Saat ini, dan mungkin juga sebelum-sebelumnya, menanam mangrove
bukan lagi urusan sederhana. Dahulu, kita dapat menancapkan akar
mangrove dengan gembira ke dalam lubang kecil, lalu sebulan atau dua
bulan sekali menjenguk pertumbuhannya. Kemudian dengan bangga menikmati
keindahan mangrove-bakau yang tumbuh menjulang dan melebar.
Kini, di beberapa tempat, cerita sudah berbeda. Khususnya pada
kawasan sekitar tambak perikanan. Menanam, tidak lagi melulu urusan
teknis, seperti pengadaan bibit, penyesuaian jarak bibit, penyesuaian
bibit dengan kualitas tanah dan air. Hal-hal teknis itu malah persoalan
sepele, yang membuat kita berfikir justru persoalan sosial, seperti
keterlibatan masyarakat dalam menanam dan memelihara mangrove, serta
penanganan hama kambing yang dipelihara masyarakat yang berada di
sekitar lokasi penanaman mangrove. Hal-hal inilah yang harus kita gali
akar-akar persoalannya dan kemungkinan-kemungkinan pemecahannya.
Boleh dikata, mangrove belum menjadi bagian penting dalam kehidupan
sosial sebagian masyarakat. Mangrove tidak terlingkup dalam basis-basis
material untuk pemenuhan ekonomi sehari-hari. Masyarakat yang hidup di
daerah pesisir, melihat mangrove sebatas tumbuhan purba yang telah
tersisa akibat pembukaan lahan tambak. Tentu, pemikiran-pemikiran
seperti itu tidak muncul dengan tiba-tiba, selalu ada sejarah panjang di
balik konsep-konsep umum dalam pemikiran orang banyak.
Laju pengalihan penggunaan lahan mangrove cukup dahsyat untuk jazirah
Sulawesi Selatan. Pada tahun 1980-an saja, sekitar 50 sampai 80 persen
mangrove telah dikonversi menjadi tambak. Hal ini menunjukkan daya
produktif manusia Sulsel untuk meraup keuntungan dari pengolahan lahan
mangrove. Belum ada pihak yang dapat mencegah atau mengatur proses
pengalihan itu. Mungkin, hampir semua pihak berfikir serempak, satu
tujuan, yaitu pemanfaatan lahan. Organ-organ pemerintah, lembaga swadaya
masyarakat, tokoh – tokoh masyarakat, dan bahkan warga dunia belum
keluar dari kotak cara pandang ekonomis, demi pengejaran status ekonomi
yang lebih tinggi. Tentu, efek dari tindakan ini adalah bertahannya
status ekonomi masyarakat pesisir, dan terdapatnya sebagian kecil pihak
yang menikmati kekayaan dari aktivitas produksi, distribusi, dan
pengolahan hasil perikanan.
Namun, hal yang menyulitkan adalah peningkatan status ekonomi
masyarakat pesisir, yang didominasi oleh pekerja tambak maupun penyewa
tambak. Status eknomi dan keterikatan struktural dalam aktivitas
budidaya menjadi penghalang utama, ditambah prasangka-prasangka yang
muncul antar kelas di masyarakat. Kelas di masyarakat ini sebagian tidak
mengalami peningkatan atau statis – status quo, dan hanya sebagian yang
berhasil memanjat ke level yang lebih tinggi (sosial climbing). Di
samping pembagian keuntungan dalam setiap inovasi dan gerakan baru,
termasuk gerakan lingkungan. Pertanyaan yang muncul, apa keuntungan yang
diperoleh oleh masyarakat kecil? Siapa yang paling banyak diuntungkan
dalam inovasi dan gerakan lingkungan?
Kembali lagi pada persoalan spesifik menanam mangrove. Berdasarkan
pengalaman kami selama tujuh bulan berkutat dalam kegiatan penanaman
mangrove di sekitar kawasan tambak pesisir Pinrang dan Takalar, meski
terdapat pula urusan-urusan seabrek yang lain. Hal pertama yang kami
peroleh : sulitnya penanganan pasca tanam. Mangrove yang telah ditanam,
pada awal-awalnya kurang penjagaan ketat dari masyarakat setempat.
Sehingga, mangrove rusak karena dimakan hama kambing yang berkeliaran di
lokasi penanaman. Dan dapat pula mati lantaran bibit kurang cocok
dengan kondisi perairan yang baru. Tapi, yang kedua tidak begitu berat,
sebab mangrove, khususnya bakau pada dasarnya bisa beradaptasi dalam
jangkauan ekologis pesisir yang luas.
Pasca tanam ini tidak begitu diperhatikan oleh kelompok-kelompok
penanam mangrove, termasuk kami. Coba bayangkan sudah banyak penanaman
serentak yang dilakukan oleh pemerintah ataupun kalangan swasta?
Penanaman biasanya dilakukan dalam jumlah banyak, melibatkan banyak
pihak, termasuk adik-adik sekolah maupun aparat militer. Tapi, sejauh
mana tingkat keberhasilannya? Berapa persen mangrove yang berhasil hidup
panjang? Saya kira, belum ada yang dapat mengukur secara pasti
level-level keberhasilan dalam pemeliharaan mangrove. Menanam dan
memelihara adalah dua kompenen yang tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Menanam dan memelihara adalah pancaran dan laku batin manusia,
yang dirubungi nilai-nilai cinta dan kasih sayang.
Pemeliharaan mangrove biasanya diserahkan pada asuhan alam, dan
sedikit harapan pada masyarakat sekitar lokasi penanaman mangrove.
Sementara, masyarakat sekitar yang rata-rata status ekonominya menengah
dan bawah, punya tujuan-tujuan lain dalam hidup, mereka pun terdesak
oleh kebutuhan dasar. Sedangkan kelompok – kelompok elit dalam
masyarakat belum tertarik dalam isu-isu lingkungan, lantaran sibuk
menggalang solidaritas, yang lebih ditujukan untuk kepentingan
penguasaan politik dan ekonomi. Lantas, apa yang harus kita lakukan?
Langkah strategis pertama pendekatan mekanisme pasar. Pendekatan ini
sudah dimulai oleh WWF-Indonesia, yaitu dengan menggandeng
kelompok-kelompok usaha melalui perbaikan lingkungan dengan pendekatan
pasar. Pasar, dalam hal ini konsumen produk perikanan di luar negeri,
khususnya negeri-negeri maju (Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dll)
menuntut produk yang tidak hanya aman dikonsumsi, tapi juga produk yang
diperoleh dengan cara-cara yang baik. Apa yang baik? Salah satu yang
penting adalah peduli terhadap konservasi lingkungan dan ekosistem
sekitar tambak. Gerakan ini mendorong perusahaan-perusahaan untuk
memperoleh standar yang diinginkan pasar. Sehingga, menuntut mereka
untuk terlibat dalam kontribusi perbaikan lingkungan, khususnya
rehabilitasi lahan mangrove.
Perusahaan perikanan pun akhirnya harus beradaptasi dengan
pergeseran-pergeseran cara pandang ini. Mengharuskan mereka untuk
mengaktifkan rantai-rantai bawahnya, yaitu produsen-produsen yang
berurusan langsung dalam produksi perikanan. Nah, dengan
rantai-rantai-nya inilah pendekatan pasar juga mesti diupayakan. Sebab,
masyarakat produsen masih mengedepankan logika ekonomi untuk perubahan
prilaku dan intervensi dengan alam. Peningkatan harga dasar produk
perikanan yang ingin terlibat dalam perbaikan lingkungan penting untuk
dipertimbangkan. Sehingga, memacunya dalam memperbaiki praktek-praktek
budidayanya. Selain itu, pendekatan kebudayaan, melalui
pelatihan-pelatihan, sosialisasi-sosialisasi, yang mampu menggeser
paradigmanya dalam memandang alam. Melihat alam dalam kacamata
keberimbangan dan kesinambungan dukungan dalam produksi produk
perikanan.
Langkah strategis kedua, melalui gerak kebudayaan lingkungan, yang
ditujukan pada generasi muda, lantaran lebih mudah dalam transformasi
kesadaran, yang jangkauan pemikirannya lebih pada orentasi masa depan
yang baik. Pemuda dan remaja secara psikologis membutuhkan tindakan –
tindakan yang baik dalam bentuk gerakan-gerakan yang baik. Pemuda juga
lebih terbuka pikirannya terhadap pemikiran-pemikiran baru dan kritis.
Sedangkan generasi yang lebih tua, telah terperangkap dalam rutinitas
sehari-hari dan lebih prilakunya didorong oleh pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari. Keterbukaan pemikiran cendrung bersifat close
system/tertutup. Sehingga, pelibatan pemuda dalam gerakan lingkungan
mangrove sangat penting untuk mencegah perusakan-perusakan lebih lanjut
dan memperbaiki yang dapat diperbaiki. Pemuda adalah pelanjut generasi
dan tentu yang memperoleh benefit dari tindakan generasi yang lebih tua,
atau memperoleh masalah yang dilakoni generasi tua. Peran anak muda
mesti lebih ditingkatkan lagi, tidak hanya berupa gerakan penanaman,
tapi juga gerakan pemeliharaan. Anak muda mesti setia dan tabah dalam
mempertahankan kehidupan yang telah dimulai.
Langkah strategis ketiga yang mungkin adalah menyusun konsep
pemberdayaan masyarakat berbasis ekologi. Masyarakat memperoleh benefit
dari kegiatan penanaman dan pemeliharaan mangrove. Hal ini dapat terjadi
jika dihubungkan dengan kepentingan perusahaan pada strategi pertama.
Jadi, perusahaan melibatkan masyarakat dalam perbaikan usaha perikanan
dengan pendekatan ekologis. Sehingga, masyarakat, dalam hal ini pekerja
tambak, penyewa tambak, pemilik tambak, dan masyarakat sekitar tambak
memperoleh tambahan pemasukan dalam kegiatan perbaikan ekologi. Di
samping ke depannya, mereka memperoleh kesadaran yang lebih tinggi,
apalagi jika kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi.
Langkah stretegis keempat yang sedang dirancang pula oleh
WWF-Indonesia, yaitu pelibatan parapihak dalam pelaksanaan perikanan
budidaya bertanggungjawab, melalui skema Ecosystem Approach to
Aquaculture (EAA). Melalui mekanisme ini, pemerintah, tokoh-tokoh
masyarakat, serta elemen-elemen sipil di masyarakat dapat dilibatkan
dalam penerapan konsep perikanan berbasis lingkungan.
***
Mangrove memiliki peranan penting bagi kehidupan keanekaragaman
hayati di kawasan pesisir serta keberlanjutan usaha budidaya perairan.
Pada ekosistem mangrove, berkembang rantai kehidupan spesies – spesies
penting, seperti jenis – jenis burung pesisir, hewan-hewan reptil,
ikan-ikan, dan jenis-jenis udang-udangan, kekerangan, dan kepiting.
Hewan-hewan ini akan berkurang dengan sendirinya dengan berkurangnya
kawasan mangrove dan akan bertambah dengan sendirinya dengan
bertambahnya kawasan mangrove. Di sebagian tempat, masyarakat
memanfaatkan berburu kepiting pada kawasan mangrove, bahkan sebagai
tulang punggung ekonomi pertama. Di Pinrang, masyarakat memanfaatkan
cacing-cacing yang ada di sekitar mangrove, untuk dijual sebagai pakan
induk udang. Ada pula yang memanfaatkan kawasan tambak untuk memancing
ikan. Di tempat lain, masyarakat bisa memanfaatkan mangrove untuk
mencari kerang kerang hijau, seperti di muara sungai Marana, Maros.
Dalam perikanan budidaya, mangrove juga memiliki peranan penting.
Mangrove berperan untuk menetralisir limbah-limbah organik hasil
perikanan, selain itu, daun mangrove mengandung antibiotik alami untuk
mengurangi atau menangkal dominasi bakteri yang dapat menimbulkan
penyakit pada udang yang dipelihara. Secara teknis, mangrove pun dapat
menguatkan pematang tambak sehingga tidak gampang rubuh.
Peranan mangrove yang terbilang banyak ini dapat mendorong masyarakat
untuk terlibat dalam kegiatan perbaikan lingkungan sekitar tambak.
Meski demikian, tetap diperlukan pengorganisasian yang ketat untuk
penyadaran, pelibatan, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar
tambak. Agar setiap pihak mengerti dan memperoleh manfaat dari gerakan
lingkungan. Sebab, kesulitan terbesar dalam rehabilitasi mangrove, yaitu
dukungan sosial untuk pemeliharaan pasca tanam. Serta dukungan
pihak-pihak lain, seperti negosiasi dengan pemilik kambing atau
penerapan aturan desa untuk resolusi konflik antara pemilik kambing dan
petambak yang sedang menanam mangrove di sekitar tambak.
http://www.aquaculturecelebes.com/ribetnya-menanam-mangrove-di-kawasan-sekitar-tambak/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar