapal eks asing tidak dikurangi dengan jumlah yg sama 1000 kapal.
Yang diperlukan nelayan sebenarnya bukan bantuan kapal tapi modal kerja dan
modal usaha ber-bunga rendah dengan kemudahan akses perbankan. Jika
anggaran bantuan 1000 kapal dimanfaatkan untuk subsidi bunga dan modal kerja
dan peningkatan kapasitas penangkapan (misalnya bantuan cool box), akan jauh lebih
mendatangkan kesejahteraan. Apakah ada jaminan jika nelayan diberi kapal yang
GT nya besar lalu hasil tangkapan meningkat secara proporsional ditengah stok
ikan makin menurun? Secara obyektif hal tersebut sangat skeptis, karena terlalu
banyak faktor eksternalitas dalam usaha penangkapan, antara lain kebiasaan,
wilayah penangkapan, penguasaan teknologi dll.
Untuk menuju perikanan tangkap yang
lestari dan mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat bukanlah hal sulit, karena
data dan fakta sangat terukur dan penerapan manajemen juga sangat terukur. Yang
diperlukan saat ini adalah penerapan regulasi dan kebijakan yang akuntabel, wisdom
yang dilandasi nurani keberpihakan kepada Indonesia dan rakyat kecil dan
keberanian serta kecerdasan mengadakan perubahan ke kondisi yang lebih
baik, bukannya sikap ignorance (ketidak pedulian) terhadap masalah yang
dihadapi nelayan yang makin sulit hidupnya. Dan, masih termarjinalisasi di
negeri bahari yang kita cintai.
Dikupas oleh Dr. Aji Sularso, Pengamat Kelautan dan
Perikanan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar