13 Februari, 2018

Rawan Dimasuki Kapal Ikan Asing, KKP Harus Sinergi Dengan TNI AL Awasi Laut Natuna dan Anambas

Nelayan tradisional di Natuna.
Nelayan tradisional di Natuna.

MN, Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan harus meningkatkan kerja sama dengan institusi pengawas laut lainnya untuk mengamankan dan mengawasi aktivitas pncurian ikan oleh kapal asing yang terjadi di Laut Natuna. Hal ini dikarenakan Laut Natuna yang merupakan bagian dari laut China Selatan serta merupakan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711 yang memiliki potensi ikan lestari cukup besar mencapai 1,2 juta ton.

Selain itu, belum selesainya kesepakatan batas laut Indonesia dengan beberapa negara tetangga di sekitar Laut China Selatan menyebabkan laut ZEE dan Laut Teritorial Indonesia rawan dimasuki kapal ikan asing. Indonesia perlu mendorong peningkatan kerjasama ASEAN untuk menangani IUU fishing dan mengintensifkan forum bilateral dengan negara-negara di kawasan Laut China Selatan agar penanganan kejahatan sektor perikanan bisa diatasi secara bersama-sama.

Peneliti DFW-Indonesia, Nilmawati mengatakan bahwa walaupun Kementerian Kelautan dan Perikanan mengklaim telah berhasil menurunkan aktivitas IUU fishing di Laut Natuna, namun pada kenyataannya, sepanjang tahun 2017 saja terjadi kurang kurang 94 pelanggaran pidana perikanan oleh kapal ikan asing yang merupakan angka tertinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. “Pelanggaran perikanan di laut Natuna  masih tinggi sehingga KKP dan aparat penegak hukum lainnya perlu tetap konsisten melakukan patroli di sekitar laut Natuna,” ungkapnya.

Lebih lanjut, ia  juga menjelaskan bahwa  berbagai jenis pelanggaran yang terjadi di salah satu wilayah terluar Indonesia tersebut adalah ketika para nelayan asing memasuki teritori Indonesia.  “Ketidakmampuan nelayan-nelayan lokal memanfaatkan potensi perikanan di perairan ZEE ditambah belum  jelasnya batas maritim menjadi pemicu maraknya aktivitas illegal fishing di perairan ini,” lanjut Nilmawati.

Sementara itu Koordinator Nasional DFW-Indonesia, Moh Abdi Suhufan menyampaikan bahwa  selain potensi IUU fishing, meningkatknya aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan asal Pantura dan Kijang di perairan Natuna dan Anambas berpotensi memicu konflik horizontal dengan nelayan lokal. Kewenangan pengawasan sumberdaya laut yang ditarik dari kabupaten/kota ke provinsi menyebabkan melemahnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi pada zona 12 mil laut.

Hal ini terjadi karena minimnya sarana prasarana pendukung seperti kapal patroli, Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan minimnya biaya operasional pengawasan. Dalam 6 bulan terakhir nelayan Anambas resah dengan aktvitas nelayan dan kapal ikan asal Tegal, Tanjung Balai Karimun dan Kijang yang menggunakan alat tangkap mini purseine (mayang) dan melakukan penangkapan di zona 12 mil. “Ada dua hal sensitif yang kini terjadi di Laut Natuna yaitu IUU fishing oleh kapal ikan asing dan aktivitas kapal ikan Indonesia yang melakukan penangkapan di zona 12 mil,” jelas Abdi.

Berdasarkan hal tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu meningkatkan pengawasan di Laut Natuna melalui kerjasama patroli dengan Angkatan Laut dan Polairud untuk pengawasan di Laut Teritorial untuk mencegah masuknya kapal ikan asing.
Selain itu, KKP juga perlu memberikan dukungan teknis dan alokasi anggaran yang mencukupi agar Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau segera memiliki sarana dan prasarana pengawasan untuk menjaga sumberdaya perikanan yang menjadi kewenangan provinsi. Terutama di Laut Anambas “Kapasitas pengawasan sumberdaya laut oleh pemerintah provinsi masih sangat lemah sehingga perlu mendapat prioritas untuk ditingkatkan,” tutup Abdi.

http://maritimnews.com/rawan-dimasuki-kapal-ikan-asing-kkp-harus-sinergi-dengan-tni-al-awasi-laut-natuna-dan-anambas/

Tidak ada komentar: