Oleh: M. Zulficar Mochtar
mber: Suara Pembaruan online
Upaya pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan memiliki dimensi yang sangat luas dan kompleks, meliputi seluruh ancaman terkait dengan pemanfaatan ruang maupun sumberdaya kelautan, termasuk: (i) pencemaran dan tumpahan minyak, (ii) konflik pemanfaatan wilayah, tanah dan sumberdaya (antar-nelayan, antar-institusi, pelaku usaha), (iii) illegal unreported and unregulated (IUU) and destructive (pemboman, pembiusan, trawl, dll) Fishing, (iv) kegiatan investasi dan pemanfaatan yang tidak prosedural, (v) penyelundupan berbagai obyek (satwa langka, Bahan Bakar Minyak (BBM), illegal logging, dll); (vi) infiltrasi dan intervensi oleh asing dalam berbagai bentuk, misalnya penguasaan hak atau pemanfaatan, (vii) perdagangan pasir laut, (viii) antisipasi aksi bencana (gempa/tsunami, dll), (ix) perompakan di laut, maupun kerawanan insidental (kelaparan akibat cuaca buruk, terisolasi, kecelakaan kapal), dan sebagainya.
Setiap isu dan obyek ancaman tersebut memiliki kompleksitas dan karakteristik spesifik tinggi baik status lintas wilayah, baik lokal, nasional, maupun internasional yang unik. Isu dan obyek ancaman juga memiliki karakteristik dan substansi yang cukup kompleks dan memerlukan pertimbangan saintifik obyektif, dukungan data dan informasi yang akurat, pendekatan masalah yang multi-disipliner, proyeksi rentang waktu yang variatif, serta tingkat sensitifitas politik yang sangat tinggi.
Dalam melakukan upaya pengawasan dan pengendalian yang efektif, diperlukan pemenuhan perangkat pengelolaan yang memadai, baik kebijakan dan aturan, wewenang dan peran, anggaran, ketersediaan sumberdaya manusia (SDM), sistem informasi, infrastruktur pengawasan dan pengendalian, serta sistem perencanaan dan aksi yang optimal.
Sayangnya, selama lebih dari tiga dekade, pembangunan kelautan cenderung dianaktirikan dan dipinggirkan, sehingga berbagai perangkat ‘management’ sumberdaya kelautan, termasuk untuk pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan tidak dapat dikatakan memadai apalagi dikategorikan optimal.
2. Pengawasan dan Pengendalian Kelautan Masih Bermodal ‘dengkul’
Secara umum, meski komitmen dan upaya untuk melakukan pengawasan dan pengendalian berbagai obyek dan isu sumberdaya kelautan semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir, status berbagai perangkat pengawasan dan pengendalian masih bisa dikatakan masih jauh dari memadai atau dapat dikatakan masih ‘bermodal dengkul’.
Dari perspektif kebijakan misalnya, berbagai kebijakan dan aturan (dalam berbagai tingkatan) telah mencoba memberikan wilayah dan wewenang berbagai pihak dan institusi untuk baik secara sendirian maupun bersama-sama melakukan upaya preventif, antisipatif, dan kuratif serta represif, dalam setiap isu dan obyek ancaman sumberdaya kelautan yang ada. Akan tetapi, berbagai kebijakan tersebut masih lebih banyak ‘bolong’nya sehingga cenderung terjadi tumpang tindih, tidak efisien, terlalu sektoral, dan kadang tidak sensitif terhadap realitas yang ada. Juga memusingkan dalam enforcement-nya
Dari segi anggaran, sistem pengawasan dan pengendalian yang komprehensif ke seluruh wilayah
Dari segi SDM, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, kapasitas SDM yang tidak disiapkan untuk memahami dan mengantisipasi permasalahan secara khusus. Sehingga pola operasi dan penanganan yang dilakukan terkadang ‘bias’ atau tidak tuntas. Kedua, ada rantai ketergantungan tugas antar-institusi pemerintah sangat besar, dimana TNI-AL, kepolisian perairan (Polairud), Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Bakosurtanal, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kantor Lingkungan Hidup (KLH), Lembaga peradilan (jaksa, hakim), dan sebagainya yang belum dipadukan. Belum lagi hubungan dengan pihak lainnya, seperti swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), universitas, dan sebagainya yang tidak terjalin optimal. Hal ini antara lain disebabkan karena perspektif ego-sektoral yang masih tinggi dan etos kerja bermitra yang masih rendah. Dengan situasi ini, upaya pengawasan dan pengendalian masih tersekat-sekat, terisolasi, dan belum efisien.
Di sisi lain, sistem data dan informasi sebagai elemen substansial fungsi pengawasan juga ternyata sangat lemah. Sudah begitu sering berbagai kegiatan operasi maupun sistem pengendalian dilaksanakan dengan model ‘management by feeling’ tidak didasarkan pada informasi yang akurat dan obyektif. Sudah bukan rahasia kalau data dan informasi ada di ‘laci meja’ masing-masing institusi. Cukup banyak juga informasi yang ada tidak up to date (usang) dan tidak akurat, dan menghiasi perpustakaan-perpustakaan tanpa dimanfaatkan. ‘Ketiadaan’ informasi ini menyebabkan pola operasi di lapangan bersifat reaktif dan cenderung serabutan, yang akhirnya menangkapi orang-orang kecil (pelaku/operator lapangan), namun tidak mampu menyentuh gembong (dalang) penyebab permasalahan. Penerapan pola operasi juga menjadi sangat mahal.
Sistem Operasi dan Pengendalian yang diterapkan juga masih sangat parsial dan tidak terstruktur, seolah memindahkan masalah dari satu sektor atau institusi ke institusi lainnya. Membersihkan halaman sendiri, namun menyisakan masalah buat tetangga. Belum ada prosedur tetap (protap) yang jelas dan memuaskan. Sistem ini sangat membingungkan bahkan dari terminologi, pola, pendekatan, maupun perencanaan. Seringkali terlalu eksklusif atau berasal dari adopsi instant dari berbagai model lain dari dalam maupun luar negeri. Cukup banyak kasus dimana kepolisian atau jaksa sudah mengeluarkan energi sangat besar untuk menangkap pelaku illegal fishing, namun justru merasa frustasi ketika pengadilan memutuskan ‘bebas’, mengembalikan berkas ataupun menjatuhkan hukuman sangat ringan akibat pemahaman terhadap kasus illegal fishing yang amat terbatas. Model MCS-IS adalah contoh ideal masa depan yang amat mahal dan rumit dan saat ini tidak mampu mengimbangi laju praktek ilegal dan pengrusakan yang terjadi. Demikian pula model Pokwasmas, masih lebih sering diartikan dan dipraktekkan sebagai ‘intel’ atau ‘satpol’ atau ‘mata-mata’ yang bertugas mengintai atau melaporkan kegiatan masyarakat kepada yang berwajib, sehingga cenderung dimusuhi masyarakat. Yang terjadi akhirnya adalah model penanganan superfisial (permukaan) yang tidak menjawab akar permasalahan. Pemahaman lebih makro dan mikro, termasuk misalnya kemiskinan masyarakat terhadap suatu masalah sangat dibutuhkan sehingga tidak bias.
Dari akumulasi keterbatasan dan realitas ‘modal’ dasar dalam melakukan upaya pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan ini, tidak sulit untuk memprediksi bahwa bidang ini berada pada titik nadir yang menggelisahkan. Memainkan pola dan pendekatan lama akan berujung pada hasil yang ‘ala kadarnya’ seperti sekarang, meskipun sudah dilakukan secara maksimal, malah akan melahirkan frustasi atau kekecewaaan.
Untuk itu, dibutuhkan suatu inovasi pendekatan yang mampu mensinergikan seluruh kekuatan (di tengah keterbatasan) yang ada, sehingga mencapai hasil optimal; sambil melakukan pendekatan yang terstruktur untuk membenahi berbagai keterbatasan yang ada secara kolektif. Dalam konteks ini, sistem pengawasan perlu diarahkan pada upaya agar pengawasan menjadi domain dan tanggung jawab publik dengan pendekatan partisipatif dan kemitraan multi-pihak. Untuk itu, mainstreaming pengawasan secara sistemik merupakan alternatif upaya yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan kinerja dan koordinasi pengendalian.
3. Mainstreaming Sistem Pengawasan untuk Optimasi Pengendalian
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) memiliki mandat penting untuk mengambil peran strategis dalam membangun fondasi pengawasan yang efektif dan menunjang strategi pengendalian setiap ancaman dan isu terkait dengan wilayah dan obyek kelautan. Di usia departemen yang relatif baru (sekitar 8 tahun) dengan jaringan dan infrastruktur yang relatif terbatas, misi pengawasan dan pengendalian ini adalah sebuah ‘tantangan’ besar.
Untuk itu, hal yang sangat penting dipahami oleh DKP adalah melakukan ‘positioning’ atau bagaimana memposisikan diri dalam kerangka pengawasan dan pengendalian tersebut, sehingga mampu melakukan kegiatan secara optimal. Menghindari tumpang tindih (overlapping), menjembatani kesenjangan (bridging the gaps), memfasilitasi kemajemukan pola dan mekanisme ( fungsi fasilitator), dan secara efektif melakukan pendampingan terhadap berbagai jenis kasus dan isu yang memungkinkan berbagai pihak yang terkait secara langsung maupun tidak langsung untuk memberikan partisipasi yang menunjang misi besar pengawasan dan pengendalian.
Salah satu strategi kolaboratif yang efektif untuk situasi ini adalah pengarusutamaan (mainstreaming) fungsi dan strategi pengawasan dalam berbagai perangkat dan sistem pembangunan yang ada saat ini, baik program, perencanaan, sistem informasi, institusi, dan sebagainya dengan melibatkan seluruh pihak (pemerintah, swasta, LSM, donor, masyarakat) sehingga dapat mengoptimalkan setiap upaya pengendalian. Metode ini melepaskan sekat-sekat sektoral atau ego-sektoral yang ada, menuju fungsi kerja bersama untuk manfaat bersama.
Upaya mainstreaming sistem pengawasan menjadi sangat relevan berdasarkan beberapa asumsi maupun fakta bahwa :
§ Isu dan ancaman yang kompleks tidak mungkin ditangani sebuah institusi. Tingkat kerumitan dan kompleksitas isu maupun ancaman terhadap sumberdaya kelautan Indonesia, pada hakekatnya tidak mungkin dapat dibebankan atau menjadi tugas dan tanggung jawab satu institusi atau pihak semata.
§ Potensi menjadi domain publik. Seluruh institusi dan komponen masyarakat pada dasarnya memiliki hak dan potensi untuk berpartisipasi atau menjalankan fungsi pengawasan dalam berbagai skala maupun tingkatan.
§ Sinergi untuk menutupi keterbatasan. Keterbatasan anggaran, peralatan, SDM, kebijakan, dan perangkat pengawasan di setiap institusi terkait, apabila disinergikan secara optimal dapat memberikan dampak yang lebih besar dan manfaat yang efektif
§ Harmo
4. Strategi Mainstreaming Sistem Pengawasan
Upaya mainstreaming sistem pengawasan ini memerlukan suatu pendekatan dan proses, antara lain namun tidak terbatas pada:
§ Menginspirasi tanggung jawab bersama. Sistem pengawasan sumberdaya kelautan, pada hakekatnya adalah pengawasan sebuah matra, sehingga pengawasan yang efektif akan memberikan manfaat bagi semua pihak. Sementara pengawasan yang lemah akan memberikan efek kerugian yangamat besar bagi semua pihak. Siapapun dan dari lembaga apapun, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat memberikan kontribusi dalam strategi dan sistem pengawasan. Baik dalam bentuk kontribusi informasi, strategi, sumberdaya manusia, dan sebagainya. Secara tidak langsung ditingkat daerah misalnya, DKP bisa menitipkan beberapa pertanyaan atau informasi kepada program/institusi di daerah misalnya pada proses sensus penduduk tahunan, pos yandu, kegiatan pramuka, RT/RW/Lurah, Kuliah Lapangan mahasiswa, perguruan tinggi/pesantren, koperasi-koperasi, LSM, orga
§ Positioning Peran DKP sebagai fasilitator. Untuk melakukan pengawasan matra yang begitu luas, dibutuhkan ‘kebesaran hati’ bagi DKP untuk meninggalkan fungsi sektoral semata dan ‘naik kelas’ menjadi fasilitator yang bertugas mencoba menjembatani berbagai proses kerja bersama/kolaborasi untuk melahirkan format pengawasan yang komprehensif. Untuk menjadi fasilitator yang baik, ‘logo DKP’ perlu tidak dimunculkan secara jelas, dan mendapatkan porsi sama dengan institusi lain. Sekalipun secara substansial DKP yang banyak memfasilitasi upaya-upaya kerja bersama tersebut.
§ Media data dan informasi multi-pihak. Di era teknologi informasi yang semakin murah dan mudah, DKP perlu menyiapkan suatu media data dan informasi menyangkut isu dan ancaman terhadap sumberdaya kelautan yang dapat diakses secara up to date oleh semua lapisan. Media informasi ini ditingkat awal bisa diinisiasi oleh DKP, namun perlu diproyeksikan untuk menjadi milik bersama. Dengan adanya media yang ‘bisa dipercaya’ baik sebagai informasi biasa maupun sebagai referensi berbagai tujuan, media ini perlahan-lahan akan mengundang partisipasi dari berbagai pihak. Berbagai kebijakan, strategi aksi, lokasi-lokasi target, jenis isu yang rawan, pihak-pihak yang menjadi target, status pencapaian dan perencanaan pengawasan dapat dimasukkan dalam sistem informasi tersebut secara bertahap.
§ Format dan bingkai kerjasama yang fleksibel. Mengingat setiap institusi atau lembaga memiliki sekat birokrasi dan keterbatasan, DKP harus mampu menyiapkan format dan kerangka kemitraan yang fleksibel, sederhana dan tidak rumit. Format kemitraan harus memberikan nuansa manfaat untuk pihak yang bermitra, bukan transfer beban atau ‘menitipkan’ tugas semata. Ownership dalam proses-proses kemitraan ini perlu digalang bagi smua pihak. Bukan DKP semata.
§ Peningkatan kapasitas dan Pendampingan/Advokasi Kasus Intensif. Dalam banyak kasus, misalnya peradilan kasus perikanan ilegal atau pemanfaatan pulau, atau sengketa batas wilayah dibutuhkan kepakaran yang memadai untuk mendatangkan fungsi pengawasan dan pengendalian yang efektif. Untuk itu, DKP harus menyiapkan diri untuk berperan aktif bagi institusi-institusi yang membutuhkan pendampingan, advokasi maupun kepakaran yang dibutuhkan, sehingga persoalan dapat dituntaskan. Pendampingan ini bisa dibentuk secara informal bersama-sama, bisa juga diformalkan sebagai ‘help-desk’. Pendampingan intensif untuk berbagai jenis kasus yang berbeda didokumentasikan sebagai model yang memungkinkan semua pihak melihat peran dan fungsi strategisnya dalam upaya pengawasan dan pengendalian.
§ Komunikasi multi-media interaktif. Semakin sering pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan mendapatkan liputan, semakin intensif upaya, perhatian maupun partisipasi terhadapnya. Untuk itu, komunikasi formal dan informal dengan media perlu dikemas secara efektif. Momentum hari-hari nasional dan internasional, perlu dikemas untuk mendapatkan momentum peliputan status pengawasan. Pengkaderan wartawan dan umum khusus pengawasan sumberdaya kelautan perlu dikemas secara apik untuk memberikan ruang bagi media maupun khalayak yang ingin memperdalam atau berpartisipasi dalam format pengawasan tersebut.
5. Kriteria Operasionalisasi Mainstreaming Sistem Pengawasan
§ Konsolidasi internal DKP dan eksternal. Misi DKP untuk me-mainstreaming strategi pengawasan harus mampu dipahami secara internal DKP dan disosialisasikan secara eksternal ke berbagai departemen dan dinas, LSM, swasta, masyarakat dan sebagainya. Konsolidasi ini perlu dirancang seefektif mungkin sehingga DKP mampu melepaskan diri dari sekat institusi/direktorat maupun berdasarkan peran sektoral semata. Konsolidasi dan komunikasi ini juga perlu menekankan bahwa pengawasan tidak identik dengan menangkapi orang-orang kecil, namun bagian integrasi dari elemen pembangunan. Image dan kemasan pengawasan perlu disederhanakan dalam bingkai pembangunan agar tidak melahirkan resistensi partisipasi.
§ Cross cutting team. Sistem mainstreaming ini memerlukan kesatuan rencana dan aksi yang bergerak secara paralel baik dalam wilayah kegiatan/program DKP sendiri maupun institusi/departemen lain, sehingga dibutuhkan tim (formal maupun informal) yang mampu berperan lintas sektoral-institusional dan program-program.
§ Pemetaan Potensi Mainstreaming Pengawasan. DKP perlu melakukan suatu pengkajian dan pemetaan yang mengidentifikasi dan memvisualkan segenap potensi mitra, baik langsung atau tidak langsung, untuk menjalankan ‘mainstreaming’ pengawasan. Dalam pemetaan ini, peran setiap pihak, mulai program dan kegiatan pemerintah, swasta, LSM, kelompok masyarakat, partai, dan sebagainya harus mampu diterjemahkan dalam kerangka fungsional untuk pengawasan dan diformat dalam semangat partisipatif yang tidak membebani.
§ Roadmap / Skenario. Dibutuhkan suatu roadmap dan skenario yang memungkinkan seluruh tim dan DKP maupun mitra institusinya memahami bahwa untuk mencapai titik ideal pengawasan, membutuhkan kerangka skenario bersama (ownership) dan roadmap yang terpadu, tanpa harus memberikan beban kepada pihak lain. Roadmap ini harus mampu mendemonstrasikan keuntungan bermitra, baik secara ekonomi, program, maupun pencapaian.
§ Disiplin Proses dan Tahapan. Pendampingan intensif dibutuhkan untuk memastikan bahwa berbagai perubahan baik eksternal maupun internal, tidak merubah komitmen dan prinsip kegiatan ke arah terbalik. Model instan dan oportunis, perlu dicekal agar tidak terjadi dalam upaya membangun sistem secara wajar.
§ Simulasi Pengawasan dan Pengendalian. Setiap isu/obyek pengawasan memiliki karakteristik yang unik dan membutuhkan pendekatan dan mitra yang relatif berbeda. Untuk itu, perlu disusun suatu simulasi untuk berbagai jenis kasus yang ada yang kemudian dibahas dan didiskusikan melibatkan berbagai pihak, sehingga dihasilkan suatu pendekatan yang secara sosial efektif, secara ekonomis efisien dan mampu menuntaskan suatu permasalahan.
§ Dashboard Pengawasan dan Pengendalian. Dalam menjalankan strategi pengawasan dan pengendalian dinamika dapat terjadi, sehingga ada satu atau dua kasus yang mendapatkan perhatian dan yang lainnya terlupakan. Untuk itu, diperlukan indikator efektif yang dapat berfungsi sebagai dash-board yang bisa menyeimbangkan proses dan fokus penanganan berbagai kasus/obyek dengan skala yang wajar. Dashboard ini juga untuk menjadi acuan dan pertanggungjawaban sosial DKP terhadap kinerja pengawasan, sehingga meningkatkan kepercayaan publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar