Moratorium pembangunan Pulau G di Teluk Jakarta, dipastikan akan
dicabut segera oleh Kementerian Koordinator Kemaritiman. Pencabutan
dilakukan, karena Pemerintah Indonesia tidak menemukan pelanggaran
ketentuan yang dilakukan pengembang di wilayah zonasi laut Teluk
Jakarta.
Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Pandjaitan di Jakarta, akhir
pekan lalu, mengatakan, ada beberapa persyaratan tambahan yang harus
dimasukkan dalam klausul yang disyaratkan, atau adendum yang harus
dipenuhi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan juga pengembangan di
Pulau G.
Dengan adanya persyaratan tambahan tersebut, Luhut mengungkapkan, tak
ada alasan lagi bagi Pemerintah untuk menahan pembangunan di Pulau G.
Menurutnya, pelanggaran ketentuan di Pulau G yang selama ini beredar di
publik, pada kenyataannya itu tidak ada.
“Kita akan mencabut moratorium Pulau G setelah kita menggelar rapat
koordinasi lagi. Senin (2/10/2017) kita mau rapat lagi,” jelas dia.
Luhut menyebutkan, setelah melalui rapat bersama, semua menyepakati
bahwa PT Muara Wisesa Samudera yang menjadi pengembang di Pulau G
tinggal melengkapi adendum yang disyaratkan saja, yakni izin lingkungan.
Adendum tersebut, kata dia, akan menjadi syarat administrasi dan itu
melengkapi syarat yang sudah ada.
“Kalau dulu kan (syarat tersebut) harus dimasukkan dalam AMDAL. Sekarang jadi perubahan administratif saja,” tutur dia.
Kepala Badan Perencanaan, Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi DKI
Jakarta Tuty Kusumawati, seusai rapat bersama mengungkapkan, adendum
yang dimaksud Luhut, adalah beberapa syarat yang harus dirampugkan
segera. Dia mencontohkan, syarat-syarat yang dimaksud, seperti bagaimana
aliran air laut tidak mengganggu proses pendinginan pembangkit listrik
tenaga uap (PLTU) Muara Tawar.
Untuk itu, Tuty mengatakan, yang menjadi fokus pemprov saat ini
hingga awal pekan, adalah bagaimana memenuhi dua syarat yang dibutuhkan.
Yakni penetapan penetapan urban design guideline (UDGL) atau panduan rancang kota).
Kemudian, syarat kedua yang harus segera diselesaikan, kata Tuty,
adalah izin lingkungan yang didasarkan pada desain dari PLN yang sudah
disepakati, yaitu pembuatan gorong-gorong di bawah kolam pendingin.
“Itu usulan dari PLN untuk proyek reklamasi di Teluk Jakarta.
Bagaimana agar pendinginan pembangkit listrik bisa tetap berjalan baik.
Usulan tersebut juga sudah disepakati sama Menko (Luhut),” jelas dia.
Teguran dari Luhut
Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah yang ikut hadir dalam rapat
bersama, menyebut kalau Pemprov DKI mendapat teguran dari Luhut
Pandjaitan. Teguran tersebut, karena DKI dinilai lambat dalam
melaksanakan penyelesaian administrasi di pulau yang terkena moratorium.
Menurut Saefullah, Luhut menegur DKI, karena di pulau yang dimaksud,
sudah ada investasi yang besar dan itu harus segera dilanjutkan. Setelah
itu, Luhut meminta DKI untuk mempercepat proses penyelesaian
administrasi.
“Dengan rampungnya masalah administrasi, maka moratorium bisa segera dicabut,” tutur dia.
Selain Pulau G, Saefullah, proses yang sama juga dilakukan untuk
Pulau H. Proses penyelesaian administrasi proyek tersebut, dilaksanakan
bersamaan dengan penyelesaian administrasi Pulau G. Sebelum kedua pulau
tersebut, Pemerintah lebih dulu mencabut moratorium di Pulau C dan D.
Pencabutan moratorium di dua pulau tersebut, kata Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya, karena pengembang Pulau C dan
D, yaitu PT Kapuk Naga Indah sudah melaksanakan sanksi yang diberikan
sebanyak 11 poin.
Tabrak Peraturan
Berkaitan dengan rencana pencabutan moratorium, Direktur Eksekutif
Pusat Kajian untuk Kemanusiaan Abdul Halim menjelaskan, jika Pemerintah
mencabut moratorium di Pulau reklamasi Teluk Jakarta, maka itu jelas
menabrak peraturan yang ada, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K).
“Urgensinya adalah penyusunan Perda Zonasi WP3K di Teluk Jakarta,” ucap dia.
Menurut Halim, sampai dengan akhir Agustus 2017, DKI Jakarta belum
memiliki Peraturan Daerah mengenai Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimandatkan di dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 2014.
“Padahal, keberadaan aturan ini sangat strategis bagi upaya
memberikan perlindungan kepada warga Jakarta yang tinggal di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil,” kata dia.
Halim menuturkan, mengacu pada 2 (dua) hal sebagai berikut: pertama,
Pasal 6-7 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria ditegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Oleh karena itu, ungkap dia, agar tidak merugikan kepentingan umum,
maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak
diperkenankan. Hal itu, diperkuat dengan penolakan dari nelayan di Teluk
Jakarta atas rencana pembangunan mega proyek properti reklamasi
tersebut.
“Mestinya, Djarot (Saiful Hidayat/Gubernur DKI Jakarta) fokus pada
upaya pembangunan rumah layak huni dan memfasilitasi pengurusan
sertifikat hak atas tanah bagi nelayan di sepanjang pesisir utara
Jakarta,” sebut dia.
Menurut Halim, karena sudah jelas ada pelanggaran, masyarakat bisa
melakukan tindakan atas pencabutan moratorium tersebut. Pilihannya, kata
dia, warga Jakarta bisa terus mendesak Pemprov dan wakilnya di DPRD DKI
Jakarta untuk menolak dan membatalkan 3 pulau yang sangat kentara
pelanggaran aturan perundang-undangannya
“Pilihan kedua, Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih bisa melakukan
pembatalan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki dan dimandatkan oleh
UU,” ujar dia.
Senada dengan Abdul Halim, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia
Moh Abdi Suhufan mengatakan bahwa Pemerintah harus mengkaji sebaik
mungkin rencana pencabutan moratorium. Dengan kata lain, Pemerintah
Pusat tidak boleh terburu-buru memutuskan kelanjutan reklamasi.
“Sebab PemprovDKI masih transisi menunggu gubernur baru. Sebagai
penginisiatif reklamasi, Pemprov DKI mesti tetap bertanggungjawab
terhadap proyek tersebut dan pusat hanya memberikan dukungan atau
supervisi teknis,” jelas dia.
Selain itu, menurut Abdi Suhufan, legalitas yang terkait reklamasi
yaitu Perda reklamasi dan Perda zonas pesisir sampai saat ini belum
disetujui DPRD DKI. Kedua perda tersebut, ujar dia, merupakan alas hukum
bagi pemanfataan ruang laut dan pesisir di DKI.
“Pemprov DKI dan DPRD mesti menyelesaikan perda tersebut sebelum memutuskan kelanjutan reklamasi,” tambah dia.
Di luar kelengkapan perda, Abdi Suhufan menyebutkan, Pemprov DKI
ataupun Pemerinntah Pusat harus melengkapi dokumen AMDAL dengan kajian
dampak sosial proyek reklamasi. Dokumen itu menjadi wajib, karena proyek
tersebut memberikan dampak sosial bagi keberadaan sektor perikanan di
sekitar Teluk Jakarta dan juga sektor pelayaran.
“Seperti kita ketahui bahwa Muara Angke dan Muara Baru merupakan
pusat perdagangan dan distribusi ikan di DKI dan sekitarna,” tegas dia.
Sementara Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
(KIARA) Susan Herawati menjanjikan, KIARA bersama Koalisi Selamatkan
Teluk Jakarta (KSTJ) akan merumuskan langkah hukum terkait pencabutan
moratorium di Teluk Jakarta.
“Kita akan rumuskan seperti apa. Tapi, yang paling mungkin dalam
waktu dekat memang melakukan PK (peninjauan kembali),” tegas dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar