Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terbilang mengejutkan. Betapa
tidak, survei yang dilakukan oleh SMRC (Saiful Mujani Research and Consulting)
dan Indo Barometer pada tahun 2016 menunjukkan bahwa kinerja KKP
tergolong baik. Ironisnya, kinerja KKP pada tahun 2016-2017 justru
beroleh predikat disclaimer (Tidak Memberikan Pendapat) dari BPK.
Publik mafhum bahwa Presiden Joko Widodo menginginkan orientasi
pembangunan republik mengarah ke laut. Ditandai oleh terbitnya jargon
“laut adalah masa depan bangsa”. Untuk menindaklanjutinya, KKP
berkomitmen untuk mewujudkan sektor kelautan dan perikanan Indonesia
yang mandiri, maju, kuat, dan berbasis kepentingan nasional yang
bertolak dari 3 misi utama, yakni kedaulatan, keberlanjutan, dan
kesejahteraan.
Pada perkembangannya, dukungan APBN untuk KKP sejak tahun 2001 terus
mengalami kenaikan. Bahkan mencapai angka tertingginya pada tahun 2017,
yakni sebesar Rp10,87 triliun. Dengan adanya dukungan anggaran yang
mumpuni, sejatinya permasalahan pengelolaan anggaran di KKP yang
berpotensi menghambat pencapaian tujuan pembangunan kelautan dan
perikanan nasional tak perlu terjadi. Pertanyaannya, apa yang
sesungguhnya tengah terjadi di KKP?
Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (Juli 2018) mencatat,
setidaknya ada 2 penyebab utama berkenaan dengan munculnya permasalahan
pengelolaan anggaran di KKP. Pertama, perencanaan program kerja tidak
didahului oleh kajian yang memadai. Hal ini tampak pada amburadulnya
program pengadaan kapal.
Seperti diketahui, di dalam Laporan Keuangan Kementerian Kelautan dan Perikanan
(2017), BPK menemui fakta bahwa realisasi belanja barang sebesar
Rp164,42 miliar tidak diyakini kewajarannya, meliputi (i) kelemahan
pengendalian dalam perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban
belanja pengadaan kapal; dan (ii) terdapat belanja antara lain berupa
honorarium dan sewa sebesar Rp139,41 miliar tidak didukung bukti yang
lengkap dan diragukan validitasnya sebagai pertanggungjawaban atas
realisasi kegiatan (lihat Tabel 1).
Kedua, pengalokasian anggaran program tidak disertai dengan
ketersediaan informasi yang mencukupi. Hal ini terlihat pada program
Percontohan Budidaya Ikan Lepas Pantai (Keramba Jaring Apung Lepas
Pantai) yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Di dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2017,
BPK mendapati adanya realisasi belanja modal pengadaan barang
Percontohan Budidaya Ikan Lepas Pantai (Keramba Jaring Apung Lepas
Pantai) sebesar Rp60,74 miliar yang tidak diyakini kewajarannya. Betapa
tidak, BPK tidak dapat memperoleh bukti pemeriksaan yang cukup dan tepat
tentang nilai tersebut. Akibatnya, BPK tidak bisa menentukan
penyesuaian yang diperlukan terhadap piutang dan pendapatan pengembalian
belanja serta konstruksi dalam pengerjaan Kementerian Kelautan dan
Perikanan terkait angka program tersebut. Lantas, apa yang perlu
dilakukan untuk memperbaiki kondisi tersebut?
Bertolak dari temuan BPK (2018), menarik untuk digarisbawahi bahwa
permasalahan pengelolaan anggaran di KKP bermuara pada 2 hal, yakni
kepatuhan terhadap aturan perundang-undangan dan sistem pengendalian
internal. Guna mengatasi berulangnya permasalahan ini, setidaknya ada 2
hal yang bisa dilakukan. Pertama, perbaikan sistem pengendalian
internal. Pengendalian yang baik bisa dilakukan sejak perencanaan
program kerja.
Tabel 1. Temuan BPK atas Laporan Keuangan KKP Tahun 2017
Amburadulnya proyek pengadaan kapal bisa dihindari apabila
perencanaan program kerja mempertimbangkan (a) penetapan target kapal
yang akan dibangun didasarkan pada peta dasar sebaran armada penangkapan
ikan yang telah beroperasi di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara
Republik Indonesia; (b) verifikasi target penerima kapal dilakukan tidak
asal tunjuk; dan (c) keterlibatan masyarakat nelayan dalam mengusulkan
desain dan spesifikasi kapal penangkap ikan yang akan dibangun. Dengan
ketiga cara inilah, niscaya pembangunan kapal tidak akan menemui
masalah.
Kedua, dijalankannya mekanisme pemberian penghargaan dan sanksi
kepada mesin birokrasi yang terlibat. Hal ini diperlukan untuk
memastikan bahwa setiap program kerja pemerintah dijalankan dengan
sebaik mungkin. Harapannya, jargon “asal Ibu senang” tak lagi menjadi
pedoman. Dengan kedua langkah strategis inilah, niscaya KKP tak lagi
tersandung laporan audit BPK di tahun 2018.
*Abdul Halim, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan. Artikel ini merupakan opini penulis
https://www.mongabay.co.id/2018/07/30/kkp-tersandung-audit-bpk/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar