Perahu yang menuju Pulau Ular, yang terletak di selatan Pulau Buton (foto: Bayu Saputra) |
TAK jauh dari kampung halaman saya, tepatnya di Pulau Muna, berita
tentang seorang wanita tua yang ditelan ular telah menyebar hingga ke
mancanegara. Semua media di tanah air sibuk memberitakan. Para peneliti
berkomentar tentang lahan perburuan ular yang telah berubah menjadi
kebun-kebun. Warga masih dendam dan menyisir semua lubang di dekat
kebun.
Saya memperhatikan pemberitaan Washington Post dua hari lalu. Saya
mendapati tiga berita yang menulis reportase itu, satu di antaranya
berupa video. Dua berita itu adalah: A Woman Want to Check Her Corn – and was Swallowed by a Phyton, dan satunya lagi berjudul 7 Meter Long Phyton Swallows Indonesian Woman. Ternyata, media paling terkenal di Amerika Serikat itu juga mengutip media Perancis dan Associated Press.
Saya tertarik dengan kalimat dalam berita yang ditulis Avi Selk.
Jurnalis asing punya pandangan agak berbeda sebab melihat peristiwa ini
dari kejauhan. Avi Selk mengatakan:
“Biasanya ular memangsa mamalia berukuran kecil. Menyerang manusia
adalah sesuatu yang amat langka ibarat menang lotre. Amat jarang
terjadi, sebagaimana sering ditulis Washington Post. Biasanya, informasi
yang ada cenderung hoax. Pernah ada foto ular yang menelan babi di
Cina, Afrika, dan Asia Tenggara, namun diduga hoax. Tapi peristiwa di
Indonesia itu mengejutkan dunia. Ini bukan pertama, sebelumnya peristiwa
serupa telah terjadi.”
Bagi jurnalis Amerika ini, peristiwa di Indonesia adalah peristiwa yang
mengejutkan. Mungkin saja dia beranggapan bahwa semua ular sudah lama
jinak sebagaimana disaksikannya di kebun binatang. Di Indonesia,
peristiwa manusia ditelan ular bukanlah yang pertama. Dalam waktu yang
tidak terlalu jauh, seorang pekebun di Sulawesi Barat juga ditemukan
dalam perut ular.
Bagi kami yang tinggal di Buton dan Muna, ular menjadi hewan buas yang
sering menjadi musuh manusia sehingga diperangi dan dibunuh. Sewaktu
kecil, saya beberapa kali melihat ular yang ditangkap, kemudian
dikuliti. Kulit ular itu direntang di atas kayu panjang, kemudian
orang-orang mulai mengiris demi menyingkirkan daging. Saya pernah ikut
mengiris daging ular. Seorang teman berbisik, “Baunya seperti daging
ayam yaa?”
BACA: Sufi Besar, Tasawuf, dan Naskah di Pulau Buton
Ibu saya bercerita tentang seorang bocah yang masih keluarga dengan kami di Buton Utara yang hilang dan ditemukan di perut ular. Kata ibu saya, saat perut ular dibelah, bocah itu masih hidup, dan tak lama kemudian tewas karena tulang-tulangnya remuk. Informasi dari ibu saya harus dicek ulang. Biasanya, python akan membelit mangsanya hingga tewas kemudian menelannya.
Kisah lain juga sering saya dengar dari salah seorang paman yang menjadi
pekebun di utara Pulau Buton. Letak kebunnya sekitar dua jam
menyeberang laut dari kampung tempat ular menelan seorang ibu. Paman
saya memiliki kebun di tengah hutan, yang ditanaminya berbagai
komoditas. Paman saya cukup cerdik sebab dirinya juga memelihara tiga
anjing yang lalu menjadi sahabatnya menjelajahi kebun dan hutan.
Sewaktu kecil, paman bercerita pada saya tentang anjing-anjing itu.
Katanya, anjing adalah hewan yang bisa berbicara dengan daun-daun. Kalau
paman jalan di tengah hutan, anjing akan menempuh rute yang melingkar.
Anjing tak pernah tersesat. “Kalau anjing tersesat, maka dia akan
bertanya pada daun apakah di sini ada manusia lewat ataukah tidak.”
Beberapa tahun berikutnya, saya menyadari kalau anjing punya indra penciuman yang tajam. Dia akan bisa membaui manusia di daun-daun. Masih kata paman, anjing selalu paling cepat tahu kalau ada ular atau binatang buas di sekitar. Saat anjing tak henti menyalak, maka biasanya ada sesuatu di situ.
Beberapa tahun berikutnya, saya menyadari kalau anjing punya indra penciuman yang tajam. Dia akan bisa membaui manusia di daun-daun. Masih kata paman, anjing selalu paling cepat tahu kalau ada ular atau binatang buas di sekitar. Saat anjing tak henti menyalak, maka biasanya ada sesuatu di situ.
Selain berkebun, paman juga memelihara ayam di tengah hutan. Sering,
anjing menyalak di tengah malam. Paman langsung tahu kalau ada ular yang
datang untuk memangsa ayam. Paman akan segera menyalakan lampu
srongking, lalu mengambil parang, kemudian mendatangi ular itu lalu
menebasnya pada pandangan pertama. “Kalau terlambat, kita yang akan
dibunuh,” katanya.
Bagi masyarakat, ular dianggap sebagai hewan jahat yang harus segera
dilenyapkan. Anehnya, ketika beberapa tahun lalu saya membaca catatan
tentang fabel di Buton dan Muna, saya justru tak pernah menemukan cerita
tentang ular sebagai hewan jahat. Demikian pula dalam folklor atau
cerita rakyat. Yang banyak muncul sebagai hewan jahat adalah monyet.
Saya menduga, monyet dianggap jahat karena sering mencuri di kebun-kebun
milik manusia. Sementara ular punya padang perburuan yang jauh di
tengah hutan. Makanya, ular sangat jarang disebut dalam fabel.
Saya juga menemukan fakta lain. Ular dianggap identik dengan kesaktian
dan keperkasaan. Di masyarakat Buton, ada kisah mistis tentang lelaki
sakti bernama La Ode Wuna yang tubuhnya separuh manusia dan separuh
ular. Digambarkan dalam beberapa lukisan, tubuh La Ode Wuna seperti Little Mermaid
dalam kisah Disney yang atasnya manusia dan bawahnya ikan. Bedanya,
sebelah atas tubuh La Ode Wuna adalah manusia dengan cambang dan jenggot
serta rambut lebat, bawahnya adalah ular yang bergelung.
Saya tidak bermaksud membela ular itu. Saya hanya bisa berempati bahwa
ketika dirinya memangsa manusia, tentu ada argumentasi yang harusnya
bisa kita pahami. Pesan penting yang hendak disampaikannya adalah ada
ruang hidup yang perlahan terpinggirkan sehingga dirinya kesulitan untuk
bertahan. Tindakan memangsa manusia bukan karena dirinya jahat,
melainkan cara untuk bertahan hidup. Jika dalam posisi ular itu, apa
yang bisa kita lakukan ketika kita sedang lapar dan tak ada satu pun
makanan di sekitar kita?
Jika kita berasumsi bahwa alam adalah sesuatu yang seimbang, maka
anomali atau keanehan pada ekosistem disebabkan oleh sesuatu yang kini
tidak seimbang lagi. Kita harus mengecek ulang bagaimana keseimbangan
ekologis bekerja, di mana posisi ular selama sekian tahun dan di mana
posisi manusia. Marilah kita melihat data tentang laju deforestasi atau
penggundulan hutan yang kian massif, kian menipisnya ruang hidup makhluk
di sekitar kita akibat pemukiman dan perkebunan yang kian merambah,
hingga siapa saja yang diuntungkan dari kian tergerusnya pohon-pohon di
sekitar kita.
Ada sesuatu yang keliru dalam cara kita memahami semesta. Kita manusia
terlampau berkuasa sehingga semua lini kehidupan hendak dijajah. Kita
tak menyisakan sedikit ruang bagi makhluk lain yang hidup di semesta
ini. Kita perlahan membuka hutan, membuka perkampungan, menjadikannya
kebun, menggali tanah-tanah demi tambang, lalu menyingkirkan mereka yang
selama ini menjadikan hutan sebagai bumi tempat berpijak.
Ular memang berbahaya. Tapi manusia justru jauh lebih berbahaya sebab
setiap saat membunuh makhluk lain, membakar hutan, lalu mengkaplingnya
sebagai milik sendiri. Dahulu, manusia dan ular tak saling mengganggu.
Semua punya ruang hidup. Makanya, kita perlu bertanya, bagaimana
pertumbuhan populasi manusia sehingga menyingkirkan ruang-ruang hidup
hewan, kemudian bagaimana cara hewan beradaptasi dengan ekologi yang
terus berubah.
Seorang kawan ahli ular mengatakan, ular adalah hewan yang hanya
menyerang ketika dirinya merasa terancam. Ketika dirinya baik-baik saja,
maka dia tidak akan melakukan hal-hal aneh. Ular hanya bergerak
berdasarkan insting hewani untuk bertahan hidup. Dalam situasi lapar dan
tak ada mangsa di sekitarnya, dia akan segera berburu demi menemukan
santapan baru.
Dalam edisi terbaru National Geographic, saya membaca artikel mengenai
keseimbangan ekosistem alam. Pulau-pulau kita adalah panggung kehidupan
yang menampilkan interaksi rumit antara unsur ekosistem: musim, air,
tumbuhan, lebah, dan manusia. Satu unsur mengalami gangguan, maka unsur
lain akan berpengaruh.
Dahulu, ular melata di tepi hutan dan pematang sawah. Ular memangsa
tikus dan babi, dua hewan yang juga sering mengganggu manusia. Ketika
tikus dan babi dibunuh dengan racun, maka ular kehilangan mangsa. Ketika
hutan menjadi kebun dan dijarah, kemudian babi dibantai beramai-ramai,
maka ular kehilangan mangsa. Padahal bagi ular, mencari mangsa adalah
kodrat hewani yang membuatnya bertahan hidup.
Dalam buku Sapiens: A Brief History of Humankind yang ditulis
Noah Yuval Harari disebutkan, pada masa awal berkelana di muka bumi,
manusia juga adalah makhluk yang berburu dan meramu. Dalam rantai
makanan, manusia sering kali menjadi santapan dari hewan-hewan buas yang
sama-sama berusaha untuk survive di alam semesta.
Hingga akhirnya manusia menemukan api yang kemudian menjadi awal revolusi. Manusia punya cara untuk mengalahkan hewan sebesar apa pun, bisa mengolah hewan menjadi makanan yang empuk. Kemampuan kognitif manusia semakin meningkat, hingga akhirnya memutuskan membentuk perkampungan. Manusia tak lagi berburu, tapi mulai mengembangkan agrikultur.
Manusia mulai merambah hutan demi membangun perkampungan, setelah itu
membuka kebun di hutan-hutan. Hewan mulai didomestikasi. Hutan yang
tadinya milik semua makhluk mulai dikapling untuk membangun
perkampungan. Manusia buat sertifikat kepemilikan, tanpa peduli hewan
yang tinggal di sana. Manusia menjadi satu-satunya pemilik alam semesta.
Modernitas kian membuat manusia jumawa dan merasa diri sebagai
satu-satunya pemilik salam semesta. Kearifan yang dahulu dimiliki
manusia di berbagai etnik perlahan disingkirkan demi memenuhi hasrat
kapitalis dan keserakahan untuk memangsa semua sumber daya. Padahal,
dahulu manusia hidup bertetangga dengan alam. Manusia tahu apa yang bisa
diambil dan apa yang tidak. Hari ini, kita kehilangan kearifan yang
dahulu dimiliki nenek moyang kita, sesuatu yang membuat mereka amat
bersahabat dengan alam semesta. Namun di suku-suku tepi hutan, kearifan
itu masih terlihat jejaknya.
***
Saya teringat satu kisah yang menyentuh hati saya dalam buku Homo Deus: A Brief History of Tomorrow
adalah ketika seorang warga Suku Nayaka di selatan India terbunuh oleh
seekor gajah. Pemerintah lalu menawarkan kepada penduduk suku lainnya
untuk menangkap dan membunuh gajah yang menyebabkan tewasnya seorang
warga.
Tapi penduduk malah menolak. Mereka justru mengatakan bisa memahami
mengapa gajah itu menewaskan salah satu anggotanya. Antropolog Danny
Naveh mencatat pengakuan penduduk suku. Penduduk suku punya versi cerita
sendiri.
Kata mereka, ada dua gajah yang tinggal di hutan itu. Dua gajah itu
selalu memulai perjalanan bersama di setiap pagi, kemudian keduanya akan
memutari jalan berbeda. Di sore hari, kedua gajah itu akan bertemu di
satu titik, untuk kemudian menghabiskan malam bersama. Ritual itu sudah
berjalan bertahun-tahun.
Suatu hari, beberapa pejabat pemerintah bersama stafnya, mungkin semacam
Departemen Kehutanan, memasuki hutan itu dan menemui seekor gajah yang
sedang berjalan. Merasa terancam, seorang staf lalu menembak gajah itu
hingga mati. Mungkin juga dia mengincar gading gajah itu yang bernilai
mahal.
Orang-orang itu tidak paham paham bahwa ada gajah lain yang setia
menunggu gajah itu. Di sore hari, gajah lainnya menunggu di titik
pertemuan, namun gajah satunya tidak datang-datang. Gajah itu
berkeliling lalu menemukan bangkai gajah satunya. Dia lalu mengeluarkan
suara yang didengar seisi hutan. Dia sedang marah. Hari-hari berjalan
tidak biasa lagi. Gajah itu berjalan seorang diri dan menyeruduk
sana-sini. Dia kehilangan harapan hidup. Dia menerjang apa pun di
hadapannya, hingga akhirnya dia tanpa sadar telah membunuh seorang
manusia.
Ketika pemerintah menawarkan bantuan pada warga suku untuk membunuh
gajah itu, warga menolak dengan tegas. Seorang tetua adat malah berkata,
“Bagaimana mungkin kami harus marah sama gajah itu, sementara dia dalam
keadaan sedih dan getir karena pasangannya telah kalian renggut?
Bagaimana perasaanmu ketika kekasih hatimu tiba-tiba saja dibunuh orang
lain hanya karena dia dianggap hewan yang seolah tak punya hak hidup di
hutan ini?”
Saya merasakan ada banyak tetes-tetes permenungan sesuai membaca kisah
ini. Batin saya dibasahi oleh banyak hikmah. Kita manusia hidup di era
di mana kita satu-satunya yang menafsirkan sesuatu. Kadang-kadang, kita
tak memberikan ruang bagi orang lain, bahkan makhluk lain untuk mendiami
bumi ini. Atas nama pengetahuan dan keserakahan kita tak hanya
menyingkirkan semua hewan, tapi juga menyingkirkan manusia lainnya.
Kita manusia modern, mengira kitalah satu-satunya pemilik alam semesta.
Padahal kita hanya sekrup kecil dari mesin besar bernama alam semesta.
Kita kehilangan kepekaan untuk memahami apa saja kenyataan yang terjadi
di sekitar kita sebab nurani kita telah lama tumpul oleh hasrat kuasa
dan keinginan kita untuk menjadi yang terunggul.
Pada suku-suku seperti Nayaka, kita menemukan cermin untuk melihat diri
kita sesungguhnya. Pada suku itu, ada kearifan yang melihat kehidupan
tidak sekadar aku dan kamu, tapi juga dia yang berdiam di sana. Pada
suku ini, kita menemukan keikhlasan untuk melihat diri sebagai bagian
kecil semesta, di mana ada juga bagian-bagian lain di situ yang hidup
bersama selama jutaan tahun.
***
SEPEKAN terakhir, warga kampung halaman masih berduka atas tewasnya
seorang ibu karena serangan ular phyton. Sepatutnya kita semua bersedih.
Tewasnya seorang warga adalah tragedi bagi seluruh manusia. Saatnya
menyalakan kewaspadaan agar peristiwa serupa tidak terjadi.
Di mata saya, solusinya adalah bukan memburu semua ular lalu
membunuhnya. Solusi itu hanya bekerja dalam jangka pendek. Kalaupun kita
melakukannya, dan membuat ular punah, maka alam semesta akan mengalami
ketidak-seimbangan. Hilangnya populasi ular bisa berdampak pada tidak
terkendalinya populasi tikus dan babi, yang kelak akan membawa bencana
bagi umat manusia. Boleh jadi, semua hewan akan punah, dan tersisa kita
manusia sebagai the last species on earth. Kemungkinan itu bisa
terjadi mengingat kian hilangnya habitat hutan bagi hewan liar, serta
semakin populasi manusia yang tidak terkendali lalu merambah semua hutan
dan sudut paling liar di muka bumi ini.
Yang bisa kita lakukan adalah memahami posisi semua hewan, menyadari
bahwa ruang-ruang hidup mereka telah kita renggut, serta menghargai
keberadaan mereka di alam semesta. Hutan harus kembali dihijaukan.
Perambahan hutan dikurangi, ekosistem dipelihara agar lestari,
eksistensi hewan dihargai dengan cara tidak memasuki wilayah mereka.
Namun, apakah kita manusia ikhlas untuk membiarkan alam tetap liar
sebagaimana adanya, sementara kita tahu bahwa kayu-kayu hutan,
komoditas, dan tambang di situ bisa membuat kita kaya raya dan hidup
laksana surga?
http://www.timur-angin.com/2018/06/kisah-dari-dekat-kampung-yang-warganya.html?m=1
Liputan6.com, Muna - Kematian Wa Tiba (54) akibat ditelan ular piton
bulat-bulat mengagetkan banyak pihak. Warga setempat bahkan mengerahkan
"orang pintar" untuk mencari wanita malang itu karena tak kunjung
pulang ke rumah.
Kepala Desa Lawela, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, La Faris, yang memimpin pencarian menuturkan, pada jasad korban ditemukan sejumlah luka. Luka pertama terdapat di bagian kaki yang berbentuk gigitan. Sementara, luka kedua terdapat di kepala.
Melihat posisi jasad saat dikeluarkan dari dalam perut ular, kepala korban diduga ditelan lebih dulu. Sementara dengan posisi parang dan sandal Wa Tiba yang berada di pinggir semak-semak, ia memperkirakan ular tersebut sudah mengintai perempuan itu di balik rerumputan.
"Terus, ada semacam jejak ban terselip di situ," kata La Faris.
Wa Tiba, kata dia, kemungkinan sempat diseret setelah berhasil dilumpuhkan di tengah kebunnya. "Ular berada sekitar 30 meter dari lokasi barang-barang miliknya ditemukan warga. Kondisi lokasi banyak rumput, jadi sempat tak terlihat," tuturnya.
Sekitar 100 orang dikerahkan untuk mencari Wa Tiba di kebunnya.
Berdasarkan petunjuk seorang paranormal, lokasi korban berada sekitar 20
meter dari kebunnya.
"Ternyata memang benar, kami bersyukur tidak jauh dari situ," ujarnyanya.
Detik-Detik Wanita Muna Ditelan Ular Piton Bulat-Bulat
Kepala Desa Lawela, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, La Faris, yang memimpin pencarian menuturkan, pada jasad korban ditemukan sejumlah luka. Luka pertama terdapat di bagian kaki yang berbentuk gigitan. Sementara, luka kedua terdapat di kepala.
Melihat posisi jasad saat dikeluarkan dari dalam perut ular, kepala korban diduga ditelan lebih dulu. Sementara dengan posisi parang dan sandal Wa Tiba yang berada di pinggir semak-semak, ia memperkirakan ular tersebut sudah mengintai perempuan itu di balik rerumputan.
"Terus, ada semacam jejak ban terselip di situ," kata La Faris.
Wa Tiba, kata dia, kemungkinan sempat diseret setelah berhasil dilumpuhkan di tengah kebunnya. "Ular berada sekitar 30 meter dari lokasi barang-barang miliknya ditemukan warga. Kondisi lokasi banyak rumput, jadi sempat tak terlihat," tuturnya.
Baca Juga
"Ternyata memang benar, kami bersyukur tidak jauh dari situ," ujarnyanya.
"Dia tidak banyak bergerak lagi, langsung kami lumpuhkan. Kemudian,
kami tarik ke kampung bangkainya karena diduga memang sudah memangsa
orang," katanya.
Jarak antara lokasi ular ditemukan dan rumah korban sekitar 1 kilometer. Sebelum masuk ke lokasi korban ditemukan, warga melalui jalan setapak yang ditembuhi semak belukar sekitar 500 meter jauhnya.
Dugaan La Faris didasarkan kejadian yang dialami rekannya. Saat itu, kata dia, korban yang merupakan rekan kantornya digigit ular pada bagian kaki saat sedang melintas.
"Tapi, dia syukur bisa selamat. Saya duga, korban (Wa Tiba) memang digigit kakinya lebih dulu sebelum ditarik ke semak-semak," ujar La Faris.
https://www.liputan6.com/regional/read/3561798/detik-detik-wanita-muna-ditelan-ular-piton-bulat-bulat
Jarak antara lokasi ular ditemukan dan rumah korban sekitar 1 kilometer. Sebelum masuk ke lokasi korban ditemukan, warga melalui jalan setapak yang ditembuhi semak belukar sekitar 500 meter jauhnya.
Dugaan La Faris didasarkan kejadian yang dialami rekannya. Saat itu, kata dia, korban yang merupakan rekan kantornya digigit ular pada bagian kaki saat sedang melintas.
"Tapi, dia syukur bisa selamat. Saya duga, korban (Wa Tiba) memang digigit kakinya lebih dulu sebelum ditarik ke semak-semak," ujar La Faris.
https://www.liputan6.com/regional/read/3561798/detik-detik-wanita-muna-ditelan-ular-piton-bulat-bulat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar