01 Agustus, 2018

KKP Tersandung Audit BPK

Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terbilang mengejutkan. Betapa tidak, survei yang dilakukan oleh SMRC (Saiful Mujani Research and Consulting) dan Indo Barometer pada tahun 2016 menunjukkan bahwa kinerja KKP tergolong baik. Ironisnya, kinerja KKP pada tahun 2016-2017 justru beroleh predikat disclaimer (Tidak Memberikan Pendapat) dari BPK.

Publik mafhum bahwa Presiden Joko Widodo menginginkan orientasi pembangunan republik mengarah ke laut. Ditandai oleh terbitnya jargon “laut adalah masa depan bangsa”. Untuk menindaklanjutinya, KKP berkomitmen untuk mewujudkan sektor kelautan dan perikanan Indonesia yang mandiri, maju, kuat, dan berbasis kepentingan nasional yang bertolak dari 3 misi utama, yakni kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan.

Pada perkembangannya, dukungan APBN untuk KKP sejak tahun 2001 terus mengalami kenaikan. Bahkan mencapai angka tertingginya pada tahun 2017, yakni sebesar Rp10,87 triliun. Dengan adanya dukungan anggaran yang mumpuni, sejatinya permasalahan pengelolaan anggaran di KKP yang berpotensi menghambat pencapaian tujuan pembangunan kelautan dan perikanan nasional tak perlu terjadi. Pertanyaannya, apa yang sesungguhnya tengah terjadi di KKP?

Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (Juli 2018) mencatat, setidaknya ada 2 penyebab utama berkenaan dengan munculnya permasalahan pengelolaan anggaran di KKP. Pertama, perencanaan program kerja tidak didahului oleh kajian yang memadai. Hal ini tampak pada amburadulnya program pengadaan kapal.

Seperti diketahui, di dalam Laporan Keuangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2017), BPK menemui fakta bahwa realisasi belanja barang sebesar Rp164,42 miliar tidak diyakini kewajarannya, meliputi (i) kelemahan pengendalian dalam perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban belanja pengadaan kapal; dan (ii) terdapat belanja antara lain berupa honorarium dan sewa sebesar Rp139,41 miliar tidak didukung bukti yang lengkap dan diragukan validitasnya sebagai pertanggungjawaban atas realisasi kegiatan (lihat Tabel 1).

Nelayan di Teluk Penyu, Cilacap, Jateng, memarkirkan kapalnya agak tinggi ke daratan pada Sabtu (21/7/2018). Nelayan takut melaut karena gelombang tinggi yang terjadi pada awal minggu ini. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

Kedua, pengalokasian anggaran program tidak disertai dengan ketersediaan informasi yang mencukupi. Hal ini terlihat pada program Percontohan Budidaya Ikan Lepas Pantai (Keramba Jaring Apung Lepas Pantai) yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Di dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2017, BPK mendapati adanya realisasi belanja modal pengadaan barang Percontohan Budidaya Ikan Lepas Pantai (Keramba Jaring Apung Lepas Pantai) sebesar Rp60,74 miliar yang tidak diyakini kewajarannya. Betapa tidak, BPK tidak dapat memperoleh bukti pemeriksaan yang cukup dan tepat tentang nilai tersebut. Akibatnya, BPK tidak bisa menentukan penyesuaian yang diperlukan terhadap piutang dan pendapatan pengembalian belanja serta konstruksi dalam pengerjaan Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait angka program tersebut. Lantas, apa yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kondisi tersebut?

Bertolak dari temuan BPK (2018), menarik untuk digarisbawahi bahwa permasalahan pengelolaan anggaran di KKP bermuara pada 2 hal, yakni kepatuhan terhadap aturan perundang-undangan dan sistem pengendalian internal. Guna mengatasi berulangnya permasalahan ini, setidaknya ada 2 hal yang bisa dilakukan. Pertama, perbaikan sistem pengendalian internal. Pengendalian yang baik bisa dilakukan sejak perencanaan program kerja.

Tabel 1. Temuan BPK atas Laporan Keuangan KKP Tahun 2017

Amburadulnya proyek pengadaan kapal bisa dihindari apabila perencanaan program kerja mempertimbangkan (a) penetapan target kapal yang akan dibangun didasarkan pada peta dasar sebaran armada penangkapan ikan yang telah beroperasi di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia; (b) verifikasi target penerima kapal dilakukan tidak asal tunjuk; dan (c) keterlibatan masyarakat nelayan dalam mengusulkan desain dan spesifikasi kapal penangkap ikan yang akan dibangun. Dengan ketiga cara inilah, niscaya pembangunan kapal tidak akan menemui masalah.

Kedua, dijalankannya mekanisme pemberian penghargaan dan sanksi kepada mesin birokrasi yang terlibat. Hal ini diperlukan untuk memastikan bahwa setiap program kerja pemerintah dijalankan dengan sebaik mungkin. Harapannya, jargon “asal Ibu senang” tak lagi menjadi pedoman. Dengan kedua langkah strategis inilah, niscaya KKP tak lagi tersandung laporan audit BPK di tahun 2018.

*Abdul Halim, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan. Artikel ini merupakan opini penulis

https://www.mongabay.co.id/2018/07/30/kkp-tersandung-audit-bpk/

Tidak ada komentar: