Pulau Bontosua siang itu sangat panas. Matahari bersinar terik hingga 34o
C. Hawa panas ini terasa di dalam masjid yang dipenuhi jemaah solat
Jumat. Kipas angin pendingin ruangan tak berfungsi akibat listrik yang
padam tiba-tiba di tengah waktu solat. Namun tak ada yang bergeming dari
tempatnya. Semua orang duduk takzim hingga akhir doa dari imam.
Setelah sholat, Muhammad Ridwan, salah seorang warga setempat,
tergopoh-gopoh pulang ke rumahnya yang tak jauh dari masjid. Sebelumnya
ia meminta saya singgah di rumahnya setelah solat jumat. Ia ingin
memperlihatkan sesuatu yang penting, katanya.
Ridwan bertubuh tegak dengan kulit kecoklatan terbakar matahari, khas
masyarakat pesisir. Usianya sekitar 40 tahun meski secara postur
terlihat lebih muda. Bicaranya tegas dengan tatapan yang tajam.
Sehari-hari ia adalah nelayan yang merangkap sebagai pengawas perairan,
tepatnya sebagai kordinator Pos Pengawasan Masyarakat (Poswasmas) untuk
wilayah pulau yang terletak di Kecamatan Liukang Tuppabiring, Kabupaten
Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan, ini.
Di rumahnya yang baru saja direnovasi ia memperlihatkan data-data
pengawasan dalam setahun terakhir, lengkap dengan foto-foto. Sebagai
pengawas perairan ia dilengkapi dengan pakaian selam beserta tabungnya.
Ia juga punya perahu fiber untuk pengawasan yang diakunya milik pribadi,
kecuali mesinnya yang merupakan bantuan dari Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) beberapa tahun lalu.
“Ini piagam-piagam kegiatan dan sertifikat. Kami banyak dilatih untuk melakukan pengawasan. Ada juga sertifikat diving dan beberapa penghargaan dari gubernur,” katanya dengan bangga kepada Mongabay, pertengahan Maret 2017 lalu.
Poswasmas sendiri memiliki peran penting dalam ikut mengawasi
perairan. Sebuah model pengawasan perairan berbasis partisipasi
masyarakat. Mereka direkrut dari masyarakat setempat yang bekerja secara
sukarela membantu pemerintah melakukan pengawasan perairan. Mereka tak
digaji secara rutin, hanya berupa insentif yang diterima setiap tahun.
Jumlahnya pun tak besar karena harus dibagi rata kepada seluruh anggota
kelompok. Seringkali, malah mereka harus menggunakan biaya pribadi untuk
ongkos transportasi dan komunikasi.
Meski tak digaji, Ridwan tetap terlihat bersemangat dengan
pekerjaannya. Bajunya yang bertulis ‘Poswasmas’ di bagian belakang dan Turn Back Illegal Fishing
di bagian depan, membuatnya tampak menonjol dibanding warga lain. Ada
semacam penghargaan tertentu bagi warga ketika berpapasan dengannya.
Berawal dari Program Coremap
Keterlibatan Ridwan dalam Poswasmas berawal dari pelaksanaan program Coremap (Coral Reef Management Program)
pada tahun 2005 silam. Ketika kepala desa saat itu menawarkan kepada
warga untuk terlibat sebagai pengawas perairan, Ridwan langsung
mengajukan diri. Meski diberitahu tentang resiko dari pekerjaan ini, tak
mengurungkan niatnya. Ia bahkan kemudian ditunjuk sebagai kordinator,
memimpin 11 orang anggota Poswasmas lainnya.
Menurutnya, keinginannya untuk terlibat di Poswasmas didasari oleh
rasa tanggungjawabnya untuk menjaga wilayah sekitar pulau tempat
kelahirannya tersebut. Selain itu, ia merasa bangga bisa bergaul dengan
pejabat-pejabat dari kabupaten, provinsi dan kementerian. Apalagi
kemudian ia banyak mengikuti pelatihan dan memperoleh penghargaan dari
pemerintah. Semua itu memotivasinya untuk bekerja lebih baik.
“Meski tak digaji namun saya tetap akan bekerja maksimal. Saya ingin
mendapatkan penilaian baik atas pekerjaan saya,” katanya bersemangat.
Meskipun diberi wewenang dan tanggungjawab yang besar, Ridwan
mengakui selalu mengikuti prosedur pengawasan yang ada. Tidak melakukan
tindakan apapun kepada pelaku. Hanya sekedar mencatat pelanggaran dan
melaporkannya pada dinas atau Polair (polisi perairan) setempat.
“Kalau ada kasus kita langsung ke lokasi, mencatat dengan rinci,
siapa pelaku dan barang buktinya apa, lalu melaporkannya ke petugas yang
lebih berwenang. Berdasarkan laporan kami inilah kemudian polisi atau
polair akan mengejar dan menangkap pelaku,” katanya.
Kasus-kasus pelanggaran biasanya berupa bom dan bius ikan. Jika bom
ikan bisa diketahui dari suara ledakan, maka pembiusan ikan biasanya
dilihat dari aktivitas penyelaman yang dilakukan. Di siang hari
aktivitas ini mudah diketahui sehingga kemudian banyak yang melakukannya
secara sembunyi-sembunyi di malam hari. Aktivitas mereka biasanya baru
diketahui jika ada laporan nelayan setempat yang kebetulan sedang
melaut.
“Kadang ada laporan malam-malam. Kami langsung kordinasi dengan
seluruh anggota kemudian ke lokasi. Pelaku biasanya dari pulau-pulau
sekitar.”
Wilayah kerja pengawasan Ridwan sendiri mencakup perairan Pulau
Bontosua mencakup beberapa radius kilometer yang mudah diketahui dengan
adanya penanda berupa bentangan tali yang diberi pelampung atau bisa
disebut DPL (daerah perlindungan laut).
Sikap hati-hati dan kewaspadaan memang dibutuhkan dalam pekerjaan
ini. Pelaku bom ikan misalnya, bisa saja menggunakan bom ikan yang
dimilikinya untuk menyerang, atau menggunakan jenis senjata lain.
Untungnya selama ini belum pernah ada kontak fisik dengan para pelaku.
Meski demikian, Ridwan mengakui seringkali mendapat ancaman, meski
tidak secara langsung disampaikan kepada dirinya. Hanya berupa
desas-desus. Mereka konon masuk dalam daftar sebagai orang-orang yang
‘dicekal’ memasuki beberapa pulau desa yang warganya banyak dilaporkan
Ridwan dan kawan-kawannya.
“Sering kami dengar ada ancaman-ancaman namun kami tidak takut selama
kami menjalankan tugas yang diamanahkan. Katanya ada yang marah
dilaporkan namun saya tidak perduli.”
Tugas lain yang dilakukan Ridwan dan anggota Poswasmas lainnya adalah
membantu dalam mensosialisasikan berbagai kebijakan dan program
pemerintah. Termasuk di dalamnya penggunaan alat tangkap yang tidak
merusak, tidak membuang sampah di laut, dan lainnya.
Sukses sebagai Nelayan
Ridwan sendiri dulunya merupakan ponggawa pemilik kapal penangkap ikan yang disebut kapal gae, atau dikenal sebagai kapal purse seine. Ia
punya armada sendiri dengan jumlah awak belasan orang, terdiri dari
warga sekitar atau dari pulau-pulau lain yang direkruit khusus untuk
menangkap ikan berhari-hari atau bahkan bermingu-minggu di laut. Kapal gae
ini jangkauannya bisa mencapai Kendari di Sulawesi Tenggara, Kalimantan
dan malah bisa lebih jauh lagi mencapai perairan Nusa Tenggara.
Selama 7 tahun ia maggae, istilah untuk penangkapan dengan
metode ini, Ridwan merasa tidak mampu menghasilkan produksi yang
memadai. Bahkan terkadang rugi. Apalagi ketika ia harus merekrut awak
dari daerah lain, yang harus diongkosi dalam jumlah besar.
Karena tak sanggup lagi mengoperasikan armadanya, Ridwan kemudian
menjual kapal warisan mertuanya tersebut. Ia beralih menjadi nelayan
pengumpul. Membeli ikan dari nelayan lain kemudian dijual ke pedagang
yang lebih besar di Makassar. Usaha ini pun kemudian terhenti terkendala
modal.
Kini Ridwan, sebagaimana sebagian besar nelayan di Pulau Bontosua
lebih banyak menangkap cumi-cumi, yang mulai dilakoninya sejak 2015
silam. Populasi cumi-cumi di sekitar perairan Pulau Bontosua cukup
besar, apalagi di musim-musim tertentu, antara Juni-Agustus. Cumi-cumi
ditangkap dengan cara dipancing. Dalam sehari hasil tangkapan bisa
mencapai 20 kg per hari, dengan harga Rp30 ribu per kg.
“Pernah saya memperoleh penghasilan hingga Rp16 juta per bulan. Tergantung musimnya saja.”
Usaha lain yang dilakoni Ridwan adalah budidaya tiram mutiara,
budidaya kerapu cantang dan lobster. Usaha ini masih tergolong baru,
dimulai sekitar 3 tahun silam. Ridwan optimis panen budidayanya,
khususnya tiram mutiara, bisa memberi hasil yang besar. Ia merencanakan
panen perdana beberapa bulan ke depan.
http://www.mongabay.co.id/2017/04/17/kisah-muhammad-ridwan-nelayan-penjaga-laut-di-pulau-bontosua/
Cari Kos Kosan di Kota Kendari ini
tempat
Menerima pesanan
Kanopi, Pagar Besi, Jendela
dengan Harga
Murah dengan Sistim Panggilan.
Miliki Kavling tanah
di Pusat Pemerintahan Kabupaten Bima di GRIYA GODO PERMAI BIMA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar