MN, Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan
harus meningkatkan kerja sama dengan institusi pengawas laut lainnya
untuk mengamankan dan mengawasi aktivitas pncurian ikan oleh kapal asing
yang terjadi di Laut Natuna. Hal ini dikarenakan Laut Natuna yang
merupakan bagian dari laut China Selatan serta merupakan Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP) 711 yang memiliki potensi ikan lestari cukup
besar mencapai 1,2 juta ton.
Selain itu, belum selesainya kesepakatan batas laut Indonesia dengan
beberapa negara tetangga di sekitar Laut China Selatan menyebabkan laut
ZEE dan Laut Teritorial Indonesia rawan dimasuki kapal ikan asing.
Indonesia perlu mendorong peningkatan kerjasama ASEAN untuk menangani
IUU fishing dan mengintensifkan forum bilateral dengan
negara-negara di kawasan Laut China Selatan agar penanganan kejahatan
sektor perikanan bisa diatasi secara bersama-sama.
Peneliti DFW-Indonesia, Nilmawati mengatakan bahwa walaupun
Kementerian Kelautan dan Perikanan mengklaim telah berhasil menurunkan
aktivitas IUU fishing di Laut Natuna, namun pada kenyataannya, sepanjang
tahun 2017 saja terjadi kurang kurang 94 pelanggaran pidana perikanan
oleh kapal ikan asing yang merupakan angka tertinggi dibanding
tahun-tahun sebelumnya. “Pelanggaran perikanan di laut Natuna masih
tinggi sehingga KKP dan aparat penegak hukum lainnya perlu tetap
konsisten melakukan patroli di sekitar laut Natuna,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia juga menjelaskan bahwa berbagai jenis pelanggaran
yang terjadi di salah satu wilayah terluar Indonesia tersebut adalah
ketika para nelayan asing memasuki teritori Indonesia. “Ketidakmampuan
nelayan-nelayan lokal memanfaatkan potensi perikanan di perairan ZEE
ditambah belum jelasnya batas maritim menjadi pemicu maraknya aktivitas
illegal fishing di perairan ini,” lanjut Nilmawati.
Sementara itu Koordinator Nasional DFW-Indonesia, Moh Abdi Suhufan menyampaikan bahwa selain potensi IUU fishing,
meningkatknya aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan asal Pantura dan
Kijang di perairan Natuna dan Anambas berpotensi memicu konflik
horizontal dengan nelayan lokal. Kewenangan pengawasan sumberdaya laut
yang ditarik dari kabupaten/kota ke provinsi menyebabkan melemahnya
pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi pada zona 12 mil
laut.
Hal ini terjadi karena minimnya sarana prasarana pendukung seperti
kapal patroli, Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan minimnya biaya
operasional pengawasan. Dalam 6 bulan terakhir nelayan Anambas resah
dengan aktvitas nelayan dan kapal ikan asal Tegal, Tanjung Balai Karimun
dan Kijang yang menggunakan alat tangkap mini purseine (mayang) dan melakukan penangkapan di zona 12 mil. “Ada dua hal sensitif yang kini terjadi di Laut Natuna yaitu IUU fishing oleh kapal ikan asing dan aktivitas kapal ikan Indonesia yang melakukan penangkapan di zona 12 mil,” jelas Abdi.
Berdasarkan hal tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu
meningkatkan pengawasan di Laut Natuna melalui kerjasama patroli dengan
Angkatan Laut dan Polairud untuk pengawasan di Laut Teritorial untuk
mencegah masuknya kapal ikan asing.
Selain itu, KKP juga perlu memberikan dukungan teknis dan alokasi
anggaran yang mencukupi agar Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau segera
memiliki sarana dan prasarana pengawasan untuk menjaga sumberdaya
perikanan yang menjadi kewenangan provinsi. Terutama di Laut Anambas
“Kapasitas pengawasan sumberdaya laut oleh pemerintah provinsi masih
sangat lemah sehingga perlu mendapat prioritas untuk ditingkatkan,”
tutup Abdi.
http://maritimnews.com/rawan-dimasuki-kapal-ikan-asing-kkp-harus-sinergi-dengan-tni-al-awasi-laut-natuna-dan-anambas/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar