Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari
Bangsa Indonesia seharusnya bersyukur kepada Allah SWT yang telah
diberikan suatu anugerah yang sangat besar, yaitu hidup dalam suatu
Negara Kepulauan yang merupakan wilayah sepanjang 3.000 mil laut berupa
hamparan laut luas dari Merauke sampai Sabang. Dengan jumlah pulau lebih
dari 17.500 meliputi wilayah laut yurisdiksi nasional lebih kurang 5,8
juta km2, Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia
terletak pada posisi yang sangat strategis, yaitu pada persilangan dua
benua dan dua samudera, serta memiliki wilayah laut yang memiliki
kekayaan laut yang besar, sekaligus sebagai urat nadi perdagangan dunia.
Posisi Indonesia yang sangat strategis tersebut memberikan konsekuensi
bagi bangsa Indonesia yaitu untuk menjalankan aturan sebagaimana yang
termaktub dalam United Nation Convention on the Law of the Sea 1982.
Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia, yang 2/3 wilayahnya
merupakan wilayah lautan dan Indonesia merupakan negara maritim atau
kepulauan terbesar didunia, antara pulau satu dengan pulau lainnya
dipisahkan oleh laut, tapi bukanlah menjadi penghalang bagi setiap suku
bangsa di Indonesia untuk saling berhubungan dengan suku-suku di pulau
lainnya. Sejak zaman bahari, pelayaran dan perdagangan antar pulau telah
berkembang dengan menggunakan berbagai macam tipe perahu tradisional,
nenek moyang kita menjadi pelaut-pelaut handal yang menjelajahi untuk
mengadakan kontak dan interaksi dengan pihak luar. Bahkan, yang lebih
mengejutkan lagi, pelayaran yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia
(Nusantara) pada zaman bahari telah sampai ke Mandagaskar. Bukti dari
berita itu sendiri adalah berdasarkan penelitian yang dilakukan yaitu
tipe jukung yang sama yang digunakan oleh orang-orang Kalimantan untuk
berlayar Fantastis.
Indonesia sebagai negara maritim terbesar di
dunia, namun ironis berbagai masalah tidak dapat diatasi, padahal
kekayaan laut sangat besar dibandingkan kekayaan darat. Banyak kendala
yang dihadapi maritim indonesia yang belum mampu disentuh dengan tangan
ahli sehingga kekayaan laut dapat menambah pendapatan negara.
Dari aspek pembangunan ekonomi maritim, Indonesia juga masih menghadapi
banyak kendala. Sektor perhubungan laut yang dapat menjadi multiplier
effect karena perkembangannya akan diikuti oleh pembangunan dan
pengembangan industri dan jasa maritim lainnya masih dikuasai oleh kapal
niaga asing. Azas cabotage seperti yang diamanatkan oleh UU RI No:
17/2008 tentang Pelayaran masih perlu diperjuangkan agar dapat
diterapkan dengan baik. Kendala yang dihadapi adalah masih kurangnya
kapasitas kapal nasional, sedangkan pembangunan kapal baru dihadang oleh
tidak adanya keringanan pajak dan sulitnya kredit serta tingginya bunga
kredit untuk usaha di bidang maritim mengingat usaha jenis ini memiliki
tingkat resiko tinggi dan slow yielding.
Untuk angkutan
domestik, armada nasional baru mampu mengangkut sekitar 60 persen.
Peranan armada nasional dalam angkutan laut internasional baik ekspor
maupun impor menunjukkan kenyataan yang lebih memprihatinkan, karena
pemberlakuan prinsip Freight on Board (FoB), bukan Cost and Freight
(CnF ). Dari ekspor dan impor nasional, armada Indonesia hanya kebagian
jatah sekitar 10 persen, mengakibatkan kerugian devisa sebesar 40 miliar
USD! Kita juga masih prihatin terhadap kondisi pelabuhan nasional yang
belum tertata secara konseptual tentang pelabuhan utama ekspor-impor dan
pengumpan. Selain itu, keamanan dan efisiensi pelabuhan Indonesia masih
diragukan, terutama bila dihadapkan pada pemenuhan persyaratan
International Ship and Port Safety (ISPS) Code.
Kecelakaan laut yang menimpa angkutan antar pulau yang memakan korban
jiwa yang besar masih terus terjadi, mengingat kapal yang digunakan
adalah kapal tua, tidak dilengkapi peralatan keselamatan, bahkan tidak
layak laut. Sisi lain dari laut yang memberikan peluang kesejahteraan
dan kemakmuran, sekaligus buah pertikaian pada masa depan adalah sumber
daya laut dan bawah laut. Indonesia memiliki Zona Ekonomi Eksklusif yang
terbentang seluas 2,7 juta km persegi dan keberhasilan untuk
mengekploitasi wilayah ini dapat membantu mengangkat Indonesia keluar
dari keterbelakangan ekonomi. Namun disadari bahwa Indonesia kekurangan
kemampuan teknologi untuk memanfaatkan kekayaan bawah lautnya. Hal ini
disebabkan karena kurangnya survey, research dan sumber daya manusia di
bidang maritim.
Indonesia bahkan masih mengalami kesulitan untuk
memanfaatkan wilayah lautnya yang kaya dengan sumber daya perikanan.
Illegal, Unregulated and Unreported fishing masih terjadi secara luas,
karena Indonesia belum mampu memperkuat armada perikanan nasional dan
belum mampu mengawasi dan mengendalikan lautnya secara optimal.
Diperkirakan Indonesia membutuhkan sekitar 22.000 kapal ikan dengan
kapasitas masing-masing di atas 100 ton.
Jumlah ini terlihat
besar, namun sesungguhnya merupakan estimasi minimal. Sebagai
perbandingan, Thailand memiliki sekitar 30.000 kapal ikan yang resmi dan
konon sekitar 20.000 yang tidak terdaftar. Di Taiwan, usaha perikanan
dapat memberikan penghidupan yang layak bagi tidak kurang dari 300.000
keluarga. Sedangkan di Indonesia, terdapat sekitar 8.090 desa pesisir di
300 kabupaten dan kota di mana bermukim sekitar 16,42 juta warga yang
bermata pencarian sebagai nelayan, pembudi daya ikan, pengolah, pemasar
dan pedagang hasil perikanan.
Dari jumlah tersebut 32 persen
masuk kategori miskin. Dari uraian pembangunan ekonomi maritim ini
terlihat jelas bahwa kekuatan armada pelayaran niaga dan perikanan
adalah ujung tombak dan tolok ukur keberhasilan pembangunan ekonomi atau
industri maritim nasional. Asas cabotage yang telah secara tegas diatur
untuk diterapkan adalah kebijakan fundamental untuk pembangunan
industri maritim karena multiplier effect nya yang sangat luas. Intinya,
untuk membangun ekonomi atau industri maritim, pemerintah perlu segera
menerapkan kebijakan insentif kredit dan pajak untuk pengadaan,
pengoperasian dan pemeliharaan kapal sebagaimana diterapkan oleh
pemerintah dari negara-negara lain yang menjadi saingan armada pelayaran
niaga kita. Inpres V/2005 dan UU RI No.17/2008 tentang Pelayaran telah
mengatur masalah ini. Apabila hal ini diberikan perhatian khusus dan
sungguh-sungguh oleh pemerintah, pembangunan industri maritim akan
segera menggeliat secara nyata.
Masalah Kelestarian Laut,
Indonesia masih mengalami kesulitan untuk menjaga kelestarian lingkungan
laut dan marine mega biodiversitynya. Indonesia memiliki lebih dari
80,000 km persegi daerah terumbu karang atau sekitar 14 persen terumbu
karang dunia. Bersama Phillipina dan Papua New Guinea, wilayah Indonesia
merupakan 35% wilayah terumbu karang dunia, menjadikan wilayah ini
sebagai wilayah prioritas untuk memelihara kelestarian marine
biodiversity di Asia-Pasifik yang dikenal sebagai “Coral Triangle” .
Terdapat hutan bakau seluas 2,5 juta hektar di Sumatera, Jawa, Bali,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Hutan bakau antara lain
berfungsi sebagai daerah pembiakan, pembesaran dan mencari makan bagi
ikan, udang dan organisme laut lain, serta melindungi pantai dari abrasi
dan erosi. Rumput laut juga tumbuh di banyak pantai di Indonesia. Dalam
kenyataannya, Indonesia mengalami degradasi lingkungan laut yang sangat
serius, yang juga mengancam kelangsungan kehidupan mega biodiversity
di Asia-Pasifik. Dalam 50 tahun terakhir, kerusakan terumbu karang
meningkat dari sekitar 10% menjadi 50%. Hutan bakau di Indonesia juga
berkurang dengan cepat karena pembangunan fasilitas pantai dan tambak
liar.
Tanpa upaya yang cepat dan serius maka seluruh terumbu
karang Indonesia akan lenyap dalam 20 sampai 40 tahun. Dapat dibayangkan
apa yang akan terjadi dengan industri perikanan dan kelautan serta
wisata bahari di Indonesia. Penyebab utama kerusakan karang dan
lingkungan laut adalah penangkapan ikan yang merusak, pengembangan
wilayah pantai yang tidak terkendali dan sedimentasi serta polusi. Cukup
jelas bahwa pembangunan kelautan harus dilaksanakan secara
berkelanjutan (sustainable). Perusakan dan pencemaran lingkungan laut
dan pantai akan sangat merugikan usaha perikanan dan pariwisata bahari
yang memiliki potensi ekonomi yang sangat besar.
Solusi Menumbukan Kesadaran Kembali Tentang Bahari
Sesungguhnya, secara pemikiran dan konsepsi, Bangsa Indonesia sudah lama ingin kembali ke laut. Pada tahun 1957, Bangsa Indonesia mendeklarasikan Wawasan Nusantara, yang memandang bahwa wilayah laut di antara pulau-pulau Indonesia sebagai satu-kesatuan wilayah nusantara, sehingga wilayah laut tersebut merupakan satu keutuhan dengan wilayah darat, udara, dasar laut dan tanah yang ada di bawahnya serta seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya sebagai kekayaan nasional yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Bung Karno saat pembukaan Lemhanas tahun 1965 mengatakan bahwa "Geopolitical Destiny" dari Indonesia adalah maritim. Melalui suatu perjuangan panjang dan bersejarah di forum internasional, pada tahun 1982, gagasan Negara Nusantara yang dipelopori Indonesia berhasil mendapat pengakuan Internasional dalam kovensi PBB tentang hukum laut. Pada 18 Desember 1996 di Makassar, Sulawesi Selatan, BJ Habibie sebagai Menristek membacakan pidato Presiden RI yang dikenal dengan pembangunan.
Sesungguhnya, secara pemikiran dan konsepsi, Bangsa Indonesia sudah lama ingin kembali ke laut. Pada tahun 1957, Bangsa Indonesia mendeklarasikan Wawasan Nusantara, yang memandang bahwa wilayah laut di antara pulau-pulau Indonesia sebagai satu-kesatuan wilayah nusantara, sehingga wilayah laut tersebut merupakan satu keutuhan dengan wilayah darat, udara, dasar laut dan tanah yang ada di bawahnya serta seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya sebagai kekayaan nasional yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Bung Karno saat pembukaan Lemhanas tahun 1965 mengatakan bahwa "Geopolitical Destiny" dari Indonesia adalah maritim. Melalui suatu perjuangan panjang dan bersejarah di forum internasional, pada tahun 1982, gagasan Negara Nusantara yang dipelopori Indonesia berhasil mendapat pengakuan Internasional dalam kovensi PBB tentang hukum laut. Pada 18 Desember 1996 di Makassar, Sulawesi Selatan, BJ Habibie sebagai Menristek membacakan pidato Presiden RI yang dikenal dengan pembangunan.
Untuk mengatasi semua tantangan di bidang
kelautan ini maka tidak dapat tidak, seluruh komponen bangsa harus
segera membangkitkan maritime domain awareness, atau kesadaran
lingkungan maritim. Hal ini diperlukan, karena sepertinya kita tidak
lagi memiliki budaya bahari, sehingga perlu dibangun kembali melalui
upaya penyadaran. Lingkungan bahari yang dimaksud adalah semua area dan
hal-hal yang berhubungan, berkaitan, berdekatan atau berbatasan dengan
laut, samudera atau semua perairan yang dapat dilayari, termasuk semua
kegiatan yang berhubungan dengan maritim, infrastruktur, masyarakat,
muatan kapal, armada, baik niaga, perikanan, maupun armada perang. Upaya
menyadarkan masyarakat terhadap arti penting lingkungan maritim
haruslah sampai kepada penyadaran yang efektif terhadap segala sesuatu
yang menyangkut lingkungan maritim merupakan hal yang vital bagi
keamanan, keselamatan, ekonomi dan lingkungan hidup bangsa Indonesia,
serta menunjang upaya menegakkan harga diri bangsa.
Menyadarkan
bahwa laut adalah aspek alamiah yang paling mempengaruhi kehidupan
poleksosbudhankam nasional merupakan isu yang paling utama dan menarik
perhatian. Untuk itu, Pemerintah harus menjadi ujung tombak, dan untuk
itu pemerintah Indonesia perlu segera menetapkan sebuah National Ocean
Policy dalam rangka pemanfaatan laut bagi sebesar-besarnya kemakmuran
bangsa, sekaligus untuk mengembangkan kembali budaya bahari bangsa, yang
tujuan akhirnya tentulah penguasaan laut nasional yang dapat menegakkan
harga diri bangsa.
https://www.facebook.com/frangky.nova.1/posts/537660526397289?notif_t=like_tagged
Tidak ada komentar:
Posting Komentar