Oleh: Dedi Gunawan Widyatmoko (Mahasiswa program Master of Maritime Policy di The Australian National Centre for Ocean Resources [ANCORS], UoW, Australia)
PEMUDA MARITIM
– Geoffrey Till, ahli sejarah maritim dan strategi maritim dari Inggris
dalam bukunya Seapower – A guide for the twenty-first century
menerjemahkan seapower menjadi 2 aspek: input dan output. Seapower
sebuah negara sebagai input merupakan gabungan dari kekuatan Angkatan
Laut, Coastguard, Industri Maritim, Angkatan Udara dan Angkatan Darat
negara tersebut. Sedangkan seapower sebagai output dilihat sebagai
kemampuan sebuah negara memanfaatkan laut dan memberikan pengaruhnya di
laut.
Apabila kita gabungkan 2 konsep ini, seapower bisa diartikan sebagai kekuatan sebuah negara untuk melindungi kepentingannya di laut. Konsep seapower ini rasanya masih sangat relevant untuk menilai situasi dunia akhir-akhir ini.
Berita Internasional yang KurangMendapat Perhatian di Tanah Air
Beberapa hari belakangan, media-media nasional lebih banyak dihiasi berita tentang siapa calon presiden dan wakil presiden 2019 dan sedikit mengabaikan berita-berita internasional yang menurut penulis sangat menarik untuk menilai apa yang sedang terjadi dan apa yang mungkin akan terjadi di dunia. Apa yang sedang terjadi dan yang mungkin akan akan terjadi dalam tataran global tersebut mau tidak mau akan sangat berpengaruh dalam segala aspek kehidupan di Indonesia.
Dimulai lawatan Presiden AS Donald Trump ke Jepang, Korea Selatan dan China beberapa bulan yang lalu dalam rangka mencoba menyelesaikan masalah rudal jarak jauh Korea Utara yang mengancam tatanan global. Sepertinya lawatan ini tidak terlalu memberikan hasil dalam mengurangi ketegangan.
China terlihat tidak menuruti permintaan Amerika Serikat untuk turut memberikan embargo ke Korea Utara. Bahkan berita terakhir yang mungkin membuat AS jengkel adalah berita kunjungan Kim Jong Un ke China yang semula terkesan tertutup untuk publik tetapi akhirnya diumumkan. Kejadian ini tentu saja makin mempertegang hubungan China–AS.
Ketegangan China–AS ini dipicu dengan makin menguatnya ekonomi China yang terus bergerak dan makin menguasai perdagangan dunia. Presiden Trump melakukan berbagai upaya untuk membuat AS berjaya kembali dengan proteksi perdagangan dan menarik diri dari berbagai perjanjian perdagangan bebas.
Terakhir AS menerapkan tarif yang tinggi untuk impor aluminium dan baja yang masuk ke Negara Paman Sam tersebut. Tentu saja upaya ini untuk menghadang dominasi China dan menghidupkan kembali industri dalam negeri AS.
Tarif ini kemudian diberlakukan dengan pengecualian terhadap sekutu-sekutu AS salah satunya Australia. Tentu saja langkah AS ini makin mempertajam persaingan China–AS dalam perang dagang.
Berita lain yang perlu menjadi perhatian adalah menegangnya hubungan antara Rusia dengan negara-negara barat. Peristiwa upaya pembunuhan warga negara Rusia yang mendapatkan suaka politik di Inggris menjadi titik awal ketegangan. Rusia tidak mengakui berada di belakang upaya pembunuhan ini akan tetapi pihak Inggris sepertinya sangat yakin kalau Rusia yang mendalangi aksi ini. Inggris kemudian mengusir diplomat-diplomat Rusia dari negaranya dan diikuti oleh AS.
Rusia kemudian membalas dengan mengusir juga diplomat-diplomat AS dan negara-negara barat termasuk juga Australia dari negaranya. Ketegangan ini sepertinya akan menjadi nostalgia era perang dingin.
Dari berita-berita tersebut, dapat disimpulkan adanya ketegangan yang makin besar di dunia yang kemudian memperjelas adanya persaingan 3 kekuatan utama di dunia: AS, Rusia dan China (dan saat ini sedang dipimpin oleh Presiden yang tangguh dan teguh pendirian: Donald Trump, Vladimir Putin dan Xi Jinping).
Kehadiran Armada Angkatan Laut China untuk latihan dalam jumlah yang significant di Laut China Selatan adalah upaya China untuk “unjuk gigi”. Pidato Presiden Putin yang menyampaikan bahwa kemampuan persenjataan Rusia mampu menjangkau seluruh dunia jelas saja bisa diartikan sebagai pernyataan “jangan pernah remehkan Rusia”.
Negara-negara lain dengan permasalahan dan konfliknya masing-masing menjadi medan pertarungan pengaruh 3 negara besar tersebut. Konflik Syiria dan berbagai permasalahan di Timur Tengah yang tak kunjung usai; potensial konflik di Laut China Selatan yang melibatkan negara-negara pantai di sekelilingnya; dan program senjata nuklir Korea Utara yang belum ada jalan komprominya, pasti akan menambah ketegangan 3 kekuatan besar ini.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan posisi berada di persilangan antara 2 Samudera (India dan Pasifik) dan 2 Benua (Asia dan Australia). Indonesia juga merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia. Dari 2 kenyataan tersebut, negara-negara lain pasti melihat Indonesia sebagai jalur lintas baik militer maupun perdagangan dan Indonesia sebagai potensi pasar komoditas.
Jalur lintas dan potensi pasar Indonesia tersebut erat kaitanya dengan persaingan seapower negara-negara besar. Sejak merdeka, Indonesia sudah mengambil posisi non-blok dalam percaturan politik dunia.
Dengan posisi sebagai negara non-blok, Indonesia tidak terikat persekutuan pertahanan dengan negara manapun. Dan ini juga bisa diartikan bahwa Indonesia akan berusaha meyelesaikan masalah ancaman terhadap pertahanannya dengan kemampuan sendiri.
AS dengan Uni Soviet (Rusia) pada era perang dingin menganggap sangat penting peran dan posisi Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara. Hal ini mengakibatkan kedua negara tersebut berebut pengaruh atas Indonesia.
Untuk saat ini, hal itu tidak begitu terlihat. Rusia lebih berkonsentrasi di Timur Tengah dalam perebutan pengaruhnya dengan AS. Jadi bisa disimpulkan bahwa Indonesia tidak begitu terlibat dan dilibatkan dalam konflik Rusia dengan AS dan negara-negara barat.
Hal ini berbeda apabila kita melihat persaingan China dengan AS. Indonesia berada pada posisi yang penting dalam persaingan 2 kekuatan ini. Kepentingan ekonomi dan kepentingan militer atas Indonesia yang membuat Indonesia menjadi begitu penting buat kedua negara besar tersebut.
China masih menjadi mitra dagang terbesar Indonesia dengan AS berada di posisi kedua. Industri pertahanan China juga mulai masuk pasar Indonesia. Tentu saja hal tesebut menjadi ancaman dominasi industri pertahanan AS dan sekutunya.
Posisi Strategis Indonesia yang Berada di Posisi Silang
Sejak Deklarasi Djuanda 1957 sampai sekarang, Indonesia terus berupaya memperjuangkan kedaulatan laut kepulauannya. Perjuangan ini sudah berhasil dalam hal pengakuan dunia atas penguasaan Sumber Daya Alam di Perairan Kepulauan yang mutlak di bawah sovereignty (kedaulatan) Indonesia. Akan tetapi dalam hal lintas laut, perjuangan untuk bisa sepenuhnya menjaga kepentingan Indonesia di Perairan Kepulauan belumlah sepenuhnya berhasil.
Perairan Kepulauan Indonesia masih menjadi perairan yang relatif bebas. Dan hal ini memang menjadi tujuan AS, Australia dan negara-negara maritim besar lainnya yang ingin mempertahankan dominasinya atas laut dengan tetap berlakunya freedom of navigation/kebebasan bernavigasi di berbagai tempat salah satunya di Perairan Kepulauan Indonesia.
Insiden Bawean pada tahun 2003 menjadi bukti dominasi AS untuk tetap memberlakukan freedom of navigation di Perairan Kepulauan Indonesia dengan mengabaikan UU no 37/2002 tentang ALKI. Jelas diatur dalam UU tersebut bahwa lintas Perairan Kepulauan Indonesia harus hanya melalui 3 ALKI yang sudah ditentukan. Dan Laut Jawa bukanlah ALKI sesuai UU tersebut.
Berkaitan dengan hal-hal tersebut, Indonesia akan berada di posisi diperebutkan oleh China dan AS dalam rangka kepentingan mereka untuk mengamankan jalur perdagangan dan memasarkan produk mereka. Australia dalam hal ini berada pada posisi yang agak dilematis.
Australia adalah sekutu AS akan tetapi China menjadi mitra dagang terbesar Australia diatas AS dan Jepang. Apabila ketegangan antara China dengan AS makin membesar, sudah dapat dipastikan bahwa hubungan dagang Australia– China akan terganggu bahkan mungkin terputus.
Apabila eskalasi konflik AS–China meningkat, kemungkinan besar Laut China Selatan menjadi pusat medan konfliknya dan seapower adalah alatnya. Kecil kemungkinan konflik berkembang sampai ke daratan. Apabila hal ini benar-benar terjadi, besar kemungkinan jalur perdagangan Autralia yang selama ini menggunakan ALKI akan melambung melewati Samudera Pasifik guna menghindari Laut China Selatan.
Armada militer AS guna mendekati Laut China Selatan kemungkinan juga akan melewati Pasifik dan berkolaborasi dengan Australia kemudian bersama-sama bergerak melalui Perairan Kepulauan Indonesia. Dengan begitu Perairan Indonesia menjadi perairan yang strategis dalam operasi militer kedua negara.
Hal yang tentu tidak kita inginkan adalah apabila pulau-pulau di Indonesia menjadi ‘lindung tembak’ dan ‘lindung tinjau’ dalam konflik tersebut. Dalam peperangan laut, fungsi deteksi sangatlah vital. Dalam perang laut dikenal istilah DEKENITETIKO (deteksi, kenali, nilai, tentukan tindakan, komando).
Kapal Perang yang bergerak dalam laut terbuka tentu saja lebih mudah dideteksi daripada yang berlayar di perairan dengan banyak pulau di sekelilingnya. Akurasi rudal juga akan lebih baik terhadap sasaran yang berada di laut terbuka. Pertimbangan- pertimbangan tersebutlah yang membuat Perairan Kepulauan Indonesia sangat mungkin menjadi lintasan kapal-kapal perang yang mungkin berkonflik.
Tentu kita tidak mau menjadi pemain pasif dan korban sia-sia dalam kemungkinan konflik tersebut. Hal yang bisa kita lakukan adalah dengan terus memperkuat seapower kita untuk setidaknya benar-benar bisa mengontrol Perairan Kepulauan Indonesia sesuai amanah Deklarasi Djuanda.
Dengan seapower yang cukup, Indonesia setidaknya tidak berdiam diri di tengah konflik. Akan lebih baik apabila Indonesia bisa mencegah penggunaan Laut Kepulauannya oleh kepentingan militer negara-negara yang berkonflik. Dan ini bukanlah tugas yang ringan.
Apabila kita gabungkan 2 konsep ini, seapower bisa diartikan sebagai kekuatan sebuah negara untuk melindungi kepentingannya di laut. Konsep seapower ini rasanya masih sangat relevant untuk menilai situasi dunia akhir-akhir ini.
Berita Internasional yang KurangMendapat Perhatian di Tanah Air
Beberapa hari belakangan, media-media nasional lebih banyak dihiasi berita tentang siapa calon presiden dan wakil presiden 2019 dan sedikit mengabaikan berita-berita internasional yang menurut penulis sangat menarik untuk menilai apa yang sedang terjadi dan apa yang mungkin akan terjadi di dunia. Apa yang sedang terjadi dan yang mungkin akan akan terjadi dalam tataran global tersebut mau tidak mau akan sangat berpengaruh dalam segala aspek kehidupan di Indonesia.
Dimulai lawatan Presiden AS Donald Trump ke Jepang, Korea Selatan dan China beberapa bulan yang lalu dalam rangka mencoba menyelesaikan masalah rudal jarak jauh Korea Utara yang mengancam tatanan global. Sepertinya lawatan ini tidak terlalu memberikan hasil dalam mengurangi ketegangan.
China terlihat tidak menuruti permintaan Amerika Serikat untuk turut memberikan embargo ke Korea Utara. Bahkan berita terakhir yang mungkin membuat AS jengkel adalah berita kunjungan Kim Jong Un ke China yang semula terkesan tertutup untuk publik tetapi akhirnya diumumkan. Kejadian ini tentu saja makin mempertegang hubungan China–AS.
Ketegangan China–AS ini dipicu dengan makin menguatnya ekonomi China yang terus bergerak dan makin menguasai perdagangan dunia. Presiden Trump melakukan berbagai upaya untuk membuat AS berjaya kembali dengan proteksi perdagangan dan menarik diri dari berbagai perjanjian perdagangan bebas.
Terakhir AS menerapkan tarif yang tinggi untuk impor aluminium dan baja yang masuk ke Negara Paman Sam tersebut. Tentu saja upaya ini untuk menghadang dominasi China dan menghidupkan kembali industri dalam negeri AS.
Tarif ini kemudian diberlakukan dengan pengecualian terhadap sekutu-sekutu AS salah satunya Australia. Tentu saja langkah AS ini makin mempertajam persaingan China–AS dalam perang dagang.
Berita lain yang perlu menjadi perhatian adalah menegangnya hubungan antara Rusia dengan negara-negara barat. Peristiwa upaya pembunuhan warga negara Rusia yang mendapatkan suaka politik di Inggris menjadi titik awal ketegangan. Rusia tidak mengakui berada di belakang upaya pembunuhan ini akan tetapi pihak Inggris sepertinya sangat yakin kalau Rusia yang mendalangi aksi ini. Inggris kemudian mengusir diplomat-diplomat Rusia dari negaranya dan diikuti oleh AS.
Rusia kemudian membalas dengan mengusir juga diplomat-diplomat AS dan negara-negara barat termasuk juga Australia dari negaranya. Ketegangan ini sepertinya akan menjadi nostalgia era perang dingin.
Dari berita-berita tersebut, dapat disimpulkan adanya ketegangan yang makin besar di dunia yang kemudian memperjelas adanya persaingan 3 kekuatan utama di dunia: AS, Rusia dan China (dan saat ini sedang dipimpin oleh Presiden yang tangguh dan teguh pendirian: Donald Trump, Vladimir Putin dan Xi Jinping).
Kehadiran Armada Angkatan Laut China untuk latihan dalam jumlah yang significant di Laut China Selatan adalah upaya China untuk “unjuk gigi”. Pidato Presiden Putin yang menyampaikan bahwa kemampuan persenjataan Rusia mampu menjangkau seluruh dunia jelas saja bisa diartikan sebagai pernyataan “jangan pernah remehkan Rusia”.
Negara-negara lain dengan permasalahan dan konfliknya masing-masing menjadi medan pertarungan pengaruh 3 negara besar tersebut. Konflik Syiria dan berbagai permasalahan di Timur Tengah yang tak kunjung usai; potensial konflik di Laut China Selatan yang melibatkan negara-negara pantai di sekelilingnya; dan program senjata nuklir Korea Utara yang belum ada jalan komprominya, pasti akan menambah ketegangan 3 kekuatan besar ini.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan posisi berada di persilangan antara 2 Samudera (India dan Pasifik) dan 2 Benua (Asia dan Australia). Indonesia juga merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia. Dari 2 kenyataan tersebut, negara-negara lain pasti melihat Indonesia sebagai jalur lintas baik militer maupun perdagangan dan Indonesia sebagai potensi pasar komoditas.
Jalur lintas dan potensi pasar Indonesia tersebut erat kaitanya dengan persaingan seapower negara-negara besar. Sejak merdeka, Indonesia sudah mengambil posisi non-blok dalam percaturan politik dunia.
Dengan posisi sebagai negara non-blok, Indonesia tidak terikat persekutuan pertahanan dengan negara manapun. Dan ini juga bisa diartikan bahwa Indonesia akan berusaha meyelesaikan masalah ancaman terhadap pertahanannya dengan kemampuan sendiri.
AS dengan Uni Soviet (Rusia) pada era perang dingin menganggap sangat penting peran dan posisi Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara. Hal ini mengakibatkan kedua negara tersebut berebut pengaruh atas Indonesia.
Untuk saat ini, hal itu tidak begitu terlihat. Rusia lebih berkonsentrasi di Timur Tengah dalam perebutan pengaruhnya dengan AS. Jadi bisa disimpulkan bahwa Indonesia tidak begitu terlibat dan dilibatkan dalam konflik Rusia dengan AS dan negara-negara barat.
Hal ini berbeda apabila kita melihat persaingan China dengan AS. Indonesia berada pada posisi yang penting dalam persaingan 2 kekuatan ini. Kepentingan ekonomi dan kepentingan militer atas Indonesia yang membuat Indonesia menjadi begitu penting buat kedua negara besar tersebut.
China masih menjadi mitra dagang terbesar Indonesia dengan AS berada di posisi kedua. Industri pertahanan China juga mulai masuk pasar Indonesia. Tentu saja hal tesebut menjadi ancaman dominasi industri pertahanan AS dan sekutunya.
Posisi Strategis Indonesia yang Berada di Posisi Silang
Sejak Deklarasi Djuanda 1957 sampai sekarang, Indonesia terus berupaya memperjuangkan kedaulatan laut kepulauannya. Perjuangan ini sudah berhasil dalam hal pengakuan dunia atas penguasaan Sumber Daya Alam di Perairan Kepulauan yang mutlak di bawah sovereignty (kedaulatan) Indonesia. Akan tetapi dalam hal lintas laut, perjuangan untuk bisa sepenuhnya menjaga kepentingan Indonesia di Perairan Kepulauan belumlah sepenuhnya berhasil.
Perairan Kepulauan Indonesia masih menjadi perairan yang relatif bebas. Dan hal ini memang menjadi tujuan AS, Australia dan negara-negara maritim besar lainnya yang ingin mempertahankan dominasinya atas laut dengan tetap berlakunya freedom of navigation/kebebasan bernavigasi di berbagai tempat salah satunya di Perairan Kepulauan Indonesia.
Insiden Bawean pada tahun 2003 menjadi bukti dominasi AS untuk tetap memberlakukan freedom of navigation di Perairan Kepulauan Indonesia dengan mengabaikan UU no 37/2002 tentang ALKI. Jelas diatur dalam UU tersebut bahwa lintas Perairan Kepulauan Indonesia harus hanya melalui 3 ALKI yang sudah ditentukan. Dan Laut Jawa bukanlah ALKI sesuai UU tersebut.
Berkaitan dengan hal-hal tersebut, Indonesia akan berada di posisi diperebutkan oleh China dan AS dalam rangka kepentingan mereka untuk mengamankan jalur perdagangan dan memasarkan produk mereka. Australia dalam hal ini berada pada posisi yang agak dilematis.
Australia adalah sekutu AS akan tetapi China menjadi mitra dagang terbesar Australia diatas AS dan Jepang. Apabila ketegangan antara China dengan AS makin membesar, sudah dapat dipastikan bahwa hubungan dagang Australia– China akan terganggu bahkan mungkin terputus.
Apabila eskalasi konflik AS–China meningkat, kemungkinan besar Laut China Selatan menjadi pusat medan konfliknya dan seapower adalah alatnya. Kecil kemungkinan konflik berkembang sampai ke daratan. Apabila hal ini benar-benar terjadi, besar kemungkinan jalur perdagangan Autralia yang selama ini menggunakan ALKI akan melambung melewati Samudera Pasifik guna menghindari Laut China Selatan.
Armada militer AS guna mendekati Laut China Selatan kemungkinan juga akan melewati Pasifik dan berkolaborasi dengan Australia kemudian bersama-sama bergerak melalui Perairan Kepulauan Indonesia. Dengan begitu Perairan Indonesia menjadi perairan yang strategis dalam operasi militer kedua negara.
Hal yang tentu tidak kita inginkan adalah apabila pulau-pulau di Indonesia menjadi ‘lindung tembak’ dan ‘lindung tinjau’ dalam konflik tersebut. Dalam peperangan laut, fungsi deteksi sangatlah vital. Dalam perang laut dikenal istilah DEKENITETIKO (deteksi, kenali, nilai, tentukan tindakan, komando).
Kapal Perang yang bergerak dalam laut terbuka tentu saja lebih mudah dideteksi daripada yang berlayar di perairan dengan banyak pulau di sekelilingnya. Akurasi rudal juga akan lebih baik terhadap sasaran yang berada di laut terbuka. Pertimbangan- pertimbangan tersebutlah yang membuat Perairan Kepulauan Indonesia sangat mungkin menjadi lintasan kapal-kapal perang yang mungkin berkonflik.
Tentu kita tidak mau menjadi pemain pasif dan korban sia-sia dalam kemungkinan konflik tersebut. Hal yang bisa kita lakukan adalah dengan terus memperkuat seapower kita untuk setidaknya benar-benar bisa mengontrol Perairan Kepulauan Indonesia sesuai amanah Deklarasi Djuanda.
Dengan seapower yang cukup, Indonesia setidaknya tidak berdiam diri di tengah konflik. Akan lebih baik apabila Indonesia bisa mencegah penggunaan Laut Kepulauannya oleh kepentingan militer negara-negara yang berkonflik. Dan ini bukanlah tugas yang ringan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar