Terduga akan menggiring Indonesia ke kapitalisasi kelautan dan perikanan yang hebat, kali ini kita harus angkat topi padanya.
Upaya Indonesia memerangi illegal fishing di tingkat global sudah
selayaknya terintegrasi pada suatu sistem sehingga tidak hanya berlaku
pada kepemimpinan politik tertentu saja. Begitu pidato Susi Pudjiastuti
di depan rapat senat terbuka penganugerahan doktor honoris causa di
Kampus Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, 3 November tahun lalu.
Reformasi sistem itu adalah penataan organisasi kelautan dan
perikanan, di Pusat dan Daerah agar responsif pada dinamika kekinian dan
kepentingan masa depan dunia. Pilarnya pada penegakkan kedaulatan
negara sebagai tahap awal sebelum pemanfaatan berkelanjutan dan agenda
kesejahteraan. Ketiga hal tersebut sebagai platform yang dibuktikan
dengan menolak masuknya asing di bidang perikanan dan melarang
beroperasinya alat tangkap yang selama ini hanya memberikan manfaat pada
cukong besar.
Bagi Susi, ‘Doctoral speech’ di atas seperti ingin menegaskan bahwa
apapun yang dilakukannya untuk mengubah organisasi seperti KKP menjadi
pelopor pembangunan di pesisir dan laut (atau maritim) sangat
dipengaruhi oleh sehat tidaknya payung besar kebijakan pembangunan
nasional. Implisit di dalamnya, pentingnya komitmen Kementerian atau
Lembaga Negara, elite politik, tokoh masyarakat, bersama menopang
hakikat kedaulatan, keberlanjutan dan kesejahteraan itu.
Meski mengakhiri tahun 2016 dengan realisasi pengadaan perahu nelayan
yang jauh dari rencana, dari target 4 ribuan dan hanya 900an yang
terealisasi, pernyataan Susi terkait ‘sistem’ dan ‘kepemimpinan politik’
dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan terdengar
progressif, ‘baru’ dan prospektif.
Disebut demikian sebab selama ini, saat bicara kelautan dan perikanan
kita acap dicekoki program-program yang itu-itu saja; seminar-seminar,
workshop-workshop tanpa rencana dan aksi, sail-sail mahal, mempermainkan
SPJ-SPPD, parade-parade simbolik tanpa kerja nyata, pengadaan sarana
prasarana budidaya atau perikanan tangkap, pengadaan pakan, pengadaan
alat tangkap, riset-riset ‘tempurung’ hingga program-program
pemberdayaan sekadarnya.
Lain Menteri, lain pula programnya, di tepian, masyarakat pesisir tak
beranjak dari belitan persoalan akut, nirdaya dan dikecewakan. Tanpa
terobosan, dengan eksploitasi perikanan dan kelautan tanpa batas,
Indonesia takkan maju. Lebih jauh, untuk membaca motif Susi dapat pula
dilihat sikapnya pada pemanfaatan sumber daya perikanan dan reklamasi
misalnya.
Jika elit lain tak melihat reklamasi sebagai persoalan dan akan
mengajak Pemerintah DKI untuk membereskan agenda reklamasi, Susi
melihatnya sebagai pelanggaran atas regulasi dan zonasi di pesisir laut.
Yang lain ingin asing ikut mengelola potensi perikanan, Susi berhasrat
penuh mendepak asing di kolom lautan NKRI. “No way,” begitu Susi pada
beberapa kesempatan.
Bersama
Satgas 115, Susi, mencokok nelayan asing lalu menenggelamkan kapalnya
hingga tidak kurang 317 (data 1 April 2017). Bukan hanya itu,
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dipimpin Susi Pudjiastuti
berhasil menyelamatkan sumber daya ikan Indonesia senilai Rp. 306,8
miliar dalam hal penanganan pelanggaran dan penegakkan hukum. Angka
tersebut meningkat dari 2015 yang hanya Rp37,2 miliar. Sumber daya ikan
tersebut terdiri dari benih lobster, kepiting/lobster/rajungan bertelur,
kepiting dan lobster berukuran di bawah 200 gram, mutiara, koral serta
produk hasil perikanan seperti kuda laut, penyu, dan sirip hiu.
Membaca deskripsi di atas maka sangat beralasan jika Susi senewen
pada pihak terutama elit politik yang ingin membuka keran beroperasinya
praktik perikanan illegal, tak berkelanjutan dan berpotensi menciptkan
disharmoni antar nelayan. Cantrang salah satunya, alasannya selain
karena kontrapruduktif pada rencana reformasi dan perbaikan sistem
perikanan dan kelautan nasional tetapi menempatkan masyarakat sebagai
korbannya.
“Kita ini sedang reform kelautan dan perikanan saya mohon politikus
untuk tidak mempolitisasi. Ini urusan kedaulatan pangan dan kekayaan
alam kita. Kalau ini berantakan hanya karena politisasi kasihan
masyarakat,” katanya ketika ditanya ada politisi yang meminta cantrang
beroperasi terutama di Pantai Utara Jawa.
Terdapat indikasi kuat bahwa belakangan ini ada beberapa pihak yang
ingin melegalkan cantrang atau alat tangkap merusak lingkungan dan
mengusik rasa keadilan nelayan kecil. Ada kehendak untuk mengubah
Perpres No 44/2016 yang merupakan dasar hukum pelarangan investor asing
masuk ke usaha perikanan tangkap.
Hal inilah yang harus ditimbang masak-masak sebab Pemerintah bersama
nelayan-nelayan kecil yang diuntungkan sedang merelaksasi implikasi
moratorium yang amat menggembirakan, ketika ikan-ikan semakin melimpah.
Kegigihannya
parallel dengan agenda yang banyak diusung aktivis LSM lingkungan, LSM
internasional dan nasional yang telah berdarah-darah melawan eksploitasi
sumber daya alam secara serampangan sejak 30 tahun silam. Dengan kita
yang khawatir masa depan anak cucu tergadai karena eksploitasi sumber
daya laut dan perikanan yang serampangan.
Jika membaca deskripsi di atas, rasanya kita bisa memahami alas pijak
Susi. Ujaran agar Susi hengkang, cantrang lanjut terus bukanlah pilihan
tepat. Kecuali jika kita tiada alternatif dalam memandang masa depan
penduduk Indonesia yang jumlahnya semakin besar, yang semakin sesak di
pesisir-pesisir Nusantara. Dengan kembali mengucek lautan, misalnya.
Terobosan memang dibutuhkan, sebagaimana harapan Jokowi saat membuka
Rakornas Kemaritiman 2017, (4/5) di Jakarta. Ini bisa dimaknai pula
pentingnya bersinergi antara Kementerian agar saling isi, saling
melengkapi.
PR besar Susi, dan kita semua tentu saja, adalah meretas agenda
kesejahteraan, saat ini prakondisi pembangunan melalui penegakan hukum
telah berjalan baik di pesisir lautan. Mari membereskan pengelolaan
ruang laut, penangkapan ikan ramah lingkungan, peningkatan daya saing
nelayan hingga penguatan kapasitas organisasi mereka. Agenda
kesejahteraan dan reformasi sistem perikanan dan kelautan memang
melewati jalan berliku, panjang dan butuh waktu dan melibatkan banyak
pihak.
Sekarang, mendukung reformasi itu atau angkat topi pada yang kebelet
ambil alih kendali karena bernafsu melihat ikan semok berloncatan di
lautan Nusantara?
Kamaruddin Azis – Peneliti Senior DFW-Indonesia
http://dfw.or.id/membaca-reformasi-susi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar