Laksamana Keumala Hayati
|
Aceh merupakan salah satu provinsi
yang terletak di penghujung barat Indonesia tepatnya di ujung utara Pulau
Sumatera, dengan luas daratan Aceh 57.365,67 km persegi, dikelilingi
Samudera Hindia di wilayah Barat-Selatan Aceh, dan Selat Malaka serta perairan Andaman
di wilayah Utara-Timur Aceh, dengan panjang garis pantai 2.666,27 km.
Sedangkan luas
perairannya mencapai 295.370 Km persegi, yang terdiri dari perairan teritorial
dan kepulauan 56.563 km persegi, serta perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)
238.807 km persegi. Dengan lokasi strategis yang dekat dengan beberapa negara
Asia membuat Aceh meninggalkan banyak sejarah, baik
dalam segi religi maupun segi perdagangan, begitu
juga dengan kepahlawanan dalam membebaskan Indonesia dari penjajahan.
Aceh dan Islam
Kerajaan islam pertama
masuk ke Negeri ini yaitu kerajaan
Samudera Pasai yang diperkirakan sudah masuk pada abad ke-10 masehi dengan raja
pertamanya yaitu Malik Ibrahim bin Mahdun, bahkan pada abad ke-14 Islam di Aceh
sudah menjadi pusat studi Islam di Asia tenggara.
Selain Cut Nyak Dhien,
Cut Meutia, paduka Sultanah
Safiatuddin, Sultanah Naqiatuddin dan banyak wanita hebat lainnya dari Aceh.
Salah satunya yang terhebat yaitu pejuang Maritim wanita dari tanah Aceh yaitu
“Laksamana Keumala Hayati” berikut cerita dari pahlawan maritim tersebut!
Laksamana Keumala Hayati
Putri Aceh yang lahir
sekitar abad Kesultan Alauddin syah ayah dan kakeknya merupakan Laksamana dan
memiliki jiwa kebaharian yang besar, sehingga
mengalirlah ke darah Laksamana Kelumala Hayati. Walau seorang wanita ia memiliki
keberanian yang sangat luar biasa seperti ayah dan kakeknya.
Riwayat pendidikan
Laksamana Keumala Hayati sangat luar biasa, setelah
menamatkan sekolahnya di meunasah, rangkang dan dayah ia diberi pilihan
oleh keluarganya untuk melanjutkan pendidikannya. Kebetulan sekali pada
saat itu kesultanan Aceh Darussalam memiliki Akademi Militer yang bernama Mahad
Baitul Makdis yang terdiri dari dua jurusan yaitu Angkatan Darat dan Angkatan
Laut.
Karena ia ingin mengikuti
jejak ayah dan kakeknya menjadi seorang Laksamana maka ia pun memilih untuk
melanjutkan pendidikan menjadi Angkatan Laut. Seiring berjalan
pendidikannya ia berkenalan dengan seorang seniornya di sekolah itu, hari demi
hari mereka lalui, sehingga timbulah benih-benih cinta
dan mereka bersepakat untuk menikah setelah selesai pendidikan. Suatu
hari selesailah pendidikan Laksamana Keumala Hayati dengan predikat sangat baik
kalau sekarang dikenal dengan Cumlaude.
Setelah menamatkan
pendidikannya maka ia menikah dengan pujaan hatinya. Setelah itu ia fokus
kepada karirnya yaitu dunia pergerakan dan perjuangan. Pada tahun 1589 ia diangkat oleh
Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Mukammil sebagai komandan protokol Istana Darud
Istana. Darut merupakan dunia di kesultanan Aceh
Darussalam. Jabatan tersebut adalah suatu penghargaan sekaligus amanah
sultan terhadapnya, sehingga ia bekerja keras untuk
mempelajari etika dan tata cara keprotokolan.
Penghargaan Laksamana
Perjuangan Laksamana
Keumala Hayati pertama kali dimulai dari sebuah perang di perairan Selat Malaka
perang antara pasukan Portugis dengan pasukan Kesultanan Aceh Darussalam yang
dipimpin oleh Sultan Alauddin Syah Al-Mukammil, dan dibantu oleh dua
orang laksamana. Pertempuran terjadi diteluk Haru dan dimenangkan oleh Armada
Aceh.
Walau harus rela
kehilangan ribuan pasukan dan dua Laksamana salah satu Laksamana tersebut
merupakan suami dari Keumala Hayati yang saat itu menjabat sebagai Protokol
Darud-Dunia. Dari sinilah Laksamana Keumala Hayati marah dan ia berjanji akan
menuntut balas kejadian tersebut kepada Portugis dan ia bertekad melanjutkan
pertempuran walau hanya sendiri.
Untuk memenuhi tekadnya
tersebut Laksamana Keumala Hayati meminta izin kepada Sultan Alauddin Syah
Al-Mukammil untuk membentuk Armada perang Aceh yang semua prajurit perangnya
terdiri dari janda-janda karena suami mereka sudah gugur waktu perang di Teluk
Haru dan permintaan ini diindahkan oleh Sultan Alauddin Syah Al-Mukammil. Jumlah pasukan
pertama 1.000 orang, kemudian
diperkuat lagi menjadi 2.000 orang. Pangkalan militernya yaitu Teluk
Lamreh, Krueng Raya, Aceh Besar.
Di sekitar teluk ini, ia membangun Benteng Inong Balee yang letaknya di
perbukitan.
Keumla Hayati mengkoordinir pasukannya di
laut, mengawasi berbagai pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah penguasaan
Syahbandar, dan mengawasi kapal-kapal jenis galey milik Kesultanan Aceh
Darussalam. Seorang nahkoda kapal Belanda yang berkebangsaan Inggris, John
Davis, mengungkapkan fakta bahwa pada masa kepemimpinan militer Laksanana
Keumala Hayati, Kesultanan Aceh
Darussalam memiliki perlengkapan armada laut yang di antaranya terdiri dari 100
buah kapal (galey) dengan kapasitas penumpang 400-500 orang.
Kisah
perjuangan Laksamana Keumalahayati tidak berhenti di sini. Ia pernah terlibat
dalam pertempuran melawan kolonialisme Belanda. Ceritanya, pada tanggal 22 Juni
1586, Cornelis de Houtman memimpin pelayaran pertamanya bersama empat buah
kapal Belanda dan berlabuh di Pelabuhan Banten. Setelah kembali ke Belanda,
pada pelayaran yang kedua, ia memimpin armada dagang Belanda yang juga
dilengkapi dengan kapal perang. Hal itu dilakukan untuk menghadapi kontak
senjata dengan Kesultanan Aceh Darussalam pada tanggal 21 Juni 1599.
Dua
buah kapal Belanda bernama de Leeuw dan de Leeuwin yang dipimpin oleh dua orang
bersaudara, Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman, berlabuh di ibukota
Kesultanan Aceh Darussalam. Pada awalnya, kedatangan rombongan tersebut
mendapat perlakuan yang baik dari pihak kesultanan karena adanya kepentingan
hubungan perdagangan.
Namun,
dalam perkembangan selanjutnya Sultan Sultan Alauddin syah al-Mukammil tidak senang
dengan kehadiran rombongan tersebut dan memerintahkan untuk menyerang
orang-orang Belanda yang masih ada di kapal-kapalnya. Ada dugaan bahwa sikap
Sultan tersebut banyak dipengaruhi oleh hasutan seseorang berkebangsaan
Portugis yang kebetulan menjadi penerjemahnya.
Serangan
tersebut dipimpin sendiri oleh Laksamana Keumala Hayati. Akhirnya, Cornelis de Houtman dan
beberapa anak buahnya terbunuh, sedangkan Frederick de Houtman tertangkap dan
dimasukkan ke dalam penjara (selama 2 tahun). Keberhasilan Laksamana Keumala Hayati merupakan sebuah prestasi yang
sungguh luar biasa karena dari Keberhasilan Inilah ia mendapatkan gelar Laksamana dan
merupakan Laksamana Pertama di dunia.
Keumala Hayati ternyata bukan hanya sebagai
seorang Laksamana dan Panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh Darussalam, namun
ia juga pernah menjabat sebagai Komandan Pasukan Wanita Pengawal Istana.
Jabatan ini merupakan tugas kesultanan dalam bidang diplomasi dan ia bertindak
sebagai juru runding dalam urusan-urusan luar negeri. Ia sendiri telah
menunjukkan bakatnya dan menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Ia
memiliki sifat dan karakter yang tegas sekaligus berani dalam menghadapi
berbagai momen perundingan, baik dengan Belanda maupun Inggris. Meski begitu,
sebagai diplomat yang cerdas, ia dapat bersikap ramah dan luwes dalam melakukan
berbagai perundingan.
Pada
tanggal 21 November 1600, rombongan bangsa Belanda yang dipimpin Paulus van
Caerden datang ke Kesultanan Aceh Darussalam. Sebelum memasuki pelabuhan,
rombongan ini menenggelamkan sebuah kapal dagang Aceh dengan terlebih dahulu
memindahkan segala muatan lada yang ada di dalamnya ke kapal mereka. Setelah
itu datang lagi rombongan bangsa Belanda kedua yang dipimpin oleh Laksamana
Yacob van Neck.
Mereka
mendarat di Pelabuhan Aceh pada tanggal 31 Juni 1601. Mereka memperkenalkan
diri sebagai bangsa Belanda yang datang ke Aceh untuk membeli lada. Setelah
mengetahui bahwa yang datang adalah bangsa Belanda, Laksamana Keumalahayati
langsung memerintahkan anak buahnya untuk menahan mereka. Tindakan tersebut
mendapat persetujuan Sultan Alauddin syah al-Mukammil karena sebagai
ganti rugi atas tindakan rombongan Belanda sebelumnya.
Pada
tanggal 23 Agustus 1601, tiba rombongan bangsa Belanda ketiga yang dipimpin
oleh Komisaris Gerard de Roy dan Laksamana Laurens Bicker dengan empat buah
kapal (Zeelandia, Middelborg, Langhe Bracke, dan Sonne) di Pelabuhan Aceh.
Kedatangan mereka memang telah disengaja dan atas perintah Pangeran Maurits.
Kedua pimpinan rombongan mendapat perintah untuk memberikan sepucuk surat dan
beberapa hadiah kepada Sultan al-Mukammil.
Sebelum
surat diberikan, sebenarnya telah terjadi perundingan antara Laksamana
Keumalahayati dengan dua pimpinan rombongan Belanda. Isi perundingan tersebut
adalah terwujudnya perdamaian antara Belanda dan Kesultanan Aceh, dibebaskannya
Frederick de Houtman, dan sebagai imbalannya Belanda harus membayar segala
kerugian atas dibajaknya kapal Aceh oleh Paulus van Caerden (akhirnya Belanda
mau membayar kerugian sebesar 50.000 golden).
Setelah
itu hubungan antara Belanda dan Kesultanan Aceh berlangsung cukup baik.
Kehadiran bangsa Belanda dapat diterima secara baik di istana kesultanan dan
mereka diperbolehkan berdagang di Aceh. Sebagai lanjutan dari hubungan baik antara
Belanda dan Kesultanan Aceh, maka diutuslah tiga orang untuk menghadap Pangeran
Maurits dan Majelis Wakil Rakyat Belanda. Ketiga orang itu adalah Abdoel Hamid,
Sri Muhammad (salah seorang perwira armada laut di bawah Laksamana Keumala Hayati), dan Mir Hasan (bangsawan
kesultanan). Meski sedang dilanda perang melawan kolonialisme Spanyol, pihak
Belanda menyambut utusan Aceh tersebut dengan upacara kenegaraan.
Peran
diplomatik Laksamana Keumala Hayati
masih berlanjut. Hal ini bermula dari keinginan Inggris untuk menjalin hubungan
dagang dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Ratu Elizabeth I (1558-1603 M)
mengirim utusan untuk membawa sepucuk suratnya kepada Sultan Aceh al-Mukammil.
Rombongan
yang dipimpin oleh James Lancaster, seorang perwira dari Angkatan Laut Inggris
ini, tiba di Pelabuhan Aceh pada tanggal 6 Juni 1602. Sebelum bertemu dengan
Sultan al-Mukammil, Lancaster mengadakan perundingan dengan Laksamana Keumala Hayati. Dalam perundingan itu,
Lancaster menyampaikan keinginan Inggris untuk menjalin kerjasama dengan
Kesultanan Aceh Darussalam.
Ia
juga berpesan agar Laksamana Keumala Hayati
memusuhi Portugis dan berbaik hati dengan Inggris. Laksamana Keumala Hayati meminta agar keinginan tersebut
dibuat secara tertulis dan diatasnamakan Ratu Inggris. Setelah surat tersebut
selesai dibuat, Lancaster diperkenankan menghadap Sultan Alauddin syah al-Mukammil.
Laksamana
Keumala Hayati juga berperan
besar dalam menyelesaikan masalah kesultanan.
Hal ini bermula dari peristiwa penting perihal suksesi kepemimpinan di
Kesultanan Aceh Darussalam. Pada tahun 1603 M, Sultan Alauddin syah al-Mukammil menempatkan
anak lekaki tertuanya sebagai pendamping dirinya. Namun, rupanya putra tersebut
berkhianat terhadap ayahnya dan mengangkat dirinya sebagai Sultan Aceh dengan
gelar Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607 M).
Pada
masa awal kepemimpinannya, berbagai macam bencana menimpa Kesultanan Aceh
Darussalam, seperti kemarau yang berkepanjangan, pertikaian berdarah antar
saudara, dan ancaman dari pihak Portugis. Tidak ada keinginan kuat dari Sultan
Ali Riayat Syah untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan serius. Maka banyak
timbul rasa kekecewaan dari punggawa kesultanan, salah satu di antaranya adalah
Darmawangsa Tun Pangkat, kemenakannya sendiri. Darmawangsa ditangkap dan
dipenjara atas perintah Sultan.
Pada
bulan Juni 1606, Portugis menyerang Kesultanan Aceh Darussalam yang dipimpin
oleh Alfonso de Castro. Ketika itu Darmawangsa masih berada di penjara. Ia
memohon kepada Sultan Ali Riayat Syah agar dirinya dapat dibebaskan dan dapat
ikut bertempur melawan Portugis. Dengan didukung adanya pemintaan Laksamana
Keumala Hayati, Darmawangsa
akhirnya dapat dibebaskan. Mereka berdua akhirnya berjuang bersama dan dapat
menghancurkan pasukan Portugis.
Oleh
karena Sultan Ali Riayat Syah dianggap banyak kalangan tidak cakap lagi
memimpin kesultanan, maka Laksamana Keumala Hayati
melakukan manuver dengan cara menurunkan Sultan Ali Riayat Syah dari tahta
kekuasaan. Darmawangsa akhirnya terpilih sebagai Sultan Aceh dengan gelar
Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Pada masanya, Kesultanan Aceh Darussalam
mencapai zaman keemasan.
Sebagian pendapat menyatakan tewasnya
Laksamana Keumala Hayati terjadi pada Saat Melawan Alfonso de Castro (1606)
tapi ini masih menjadi pertanyaan. Laksamana Keumala Hayati dimakamkan di
Salah satu bukit di Krueng Raya Aceh Besar sekitar 34 Km dari pusat kota Banda
Aceh dan lokasi menuju makam beliau tepat didepan pintu masuk Pelabuhan
Malahayati.
Hari Laksamana Keumala
Hayati
Tak cukup hanya nama
pelabuhan, nama Kapal, nama jalan dan nama Universitas untuk mengenang sosok
putri Maritim tersebut, Mengingat perjuangan Laksamana Keumala Hayati yang
memperjuangkan Indonesia melalui dunia maritim saat itu, sudah sepantasnya ia
diberikan penghargaan kembali oleh Negara ini sebagai putri terbaik Maritim
Indonesia dalam bentuk menetapkan peringatan hari besar dengan menambahkan ia
didaftar hari besar Negara ini selain ibu kita Raden Adjeng Kartini sebagai
pahlawan Emansipasi yang diperingati pada tanggal 21 April.
Walau ada tingkat
kesalutan tersendiri untuk R.A Kartini karena dari surat-suratnya begitu juga
dengan Laksamana Keumala Hayati. yang begitu beraninya ia, begitu hebatnya ia,
maka sangat pantas jika diberi penganugrahan oleh Negara ini dan ini tak cukup
pada peringatan hari Pahlawan pada 10 November.
Saran dari penulis,
Indonesia memiliki Hari Nusantara yang diperingati setiap tanggal 13 Desember
melalui Keppres no.126/2001 yang dahulunya di canangkan oleh masa presiden Abdurahman
Wahid dan ditetapkan oleh Masa Presiden Megawati tanggal 13 Desember sebagai
Hari Nusantara yang didasari oleh deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 yang
menetapkan Indonesia Kepada dunia Sebagai Negara Kepulauan.
Pada 13 Desember lah
peringatan Ganda dilakukan selain mengingat Deklarasi Djuanda maka perlu
diperingati Hari Laksamana Keumala Hayati seiringan dengan Peringatan Hari
Nusantara. Alasannya karena hari nusantara tak lepas dari maritim begitu pula
dengan Laksamana Keumala Hayati yang merupakan pahlawan yang bergerak dari
bidang maritim dan peringatan ini dapat dimulai dari Aceh tahun ini, Karena
Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi Aceh diamanahkan menjadi Pelaksana Hari
Nusantara 2015.
*Penulis
Syahputra, mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan, Universitas Malikussaleh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar