Saya mengunjungi Desa Wisata Namu, Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe
Selatan, Sulawesi Tenggara, Sabtu (30/6/18). Desa ini jadi buah bibir
warga Sultra, terutama Kota Kendari karena keindahan alamnya.
Namu dihuni 481 jiwa dengan 121 keluarga, yang menggantungkan hidup dari bertani dan melaut. Penduduk mayoritas Suku Tolaki.
Kala musim barat, laut cenderung teduh, masyarakat ramai melaut. Saat
musim timur, ketika ombak tak bersahabat, warga memilih bertani.
Banyak potensi wisata dapat dinikmati di sini. Mulai keindahan laut
biru dengan hamparan pasir putih, terumbu karang, suasana tenang, dan
air terjun.
Hamparan pasir putih sekitar satu kilometer lebih, begitu terjaga
dari tangan jahil penambang. Kala matahari cerah, hamparan pasir bak
permadani memanjakan pengunjung menikmati sinar matahari pagi.
Bagi penyelam, sekitar 10 menit berperahu dari bibir pantai, surga
bawah laut menawarkan keindahan tiada tara. Terumbu karang hasil
revitalisasi masyarakat telah mengundang para penyelam dari pelosok
negeri sekadar berswafoto.
Namu dapat diakses via kapal angkutan milik nelayan. Di utara bibir
pantai, ada air terjun Namu berbentuk punden berundak. Ia mirip air
terjun Moramo, di Kecamatan Moramo, Konawe Selatan. Air tak pernah
berhenti mengalir meski kemarau panjang.
Di kelilingi hutan alam lebat dengan kelestarian terjaga dipercaya
jadi penjaga ketersediaan air di Namu. Kelestarian hutan Namu ini
membawa berkah pada kehidupan flora dan fauna di sana.
Jejeran nyiur rimbun jadi daya pikat untuk membentang tikar di
pantai. Di sana, ada beberapa warung dan rumah tinggal sewaan bagi
wisatawan. Kalau mengenal warga, biasa wisatawan dapat potongan harga.
Bom ikan
Di balik keindahan alam Namu, ternyata pernah ada cerita kelam. Dulu,
nelayan masih menggunakan bom untuk menangkap ikan. Mereka kebanyakan
warga pesisir.
Dulu, mereka gunakan pancing. Seiring marak bom ikan berbahan pupuk
urea dan amonium nitrat, nelayan mulai ramai memakai ‘senjata’ baru ini.
Tak pelak, tak hanya ikan-ikan mati, terumbu karang pun mengalami
kerusakan.
Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan pernah mengatakan,
hasil dari kunjungan ke beberapa provinsi mendapatkan keluhan nelayan
asal Sultra suka pakai bom saat menangkap ikan.
“Yang saya sampaikan ini bener lho, nelayan dari beberapa
daerah itu mengeluh karena yang melakukan pemboman ikan itu dari Sultra.
Karena itu, saya datang meminta nelayan di daerah ini hentikan
penggunaan bom ikan,” kata Susi di hadapan para mahasiswa dan civitas
akademika Universitas Halu Oleo di Kendari, awal 2018.
Data Dinas Perikanan dan Kelautan Konawe Selatan, kerusakan terumbu
karang 70% di Namu. “Kerusakan di pesisir Laonti, dekat Namu, terjadi
pengeboman ikan masif, sekarang sudah mulai berkurang,” kata Kepala
Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tenggara, Askabul Kijo.
Pernyataan Askabul dibenarkan sejumlah komunitas pecinta alam. Sambil
terus mengintip kondisi di sana, ternyata mereka sudah berpikir tentang
sesuatu yang besar sejak 2015.
***
Di Namu, saya bertemu Yos Hasrul, pekerja sosial pengembangan
pariwisata. Dia bercerita, Namu sebelumnya dikenal orang sebagai surga
pembom ikan, kini dikenal sebagai pusat wisata luar biasa.
“Di sini dulu jalur pengeboman ikan nyaris tak berhenti, hingga membentuk citra buruk,” katanya.
Seiring perjalanan waktu, Yos bercerita mereka mulai masuk dan
mendobrak kebiasaan warga. Sosialisasi dilakukan, mulai mendatangi rumah
warga dari pintu ke pintu sampai pertemuan yang dihadiri bupati maupun
camat.
Nelayan belajar memanfaatkan kekayaan laut dengan arif. Hampir tiap
hari mereka mendapat ilmu tentang pentingnya menjaga karang. Masyarakat
sepakat menolak keras segala bentuk tindakan merusak laut.
“Kami bersama pemerintah setempat mengajarkan kepada masyarakat
bagaimana daerah ini agar berkembang jadi tempat wisata. Ini diterima
oleh semua,” kata Yos.
Kekompakan warga bangun desa wisata
Kini, warga menolak bom ikan di laut mereka. “Kami marah kalau ada
bom ikan. Itu cerita masa lalu, jangan diulang lagi. Mari kita membangun
daerah ini,” kata Ridwan, nelayan Namu.
Wajah desa kini berubah total. Dari desa pembom ikan dan tanpa
gairah, jadi kantong penghasilan yang memberikan kehidupan bagi warga.
Secara sosial dan ekonomi, berbagai perubahan kini dirasakan warga
sekitar. Jika menyusuri jalan-jalan seputar desa, kini berbagai layanan
penunjang wisata banyak bertebaran di sepanjang jalan.
“Banyak yang kami dapatkan untuk menunjang ekonomi kami sendiri.
Tidak saja menjadi nelayan tapi di waktu libur melaut kami membuat
seperti tempat-tempat istirahat untuk orang berwisata. Kami juga
budidaya kerang laut,” ucap Ridwan.
Hampir seluruh warga Namu bergotong royong membangun desa wisata.
Kampanye peniadaan bom ikan pun terus disampaikan warga. Sukses wisata
di Namu, terkait erat dengan dua hal besar. Pertama, kuatnya dukungan masyarakat setempat terhadap perubahan. Kedua, kesuksesan mengembalikan terumbu karang rusak karena bom.
“Karena itu kami kalau melaut tidak jauh-jauh karena ikan juga sudah kembali,” ucap Nuni, juga warga Namu.
***
Desa Namu terletak di pesisir, bisa diakses oleh transportasi laut.
Pada sisi timur desa berhadapan langsung dengan Pulau Buton bagian
utara, di sisi selatan, berdampingan langsung dengan Pulau Wawonii,
Kabupaten Konawe Kepulauan.
Namu juga cukup mudah diakses dari ibukota Konawe Selatan, di sisi
utara desa, sedangkan sisi barat, berbatasan dengan wilayah administrasi
Kota Kendari, berjarak tempuh sekitar dua jam perjalanan.
Namu terbentuk sebagai desa wisata setelah Yuddin jadi kepala desa
yang terpilih kembali pada pilkades 2015. Dia bertekad jadi Namu sebagai
desa wisata.
Mimpi Yuddin tentu bukan isapan jempol belaka. Dia sadar betul dengan keindahan dan potensi alam desa ini.
Saya menemui, Yuddin. Dia bercerita, sejumlah obyek wisata di Namu,
seperti pasir putih membentang laksana alis seorang putri. Garis pantai
ini terletak di empat dusun terpisah. Paling indah dan pusat wisata di
pantai Dusun 1. Panjang garis pantai mencapai satu kilometer.
Masih di Dusun 1, pasir putih dekat dermaga di sisi selatan jadi
daya tarik tersendiri.“Saat air pasang, pasir putih tenggelam hingga
cocok untuk snorkeling. Saat surut, pasir panjang membentang luas bisa untuk berjemur dan jadi arena olah raga sepakbola atau voly pantai,” katanya.
Tak jauh dari pasir panjang, pengunjung disuguhkan keindahan bebatuan alam berwana hitam pekat (black stone)
mirip di Uluwatu, Bali, dan cocok untuk pemotretan. Hamparan batu
hitam ini terhubung dengan tanjung dan bebatuan berwarna merah (red stone).
Kedua sisi hamparan batu hitam dan batu merah terdapat kumpulan
pepohonan mangrove dan cemara laut nan indah. Di tanjung, wisatawan
bisa menyaksikan keindahan laut di Dusun 3 dan Dusun 4 Desa Namu.
Pemukiman penduduk juga tampak indah dari kejauhan.
”Di tanjung ini, alam bawah laut cocok jadi lokasi penyelaman. Hasil
eksplorasi tim penyelam menemukan kondisi terumbu karang masih alami,
mirip alam bawah laut Wakatobi,” ucap Yuddin.
Ke Namu, saya tak saja menikmati keindahan laut. Di belakang desa
ada danau biru dengan sumber air dari pegunungan Namu. Sekitar satu
kilometer di punggung bukit desa, juga ada wisata air terjun setinggi 12
meter, mirip air terjun Moramo pada Suaka Margasatwa Tanjung Peropa.
Aneka satwa masih sering dijumpai di sini, seperti rusa, anoa, kera
hitam Sulawesi, rangkong, elang Sulawesi hingga babi hutan. Begitu
juga aneka flora endemik tumbuh subur di hutan Namu, seperti anggrek
macan corak kuning yang sangat langka.
Keterangan foto utama: Pemerintah desa dan aktivis sosial terus menggenjot pengembangan wisata Namu. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia
(Visited 1 times, 2 visits today)
Belum Lengkap Pegawai Ditjen Perikanan Tangkap Kalau Belum Pakai Topi ini
Yang Berminat Hub 081342791003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar