Red: Agung Sasongko
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Manusia adalah produsen aib yang
ajaib. Kini aib bukan lagi dilakukan dalam ruang-ruang gelap agar tak
tercium baunya. Aib kini diproduksi secara massal tanpa mengindahkan
lagi rasa malu. Kita, yang katanya makhluk sempurna itulah yang secara
sadar menyebar sendiri aib-aib kita.
Padahal, Allah SWT sejatinya yang menutupi aib manusia. Seseorang, kata Nabi SAW suatu kali, melakukan perbuatan maksiat pada malam hari. Kemudian pada pagi harinya ia berkata kepada manusia telah melakukan ini dan itu semalam. "Padahal Allah telah menutupinya dan pagi harinya ia membuka tutupan Allah atas dirinya," terang Nabi SAW dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Dengan gagahnya, manusia pada era yang disebutnya modern ini menjadikan aib sebagai barang dagangan. Aib ia tukar dengan popularitas. Kadang jua aib digunakan sebagai alat barter dengan aib orang lain.
Islam menuntun manusia untuk saling menutupi aib saudaranya. Bukan justru dijadikan bahan ancaman demi mengeruk kepentingan hawa nafsunya. Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan selain Rasulullah SAW.
Maka mengumbar aib yang pasti ada dalam diri seseorang amatlah dibenci dan harus ditinggalkan.Allah SWT meminta kita untuk menjauhkan diri dari bahaya prasangka. Lewat hal yang baru sebatas diduga saja kita diminta menjauhinya. Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mengintip atau mencari-cari kesalahan dan aib orang lain; dan janganlah kamu mengumpat sebagian yang lain. Apakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka sudah tentu kamu jijik kepadanya. (Oleh itu, jauhilah larangan-larangan yang tersebut) dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (QS al-Hujurat [49] :12)
Kita sekuat tenaga dianjurkan untuk menutupi aib saudara seiman. Cara paling mudah untuk mengerti kaidah itu adalah dengan mempertanyakan hal yang sama kepada diri kita. Maukah aib kita yang segunung itu diekspose menjadi omongan publik?
Padahal, Allah SWT sejatinya yang menutupi aib manusia. Seseorang, kata Nabi SAW suatu kali, melakukan perbuatan maksiat pada malam hari. Kemudian pada pagi harinya ia berkata kepada manusia telah melakukan ini dan itu semalam. "Padahal Allah telah menutupinya dan pagi harinya ia membuka tutupan Allah atas dirinya," terang Nabi SAW dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Dengan gagahnya, manusia pada era yang disebutnya modern ini menjadikan aib sebagai barang dagangan. Aib ia tukar dengan popularitas. Kadang jua aib digunakan sebagai alat barter dengan aib orang lain.
Islam menuntun manusia untuk saling menutupi aib saudaranya. Bukan justru dijadikan bahan ancaman demi mengeruk kepentingan hawa nafsunya. Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan selain Rasulullah SAW.
Maka mengumbar aib yang pasti ada dalam diri seseorang amatlah dibenci dan harus ditinggalkan.Allah SWT meminta kita untuk menjauhkan diri dari bahaya prasangka. Lewat hal yang baru sebatas diduga saja kita diminta menjauhinya. Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mengintip atau mencari-cari kesalahan dan aib orang lain; dan janganlah kamu mengumpat sebagian yang lain. Apakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka sudah tentu kamu jijik kepadanya. (Oleh itu, jauhilah larangan-larangan yang tersebut) dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (QS al-Hujurat [49] :12)
Kita sekuat tenaga dianjurkan untuk menutupi aib saudara seiman. Cara paling mudah untuk mengerti kaidah itu adalah dengan mempertanyakan hal yang sama kepada diri kita. Maukah aib kita yang segunung itu diekspose menjadi omongan publik?
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/10/19/oy17y6313-menutupi-aib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar