PUBLIK BICARA – Beberapa waktu belakangan,
masyarakat disuguhkan dengan desas-desus akan adanya reshuffle kabinet.
Uniknya, walaupun populer dikalangan masyarakat, Susi Pujiastuti sang
Menteri Kelautan dan Perikanan yang mengepalai Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP), justru dikabarkan akan teregeser dari kursi menteri.
Unik, mengingat justru diluar Indonesia, dalam banyak kesempatan
internasional, Susi mendapatkan pelbagai penghargaan dan pujian.
Ironisnya, di negerinya sendiri, Susi malah dikabarkan terancam
tergusur.
Apabila kita menilik kebelakang, sesungguhnya keberadaan Susi di KKP
adalah sebuah langkah taktis dan strategis yang diambil Presiden Jokowi.
Susi, menjadi representasi kepemimpinan yang berani keluar dari zona
nyaman, berpikir ‘out of the box’. Susi menjadi diskursus dari hasil
sistem pendidikan formal Indonesia, yang telah menghasilkan jutaan
sarjana bidang kelautan dan perikanan tapi tak kunjung mampu
mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di perguruan tingginya dalam
meningkatkan upaya kedaulatan kelautan dan perikanan Indonesia. Susi
menjadi anti-thesa dari “kegagalan” sarjana kelautan dan perikanan kita
yang akhirnya harus mengakui bahwa pendidikan yang diperoleh hanya
menjadi penjara bagi keinginan mereka memajukan kelautan dan perikanan
nasional. Susi Pujiastuti juga menjebol kebiasaan berliku-liku dan
mengayun-ayun para politisi yang sempat memimpin KKP, yang disaat
menjabat terlalu mengedepankan kompromi-kompromi politik yang pada
akhirnya menjauhkan tujuan mulia tentang perlunya kedaulatan kelautan
dan perikanan Indonesia.
Dengan ijazah SMP yang digenggamnya, tanpa portofolio aktifitas
politik yang cukup, Susi justru mampu membangun kepercayaan masyarakat
bangsa akan pentingnya kedaulatan kelautan dan perikanan nasional. Suatu
hal yang bahkan gagal diwujudkan oleh seorang profesor sekelas Rohmin
Dahuri atau politisi kelas kakap selevel Fadil Mohammad atau Cicip
Sutardjo, ketiganya pernah memimpin KKP.
Susi dan Centrang
Susi melarang penggunaan cantrang oleh kapal-kapal penangkap ikan.
Pukat, trawl atau cantrang diyakini bukan hanya menghabiskan sumberdaya
ikan di masa depan tapi juga merusak ekosistem laut. Suatu kebijakan
yang seharusnya tanpa ditawar-tawar harus didukung tanpa reserve, tanpa
syarat.
Tetapi kemudian yang terjadi adalah muncul reaksi penolakan oleh
orang-orang yang mengaku sebagai nelayan, terutama yang berdomisili di
sepanjang pantai utara (pantura) sepanjang Indramayu hingga Gresik, yang
merasa kebijakan Susi melarang penggunaan cantrang menjadi ancaman
terhadap keberlangsungan nafkah mereka sebagai “nelayan”. Dengan kata
lain, Susi dianggap tidak berpihak pada rakyat nelayan.
Siapa mereka sebenarnya? Secara gamblang, saya tegas mengatakan bahwa
mereka bukan nelayan. Nelayan adalah orang-orang yang melakukan
aktifitas menangkap ikan sebagai sumber nafkah, memiliki kapal sendiri,
mencari ikan sendiri, menangkapnya sendiri, menjualnya sendiri di tempat
pelelangan ikan, memperoleh hasilnya sendiri dan menikmati hasilnya
sendiri, tanpa meninggalkan kearifan nenek moyang tentang perlunya
menjaga keseimbangan sumberdaya laut masa depan dan terjaganya
lingkungan hidup kelautan.
Menggunakan cantrang? Jelas mereka sudah kehilangan ruh dari semangat
nelayan yang arif kepada kelangsungan masa depan potensi sumberdaya
laut dan lingkungan kehidupan laut. Cantrang merusak, untuk itu
pengggunaannya dilarang. Dan penegasannya adalah bahwa setiap orang yang
bekerja kepada sebuah industri, termasuk industri penangkapan ikan,
maka ia bukan lagi seorang nelayan tetapi hanyalah seorang pekerja,
buruh. Pekerja di kapal pengguna cantrang, buruh di kapal pengguna
cantrang.
Berdasarkan hal diatas, inisiasi sebuah demonstrasi besar didepan
Istana Negara beberapa hari lalu dengan mengatasnamakan nelayan, jelas
sebuah pembohongan publik. Bukan hanya mereka sudah menjadi bagian dari
industri penangkapan ikan, mereka juga adalah orang-orang yang telah
jauh dari semangat kearifan kenelayanan yang berpikir utuh tentang
pentingnya masa depan potensi sumberdaya kelautan dan lingkungan hidup,
sebagaimana nenek moyang mereka lakukan berabad-abad.
Demonstrasi yang dimaksudkan sebagai kulminasi dari aksi-aksi
penolakan yang terorganisir dibeberapa tempat di pantai utara Jawa,
kemudian berubah dari aksi soal nafkah menjadi aksi “mengganti Susi”.
Politisasi cantrang akhirnya dapat dibaca dengan mudah. Partai
Kebangkitan Bangsa sejak lama ikut bersuara tentang perlunya Susi
membatalkan pelarangan penggunaan cantrang. Langkah ini menjadi anomali
mengingat, pertama, pada akhirnya PKB mengabaikan fungsi partai politik
sebagai wadah pendidikan bagi masyarakat dengan justru mempolitisasi
persoalan cantrang ketimbang menjalankan fungsi pendidikan kepada
masyarakat perihal bahaya penggunaan cantrang terhadap masa depan
sumberdaya kelautan dan lingkungan hidup. Kedua, PKB sebagai partai
pendukung pemerintah seharusnya mengedepankan fungsi dialog dan
komunikasi yang bermartabat ketimbang berkoar-koar di media, suatu
langkah yang bukan saja tidak selayaknya dilakukan oleh sebuah partai
pendukung pemerintah tetapi juga “kampungan”.
Keterlibatan PKB, menjadi lebih kentara ketika dalam aksi demonstrasi
didepan Istana Negara, anggota DPR-RI dari PKB, Daniel Johan, yang
diyakini tidak punya pengetahuan cukup soal kehidupan nelayan dan
permasalahannya, ikut dalam aksi tersebut. Daniel, suka atau tidak
adalah bagian dari representasi partainya. Keberadaannya jelas adalah
perwakilan dari PKB. Menjadi semakin menukik, apa maksud dari langkah
Daniel yang PKB ikut dalam aksi tersebut. Mengingat seharusnya sebagai
anggota DPR-RI dari Komisi IV, Komisi yang berkaitan dengan KKP,
seyogyanya Daniel menggunakan langkah yang lebih elegan, menyerap
aspirasi para demonstran di kantornya di DPR untuk kemudian menyampaikan
segala permasalahan kepada pemerintah dalam hal ini KKP, sesuai fungsi
pengawasan yang melekat dari DPR. Bukan malah dengan bangga ikut
demonstrasi. Repot juga jika seorang anggota DPR-RI bermental
demonstran. Apalagi, yang didemo adalahsebuah pemerintahan dimana
partainya adalah partai pendukung pemerintah. Upaya Daniel, sangat
mungkin dilakukan untuk menciptakan opini belaka. Sayangnya, caranya
kampungan.
Menuntut Susi dicopot hanya karena melarang cantrang semakin
menegaskan adanya kekuatan TIGA MUSUH NASIONAL yang saat ini mengepung
Susi. Para politisi busuk yang melakukan politisasi dan pembusukan
opini, mafia penangkapan ikan dan para birokrat maling yang kerap
melakukan disinformasi terhadap kebijakan Susi dibawah. Persekongkolan
jahat inilah yang sedang dihadapi Susi. Dan, muaranya adalah apakah
Presiden Jokowi, lebih mengutamakan pentingnya masa depan sumberdaya
kelautan dan lingkungan hidup sebagaimana selama ini telah Susi lakukan,
atau malah Presiden berpihak kepada persekutuan ketiganya dengan
mencopot Susi dari kursi Menteri KKP.
Kepala BIN dan Statemen Tentang Informasi Intelijen
Selang beberapa jam pasca demonstrasi orang-orang yang mengaku
nelayan didepan Istana Negara, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Budi
Gunawan mengeluarkan pernyataan bahwa ia mendapatkan informasi akurat
tentang adanya kekuatan mafia kartel penangkap ikan yang menginginkan
Susi Pujiastuti dicopot dari Menteri KKP. Pernyataan Budi Gunawan
tentulah sebuah pernyataan yang beralasan, berbasis informasi yang
akurasinya tinggi karena didapat dari lembaga selevel Badan Intelijen
Negara.
Uniknya, sehari kemudian, lagi-lagi Daniel Johan, anggota DPR-RI dari
PKB mengeluarkan reaksi terhadap pernyataan Budi Gunawan tersebut
dengan mengatakan akan mengajak perwakilan demonstran, yang ia ikut
didalamnya, untuk meminta klarifikasi Budi Gunawan terkait siapa mafia
atau kartel yang dimaksud. Kenapa Daniel menjadi reaksioner? Apakah ia
merasa disindir oleh pernyataan Budi Gunawan tersebut, lalu kembali
membentuk opini seakan-akan menjadi korban pernyataan Budi Gunawan?
Sebagai politisi, apalagi politisi dari partai pendukung pemerintah,
Daniel harusnya paham bahwa informasi intelijen bukan kapasitasnya harus
diklarifikasi. Mengingat unsur kerahasiaan dari sebuah informasi
intelijen. Meminta klarifikasi dengan menyatakannya kepada media adalah
sebuah langkah pembentukan opini yang bukan hanya gagal paham bahwa
informasi intelijen memiliki sifat rahasia, tapi juga berpotensi
melemahkan Kepala BIN dan institusi BIN itu sendiri. Daniel berselancar
dengan membentuk opini, yang sesungguhnya malah justru mempertebal
anggapan masyarakat awam tentang dimana keberpihakan politiknya.
Jika ia atau demonstran yang bersamanya didepan istana bukan bagian
dari mafia dan kartel yang dimaksud oleh Budi Gunawan, kenapa ia gundah.
Apa yang dilakukan oleh Budi Gunawan selaku Kepala BIN adalah
pelaksanaan gugus tugas Intelijen Maritim. Yang menitikberatkan kepada
pertahanan terhadap semua potensi ekonomi, bisnis dan sumberdaya maritim
nasional. Budi Gunawan hanya ingin mempertegas fungsi dari informasi
yang digali oleh Badan Intelijen Negara. Dan sebaiknya Daniel Johan,
kembali ke parlemen dan tidak lagi bermain dijalan sebagai demonstran
yang berakibat terbentuknya mentalitas oposisi, padahal disaat yang sama
ia menyandang jabatan seorang anggota dewan dari partai pendukung
pemerintah.
Oleh : Irwan. S (Penulis adalah Pemerhati Mata Maritim, Tinggal di Jakarta )
http://delikindonesia.com/2017/07/17/susi-cantrang-dan-dialektika-informasi-intelijen/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar