Pasang Surut RI-Australia
Salah satunya adalah keberadaan para nelayan Indonesia yang dianggap sebagai 'manusia perahu' pencari suaka kepada pemerintah Australia.
Berdasarkan Nota Kesepahaman (MoU) Box 1974, Australia mengakui hak para nelayan tradisional Indonesia yang telah berabad-abad lampau mencari penghidupan dari sumber-sumber bahari di sepanjang utara pantai barat dan di sekitar gugusan pulau karang negara itu.
Australia tetap mengizinkan nelayan tradisional Indonesia berlabuh guna mengambil air tawar dan mencari ikan di pulau-pulau yang telah disepakati kedua negara dalam perjanjian tersebut. Hanya saja Australia kemudian menetapkan kawasan tersebut sebagai taman nasional.
Berdasarkan nota kesepahaman (MoU) 1974 itu, kawasan yang disepakati Australia dan Indonesia dapat dimanfaatkan para nelayan tradisional Indonesia adalah kepulauan karang Scott, Seringapatam, Pulau Browse, kepulauan karang Ashmore, Pulau Cartier dan perairan di sekitarnya.
Sebelum kasus 500 nelayan Indonesia ditahan di Australia baru-baru ini mengemuka, pada 2007 sebanyak 16 nelayan Indonesia asal Nusa Tenggara Timur (NTT) pernah ditahan oleh Australia.
16 orang manusia `perahu` asal Pulau Rote ditahan pemerintah Australia di Pulau Christmas, Australia Barat dengan tuduhan imigran haram karena tak memiliki dokumen resmi.
Sebelum ditahan di Pulau Christmas, ke-16 orang Indonesia asal Pulau Rote itu diselamatkan kapal patroli HMAS Ararat dan HMAS Tarakan saat perahu bermotor mereka tenggelam di laut sekitar 650 kilometer barat Darwin, Northern Territory, 20 November 2007.
Para nelayan Indonesia dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur itu merupakan korban atas ketegasan kebijakan pemerintah Australia dalam menumpas kegiatan penangkapan ikan secara ilegal.
Pemerintah Australia menggelontorkan dana sebesar 603 juta dolar untuk menangani pencurian ikan di perairannya. Upaya itu telah membantu menurunkan jumlah kasus penangkapan ikan secara ilegal di perairan utara negaranya hingga 90 persen.
Menyikapi kebijakan Australia ini, pemerintah Indonesia tampak adem ayem saja. Tak ada satu kata kecaman pun yang dikeluarkan pemerintah terhadap aksi penangkapan terhadap nelayan-nelayan Indonesia tersebut.
Sama halnya dengan yang baru-baru ini dialami oleh 500 nelayan dimana 29 diantaranya berusia di bawah 19 tahun. Pemerintah memilih menyodorkan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) dan akta lahir untuk membebaskan para nelayan ketimbang mendorong perundingan baru yang lebih berkeadilan. [mah]
Sumber: http://nasional.inilah.com/read/detail/1660942/balada-manusia-perahu-di-timur-indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar