Kabar duka datang dari Mentawai, Sumatera Barat. Puluhan warga Mentawai keracunan usai menyantap daging penyu saat pesta adat (punen)
di Desa Taileleu, Kecamatan Siberut Barat Daya, Minggu (18/2/18). Dari
puluhan orang keracunan itu, tiga meninggal dunia, 16 korban masih
menjalani perawatan intensif di Balai Kesehatan Desa Taileleu dan dua
orang di Puskesmas Siberut Barat Daya.
Lahmuddin Siregar, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan
Mentawai, mengatakan, kejadian ini bermula saat masyarakat berburu penyu
di perairan pantai barat untuk keperluan punen, Sabtu (17/2/18).
Dari hasil berburu itu mereka mendapatkan satu penyu cukup besar
sekitar 50-60 kilogram dan panjang 1,5 meter. Penyu hasil berburu mereka
masak dengan merebus, setelah itu barulah disantap bersama-sama.
Usai menyantap daging penyu, puluhan warga dari empat suku ini
mengalami gejala keracunan seperti pusing, muntah, sesak napas,
tenggorokan berlendir sampai gatal-gatal. Dua hari kemudian seorang
korban dinyatakan meninggal, disusul dua korban lain pada hari
berikutnya. Tiga orang meninggal dunia itu berdasarkan data yang
diperoleh Dinas Kesehatan Mentawai, satu berumur 66 tahun dan dua balita
masing-masing berumur 4,5 tahun dan 2,5 tahun.
Korban keracunan penyu menjalani perawatan intensif di Puskesmas, mereka
keracunan usai menyantap daging penyu pada saat pesta adat, Taileleu,
Kecamatan Siberut Barat Daya, Minggu 18 Februari 2018. Foto: Dinas
Kesehatan Mentawai
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Mentawai, sedikitnya 95 orang terdampak usai mengkonsumsi daging penyu ini.
“Diduga korban mengalami keracunan usai mengkonsumsi daging penyu,
ini ditandai mati enam kucing sesaat setelah makan sisa makanan dari
bahan penyu masyarakat terdampak,” kata Lahmuddin lewat sambungan
telepon.
Dari penuturan warga, katanya, di dalam tubuh penyu ditemukan telur
yang sudah mengeras 150 butir. Ini menunjukkan, bahwa penyu sedang fase
bertelur namun Dinas Kesehatan kesulitan melakukan pengecekan sampel
karena sudah tak tersisa.
“Sampel sudah habis, paling kalau bisa cangkang kita periksa.
Sebelumnya, pemeriksaan sampel keracunan penyu tahun 2013, pada daging
penyu positif mengandung arsenik,” katanya.
Saat ini, kondisi mulai tenang, namun Puskesmas meminta warga tidak
memakan penyu lagi. “Kondisi mulai stabil, tenaga medis dan setok
obat-obatan cukup.”
Ke depan, katanya, mereka akan kembali mengimbau masyarakat Mentawai
tak lagi mengkonsumsi penyu, karena selain beracun, juga salah satu
satwa laut langka dan dilindungi UU.
Harfiandri Damanhuri, peneliti penyu dari Universitas Bung Hatta,
Padang mengatakan, pantai barat daya tempat kejadian keracunan merupakan
tempat pendaratan penyu. Kalau dilihat siklus mereka, saat ini memang
fase pendaratan dan peneluran. Fase ini, katanya, biasa sejak November
hingga Juli.
Penyu bertelur itu, katanya, sebenarnya sudah matang kelamin. Kalau
dilihat panjang mencapai 1,5 meter bisa dikategorikan penyu tua (lebih
dari 50 tahun), sudah tiba masa fase bertelur.
Korban keracunan jalani perawatan kesehatan di balai desa. Puluhan warga
desa di Mentawai ini keracunan usai konsumsi penyu, tiga orang tewas.
Foto: Dinas Kesehatan Mentawai/ Mongabay Indonesia
Dia bilang, arah migrasi penyu pantai barat tak diketahui pasti,
tetapi secara genetik, tukik penyu di perairan Pantai Pariaman ada
hubungan dengan tukik penyu di Aceh, juga di Mentawai.
“Jika dilihat genetik penyu di Perairan Mentawai, masuk ke siklus
arah Andaman, berputar mengarungi Samudera Hindia. Di Samudera Hindia
itu banyak industri, otomatis banyak pembuangan limbah. Itu yang dimakan
penyu, masuk ke tubuh.”
Logam-logam berat ini, katanya, terakumulasi dalam tubuh penyu, terus
meningkat dan tak berkurang. Makin tua penyu makin besar risiko karena
mengandung racun lebih tinggi. “Itu yang dikonsumsi manusia.”
Kasus keracunan daging penyu di Mentawai yang menelan korban jiwa
bukan kali pertama. Berdasarkan data Pusat Data dan Informasi Penyu
Sumatera Barat, Universitas Bung Hatta, sejak 2005 hingga sekarang,
tercatat 37 orang meninggal karena mengkonsumsi penyu.
Kejadian terakhir di Dusun Sao, Pulau Sipora, 24 Maret 2013,
menyebabkan 148 orang dilarikan ke rumah sakit, empat meninggal. Di
antara korban tewas, ada bayi 11 bulan keracunan melalui air susu ibu.
Berdasarkan penelitian Harfiandri, penyebab keracunan penyu di Mentawai, lantaran dalam daging mengandung arsenik.
“Berdasarkan penelitian kadar toksin penyu lebih banyak dibandingkan ikan,” katanya.
Pada daging penyu terdapat logam berat kadmium tiga kali lipat
dibanding ikan dan kandungan merkuri 10 kali lipat lebih tinggi. Penyu
juga mengandung arsenik, polutan organik persisten atau campuran
berbagai pestisida. Pada daging hewan itu, katanya, juga ada mikroba
penyebab tuberculosis dan salmonela.
“Ini konsekuensi dari kebiasaan penyu yang mampu menjelajah samudera. Daya jelajah mencapai 10.000 kilometer.”
Saat akan bertelur, penyu biasa datang ke Mentawai karena perairan
jernih dan bersih. Setelah bertelur di 300 kepulauan kecil di Mentawai,
mereka kembali menjelajah. Wilayah jangkauan penyu, katanya, bisa sampai
ke Afrika atau Meksiko.
Dalam perjalanan inilah, penyu bisa memakan logam berat dari alga
atau ubur-ubur, yang menjadi makanan utama. Alga adalah jenis tumbuhan
air paling banyak menyerap logam berat. Penyu yang dikonsumsi di
Mentawai, rata-rata berusia lebih 50 tahun.
Hampir semua penyu kini mengandung racun jika dibanding era 50 tahun lalu, umur penyu sampai 100 tahun.
“Penyu sendiri tahan racun. Bila dikonsumsi manusia bisa fatal,
bahkan masyarakat pedalaman Mentawai ada yang kena tumor payudara di
Dusun Tiop. Tumor ini dari logam berat yang terkandung dalam daging
penyu. Racun juga dapat masuk ke air susu ibu.”
Soal tradisi berburu penyu di sepanjang pantai barat daya Mentawai, kata Harfiandri, memang masih sering dilakukan masyarakat.
Di desa ini, katanya, ada rumah menyimpan sekitar 26 kerapas penyu
yang tergantung di dinding. Dilihat dari jenis, katanya, merupakan penyu
hijau dengan panjang rata-rata lebih satu meter. Di rumah itu pula jadi
tempat mereka berunding memaparkan hasil buruan.
Tangkap penyu dan posting di Facebook
Di tempat berbeda, di Pantai Bataeit, Kecamatan Siberut Barat,
seorang pemuda Mentawai dengan nama akun Facebook Silainge Mentawai
memposting foto-foto penyu hasil buruan. Dari foto yang dia bagikan pada
18 Februari itu terlihat satu penyu dibawa dengan kapal kayu. Tampak
puluhan butir telur penyu ditaruh dalam wadah plastik. Mirisnya, di
dalam perut penyu yang dibedah itu terlihat ratusan kuning telur penyu
yang menyerupai telur ayam.
Postingan ini mendapat berbagai komentar dari para netizen, termasuk komentar Kepala BPSPL Padang, Muhammad Yusuf.
Yusuf mengatakan, penyu merupakan hewan dilindungi. “Ini kan
dilindungi, bisa kena hukum jika tetap mengkonsumsi,” tulisnya di kolom
komentar. Hingga berita ini diturunkan, tak ada tanggapan dari si
pemilik akun.
Foto utama: (ilustrasi) Penyu buat konsumsi di Mentawai beberapa waktu lalu. Foto: Dokuementasi BPSPL
http://www.mongabay.co.id/2018/02/25/usai-konsumsi-penyu-puluhan-warga-mentawai-keracunan-tiga-tewas/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar