24 Juli, 2012

Perikanan yang Bertanggung Jawab


 FAO mengadopsi suatu pedoman pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries = CCRF) pada tahun 1995,  yang berarti semua negara anggota termasuk Indonesia memiliki kewajiban politik dan moral untuk mengelola perikanan di negaranya sesuai dengan kaidah FAO yang telah disepakati.

Sistem perumusan suatu dokumen di FAO yang mengikat melalui proses pembahasan bersama semua negara anggota, jadi dokumen CCRF tersebut juga melibatkan delegasi Indonesia secara aktif. Oleh karenanya, jika ada negara yang enggan menerapkan kaidah pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab maka negara tersebut sebenarnya harus malu dalam hubungan internasional, karena mengkhianati komitmennya sendiri. Bagaimana dengan pengelolaan perikanan (khususnya perikanan tangkap) di Indonesia? Apakah sudah sesuai dengan CCRF dan apa perlunya mematuhi CCRF tersebut?.


Data FAO menunjukkan bahwa ikan untuk konsumsi manusia mengambil porsi 18% dari protein hewani; nilai perdagangan ikan dunia lebih dari 50 Milyar USD per tahun; produksi total 117 juta ton per tahun (74% penangkapan dan sisanya budidaya). Isyu penting yang dihadapi perikanan dunia meliputi: ketersediaan pangan untuk manusia; mata pencaharian untuk nelayan dan pembudidaya kecil; konservasi dan manajemen sumberdaya; overfishing (lebih tangkap) dan over capacity (kapasitas berlebih); degradasi lingkungan; dan ikan yang dibuang (discard).

Tujuan mulia CCRF adalah
 1) Terwujudnya manfaat yang lestari dalam hal pangan, tenaga kerja perdagangan, ekonomi bagi manusia seluruh dunia;
 2) Menyediakan prinsip dan standard yang dapat diterapkan dalam konservasi dan manajemen perikanan.

Permasalahan yang dihadapi Perikanan Tangkap di Indonesia adalah masih tingginya illegal fishing, terjadinya overfishing dan over capacity sebagai dampak dari manajemen yang amburadul, menurunnya stock sumber daya ikan, makin menurunnya hasil tangkapan per unit upaya (Catch Per Unit of Effort = CPUE), makin tingginya biaya operasi melaut sebagi dampak makin lamanya hari operasi, serta makin menurunnya profit margin.


Apakah ini berarti pengelolaan perikanan tangkap tersebut belum sesuai CCRF?, jawabannya pasti ya. Coba kita bandingkan dengan pengelolaan di negara-negara lain.

Ada dua kelompok negara sebagai pembanding, satu kelompok adalah yang menerapkan manajemen ketat sesuai CCRF yaitu negara-negara Australia, Eropa (Islandia, Norway dan negara Scandinavia lain), dan Canada.

Kelompok kedua adalah negara-negara yang tidak menerapkan manajemen ketat seperti Malaysia, Thailand, Philippine, Vietnam, Burma, Cambodia. Terjadi perbedaan yang sangat mencolok, untuk negara-negara kelompom pertama ternyata terjadi kelestarian stock ikan dan manfaat ekonomi yang didapat sungguh sangat tinggi, mampu menghasilkan devisa dan PDB yang tinggi serta menjadi andalan ekonomi negara. Untuk kelompok ke dua, terjadi sebaliknya yaitu stock makin menurun, degradasi lingkungan dan manfaat ekonomi sangat rendah. Itulah sebabnya kapal-kapal ikan mereka merambah ke perairan kita secara illegal. Lalu dimana posisi Indonesia?

Manajemen perikanan tangkap di Indonesia masih jauh dibandingkan dengan negara-negara kelompok pertama, namun berada di atas sedikit dari negara-negara kelompok kedua yang notabene pelaku illegal fishing di Indonesia. Apabila tidak ada perbaikan manajemen, maka dalam waktu tidak lama lagi Indonesia akan mengalami hal yang sama dengan Malaysia dan Thailand yaitu stock ikan habis dan nelayan mencuri ikan di negara lain. Indikator terjadinya over fishing dan over capacity saat ini sudah semakin jelas.

Over fishing adalah penangkapan yang melebihi tingkat kelestarian sedangkan over capacity adalah kapasitas penangkapan (modal, upaya, hari melaut) yang makin tinggi namun hasil makin menurun. Indikatornya meliputi:

 1)  Makin langkanya jenis ikan tertentu di suatu kawasan (misalnya Kakap Merah di Laut Arafura);
2)   Nelayan artisanal makin sulit mendapatkan ikan di jalur dekat pantai; 3) CPUE makin menurun (misalnya hook rate Tuna menurun drastis); 
4)   Makin lamanya hari operasi melaut untuk menangkap ikan (terjadi di semua kapal saat ini);
5)    Ukuran ikan yang ditangkap makin kecil;
6)   Usaha penangkapan ikan makin merugi. Parahnya kondisi tersebut tidak lain disebabkan oleh Kebijakan dan regulasi pelaksanaan yang tidak jelas, tidak mengacu kepada CCRF dan tidak berorientasi kepada masa depan kelestarian sumber daya serta tidak berpihak kepada nelayan dan nasib rakyat kecil.
Bukti amburadulnya manajemen perikanan tangkap dapat dilihat dari fakta sebagai berikut:

Pertama,  tidak ada penetapan JTB (jumlah tangkapan yang diperbolehkan) yang seharusnya dijadikan acuan dalam menetapkan jumlah maksimum izin. Seharusnya JTB paling tidak ditetapkan tiap tahun dan hal tsb merupakan tugas Menteri sebagaimana diatur dalam UU Perikanan nomor 31 tahun 2004 pasal 7.

Kedua, jumlah izin penangkapan saat ini terlalu banyak (terutama kapal di atas 30 GT), bandingkan pada tahun 2003 hanya sekitar 3000 izin dan saat ini lebih dari 5000.  Otoritas yang mengeluarkan izin terkesan tidak punya referensi dan tidak ada perhitungan rasional, kebijakannya sporadis dan tidak akuntabel berdasarkan ilmu dasar perikanan. Sungguh naif dan ironis apabila ada statement pejabat yang mengatakan bahwa masih perlu ditingkatkan armada kapal tanpa ada angka referensi.

Ketiga, menaikkan tarif PHP (pungutan hasil perikanan) di tengah kondisi CPUE makin menurun, merupakan hal yang kontradiktif. Bagi kapal eks asing tarif dinaikan 100% tidak masalah karena masih untung,  mengingat cara menangkapnya kebanyakan melanggar aturan kelestarian, alias keruk habis habisan. Kebijakan yang berpihak dapat dilaksanakan misalnya bagi kapal eks asing (yang masih ada ABK asing) tarif naik 200% dan kapal asli Indonesia dengan ABK Indonesia tidak dinaikan atu naik 30%.

Keempat, arah kebijakan tidak menuju kepada prinsip ke hati-hatian (precautionary approach) sebagimana prinsip CCRF, di tengah data stock atau MSY (maximum sustaniable yield) meragukan (data yg digunakan hasil survey th 2001 yaitu 6.4 juta ton?), namun justru gegabah dalam menentukan jumlah izin.

Saat ini diperlukan kebijakan radikal yang dapat menyelematkan kondisi perikanan Indonesia dari keterpurukan dan kekhawatiran habisnya stock dalam waktu beberapa tahun, antara lain:

Pertama, segera lakukan perhitungan JTB dan tetapkan dengan Peraturan Menteri berapa maksimal jumlah izin. Penetapan JTB dapat dilakukan dengan perhitungan cepat sampling hasil tangkapan atau yang disebut metode holistic dalam perhitungan stock ikan, tidak perlu beralasan menunggu metode analitic yang memerlukan waktu lama dan biaya mahal. Balitbang KKP sangat berperan dalam hal ini.

Kedua, menerapkan manajemen ketat dan prinsip precautionary approach dengan berdasarkan kepada pendekatan input control (pengendalian input) dan output control (pengendalian output). Input control dilakukan antara lain dengan mengurangi jumlah izin terutama Purseine dan Pukat Ikan, menetapkan mesh size (ukuran mata jaring) yang lebih besar, mengurangi kapal yang GT nya besar agar yang kecil bisa hidup lebih baik. 

Saat ini justru jumlah izin kapal eks asing dengan GT besar mendominasi kedua alat tangkap tersebut. Purseine akan mengancam kelestarian Tuna karena faktanya banyak menangkap baby Tuna (Tuna kecil), hal ini terbukti banyaknya izin  Purseine menurunkan hook rate kapal Tuna. Pukat Ikan pada dasarnya mirip Trawl, yang dalam berbagai kasus ditemukan oleh jajaran pengawasan kapal Pukat Ikan memodifikasi jaringnya untuk menangkap ikan dasar sehingga semua jenis ikan tersapu bersih. Banyaknya Pukat Ikan akan merusak kelestraian sumber daya ikan dan mematikan kapal dengan lat tangkap lain. Seharusnya kapal Pukat Ikan dihapuskan diganti yang ramah lingkungan agar terjadi pemulihan stock.

Ketiga, nasionalisasi Armada Perikanan, yaitu semua kapal harus dibuat di galangan kapal nasional, semua ABK harus WNI (sebagaimana UU Perikanan nomor 45 tahun 2009 pasal 35A). Bagi kapal eks asing,  dikurangi secara bertahap dan diberi kesempatan membuat kapal sendiri dalam 2-3 tahun, sehingga dalam 3 tahun tidak ada lagi kapal esk asing. Setiap pelanggaran oleh kapal eks asing, langsung cabut saja SIPInya dan paksa ganti kapal asli Indonesia.

Kebijakan bantuan 1000 kapal bagi nelayan  dengan proyek APBN bukan solusi cerdas dan akan menjadi tragedi jika armada kapal eks asing tidak dikurangi dengan jumlah yg sama 1000 kapal. Yang diperlukan nelayan sebenarnya bukan bantuan kapal tapi modal kerja dan modal usaha ber-bunga rendah dengan kemudahan akses perbankan.  Jika anggaran bantuan 1000 kapal dimanfaatkan untuk subsidi bunga dan modal kerja dan peningkatan kapasitas penangkapan (misalnya bantuan cool box), akan jauh lebih mendatangkan kesejahteraan. Apakah ada jaminan jika nelayan diberi kapal yang GT nya besar lalu hasil tangkapan meningkat secara proporsional ditengah stok ikan makin menurun? Secara obyektif hal tersebut sangat skeptis, karena terlalu banyak faktor eksternalitas dalam usaha penangkapan, antara lain kebiasaan, wilayah penangkapan, penguasaan teknologi dll.

Untuk menuju perikanan tangkap yang lestari dan mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat bukanlah hal sulit, karena data dan fakta sangat terukur dan penerapan manajemen juga sangat terukur. Yang diperlukan saat ini adalah penerapan regulasi dan kebijakan yang akuntabel, wisdom yang dilandasi nurani keberpihakan kepada Indonesia dan rakyat kecil dan keberanian serta  kecerdasan mengadakan perubahan ke kondisi yang lebih baik, bukannya sikap ignorance (ketidak pedulian) terhadap masalah yang dihadapi nelayan yang makin sulit hidupnya. Dan, masih termarjinalisasi di negeri bahari yang kita cintai.

Dikupas oleh Dr. Aji Sularso, Pengamat Kelautan dan Perikanan

Tidak ada komentar: