BANDA ACEH - Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh, Ir
Diauddin mengatakan, meski Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah
menerbitkan larangan penangkapan ikan hiu melalui Permen Nomor 59 Tahun
2014, tapi untuk melarang nelayan menangkap ikan hiu di luat bebas,
masih butuh waktu dan harus dilakukan bertahap.
“Permen Nomor 59 Tahun 2014 itu perlu kita sosialisasikan dulu kepada
para nelayan penangkap ikan hiu yang dilarang pemerintah,” kata
Diauddin kepada Serambi, Selasa (16/6) pagi menanggapi laporan eksklusif
harian ini berjudul “Menguak Bisnis Sirip Hiu” yang dipublikasi Senin
(15/6).
Diauddin mengatakan, ada 73 jenis ikan hiu yang dilarang dunia untuk
ditangkap karena populasinya di laut bebas sudah langka. Dari 73 jenis
itu, dua di antaranya berada di perairan Indonesia, yakni ikan hiu
martil dan koboi.
Tingginya minat nelayan memangkap ikan hiu di luat bebas, menurut
Diauddin, karena permintaan daging dan sirip ikan hiu di pasaran dunia
masih tinggi, terutama di Tiongkok dan Taiwan.
Sirip dan daging ikan hiu jenis tertentu, kata Diauddin, harganya
sangat mahal dan dijadikan makanan yang sangat disukai dan populer serta
eksklusif di Tiongkok dan Taiwan. Misalnya, dijadikan bahan campuran
sop bihun dan lainnya. Sirip ikan hiu itu dipercaya orang Tiongkok dan
Taiwan, banyak khasiatnya. Antara lain, untuk awet muda, mempercepat
regenerasi jaringan atau organ dalam tubuh yang rusak, menambah stamina
dan gairah laki-laki, dan lainnya.
Diauddin menambahkan, belakangan ini permintaan terhadap sirip dan
daging hiu tertentu bukan saja tinggi di pasaran Tiongkok dan Taiwan,
tapi bahkan sudah meluas ke negara-negara Eropa, Arab, dan Rusia.
Di perairan Aceh, kata Diauddin, populasi hiu paling banyak ditemukan
di perbatasan antara Samudera Indonesia dengan Samudera India. Tepatnya
di wilayah sekitar Nikobar, India. Apalagi nelayan dan penduduk Nikobar
tidak memakan hiu.
“Makanya, kenapa nelayan kita dari Aceh banyak yang ditangkap di
laut Nikobar, itu karena pada umumnya mereka memancing hiu jenis mahal
sampai ke wilayah Nikobar, India,” kata Diauddin.
Jumlah nelayan pemburu hiu di Aceh, menurut Diauddin, sekitar 1.000 orang. Sudah termasuk yang berada di wilayah pantai timur utara, seperti Idi, Lampulo, Pulo Aceh, Simuelue, maupun wilayah barat dan selatan Aceh. Mereka umumnya mancing hiu sampai ke Lautan India menggunakan boat 5-10 Grosston (GT).
Durasi mereka memancing hiu di laut bebas, bisa sampai tujuh hari, baru kembali ke daratay. Bahkan, kalau sedang banyak hiu di Lautan India, bisa capai sepuluh hari lebih.
Menurut Diauddin, banyak nelayan Aceh yang sudah kaya raya karena berbisnis sirip hiu. Harganya cukup mahal, jutaan sampai puluhan juta rupiah per kilo.
“Karena jumlah nelayan yang berburu sirip hiu ini cukup banyak, maka kalau kita ingin menyetop atau melarangnya, tidak bisa dilakukan seketika, tapi haruslah bertahap. Sama seperti kita melarang nelayan boat ikan jangan gunakan lagi pukat harimau dan sejenisnya. Pelarangan itu dipatuhi setelah Polisi Air dan TNI AL melakukan razia intensif di laut bebas,” kata Diauddin.
Tapi saat ini, lanjut Diauddin, begitu Polisi Air dan TNI AL tidak rutin merazia penggunaan pukat harimau, maka di pantai timur dan utara Aceh, penggunaan pukat trawl kembali meningkat.
Padahal, kata Diauddin, tujuan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi, melarang penangkapa ikan menggunakan pukat trawl, adalah untuk pelestarian bibit ikan di wilayah perairan antara 0-12 mil. Akibat penggunaan pukat harimau itu, maka ikan-ikan kecil yang berada di luat 0-12 mil, jadi menyusut.
Jumlah nelayan pemburu hiu di Aceh, menurut Diauddin, sekitar 1.000 orang. Sudah termasuk yang berada di wilayah pantai timur utara, seperti Idi, Lampulo, Pulo Aceh, Simuelue, maupun wilayah barat dan selatan Aceh. Mereka umumnya mancing hiu sampai ke Lautan India menggunakan boat 5-10 Grosston (GT).
Durasi mereka memancing hiu di laut bebas, bisa sampai tujuh hari, baru kembali ke daratay. Bahkan, kalau sedang banyak hiu di Lautan India, bisa capai sepuluh hari lebih.
Menurut Diauddin, banyak nelayan Aceh yang sudah kaya raya karena berbisnis sirip hiu. Harganya cukup mahal, jutaan sampai puluhan juta rupiah per kilo.
“Karena jumlah nelayan yang berburu sirip hiu ini cukup banyak, maka kalau kita ingin menyetop atau melarangnya, tidak bisa dilakukan seketika, tapi haruslah bertahap. Sama seperti kita melarang nelayan boat ikan jangan gunakan lagi pukat harimau dan sejenisnya. Pelarangan itu dipatuhi setelah Polisi Air dan TNI AL melakukan razia intensif di laut bebas,” kata Diauddin.
Tapi saat ini, lanjut Diauddin, begitu Polisi Air dan TNI AL tidak rutin merazia penggunaan pukat harimau, maka di pantai timur dan utara Aceh, penggunaan pukat trawl kembali meningkat.
Padahal, kata Diauddin, tujuan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi, melarang penangkapa ikan menggunakan pukat trawl, adalah untuk pelestarian bibit ikan di wilayah perairan antara 0-12 mil. Akibat penggunaan pukat harimau itu, maka ikan-ikan kecil yang berada di luat 0-12 mil, jadi menyusut.
Pada saat Menteri Susi melarangnya Januari lalu, kata Diauddin,
populasi ikan-ikan kecil di perairan 0-12 mil, kembali banyak. Ini bisa
dibuktikan dengan meningkatnya hasil tangkapan nelayan nonpukat harimau
di wilayah perairan 0-12 mil dari bibir pantai. Tapi kini, setelah
nelayan boat pukat kembali menggunakan pukat trawl, populasi ikan kecil
pada areal pantai 0-12 mil, kembali menyusut.
DKP Aceh, kata Diauddin, tidak punya sarana kapal patroli cepat untuk
mengawasi penggunaan pukat trawl itu. Begitu juga anggarannya. “Mulai
tahun depan, kita usulkan anggaran pengadaan kapal dan biaya pengawasan
penggunaan pukat harimau dan penangkapan ikan hiu di luat bebas melalui
sumber dana APBA maupun APBN,” kata Diauddin.
Pengawasannya, lanjut Diauddin, bisa dilakukan lewat udara, yakni
dengan menyewa pesawat kecil, seperti pesawat MAF atau Susi Air, maupun
boat berkecepatan tinggi. Misalnya, untuk dua jam penerbangan, sewanya
Rp 20 juta, maka dalam satu tahun bisa dianggarkan 12 kali penerbangan,
sehingga totalnya Rp 240 juta.
Ia juga merekomendasikan bahwa untuk melestarikan populasi hiu yang
dilindungi atau langka, bisa dengan cara membuat areal konservasinya.
Umpama, hiu martil dan koboi paling banyak ditemukan di laut terluar
Pulo Rondo, Sabang, maka kawasan itu bisa ditetapkan menjadi kawasan
konservasi hiu martil dan koboi. (her)
http://aceh.tribunnews.com/2015/06/17/dkp-larangan-menangkap-hiu-dilakukan-bertahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar