1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan suatu negara kepulauan
yang memiliki wilayah paling luas di dunia, secara
geografis terletak diantara 92o – 141o Bujur
Timur (BT) 7o 20’ lintang utara (LU) hingga 14o lintang
selatan (LS). Luas perairan Indonesia tidak kurang dari 5,8 juta km2 dan
memiliki sebanyak 17.480 pulau yang terdiri dari pulau besar dan pulau kecil
dengan panjang garis lebih kurang 95.186 km, yang merupakan garis pantai tropis
terpanjang di dunia setelah Kanada. Indonesia merupakan bagian dari segi tiga
terumbu karang (coral traingle), wilayah pesisir dan lautan Indonesia
memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megadiversity country).
Tingginya keanekaragaman hayati tersebut bukan hanya disebabkan oleh letak
geografis yang sangat strategis, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor seperti
variasi iklim musiman, arus atau massa air laut yang mempengaruhi massa air
dari dua samudera, serta keragaman tipe habitat dan ekosistem yang terdapat
didalamnya.
Keanekaragaman hayati di wilayah pesisir dan laut
meliputi kenakearagaman genetik, spesies dan ekosistem. Pengertian
kenakeragaman hayati dan nilai manfaatnya baik secara ekonomis, sosial, budaya,
dan estetika perlu memperoleh perhatian serius agar strategi pengelolaan
keanekaragaman hayati pesisir dan laut sesuai dengan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan.
Kawasan konservasi perairan merupakan bagian dari upaya
pengelolaan atau konservasi ekosistem. Berdasarkan tipe ekosistem yang
dimiliki, kawasan konservasi perairan dapat meliputi: kawasan konservasi
perairan tawar, perairan payau atau perairan laut. Kawasan konservasi perairan
laut dikenal sebagai kawasan konservasi laut (KKL).
2. PERMASALAHAN
Permasalahan dan bentuk ancaman yang sangat serius
terhadap sektor perikanan dan kelautan, yang terkait dengan kelestarian
sumberdaya hayati laut sebagai masalah utama dalam pengelolaan dan pengembangan
konservasi perairan antara lain: (1) pemanfaatan berlebih (over exploitation)
terhadap sumber daya hayati, (2) penggunaan teknik dan peralatan penangkapan
ikan yang merusak lingkungan, (3) perubahan dan degradasi fisik habitat, (4)
pencemaran, (5) introduksi spesies asing, (6) konversi kawasan lindung menjadi
peruntukan pembangunan lainnya dan (7) perubahan iklim global serta bencana
alam.
3. TELAAH
PERATURAN-PERUNDANGAN TENTANG KONSERVASI DAN SUMBERDAYA IKAN
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya.
Undang-undang
ini mengatur semua aspek yang berkaitan dengan konservasi, baik ruang maupun
sumber daya alamnya, sebagaimana ditegaskan dalam Bagian Penjelasan-nya, bahwa
Undang-undang ini bertujuan: “Untuk mengatur perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya agar dapat menjamin pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat
dan peningkatan mutu kehidupan manusia”. Pasal 1 angka 7: ”Satwa liar adalah
semua binatang yang hidup di darat , dan atau di air, dan atau di udara yang
masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara
oleh manusia”. Penjelasan Pasal 1 angka 7: ”Ikan dan ternak tidak termasuk di
dalam pengertian satwa liar, tetapi termasuk di dalam pengertian satwa”.
Pengertian
konservasi menurut undang-undang ini adalah pengelolaan sumber daya alam hayati
yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman
dan nilainya. Konservasi dilakukan melalui kegiatan : (a)
perlindungan sistem penyangga kehidupan ; (b) pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (c) pemanfaatan secara
lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Pasal 5).
Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan. Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memuat ketentuan mengenai konservasi di
kawasan hutan. Pasal 1 angka 2 undang-undang ini menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan
lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Selanjutnya Pasal 7 menyatakan bahwa hutan konservasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a terdiri dari: (a) kawasan hutan suaka alam, (b)
kawasan hutan pelestarian alam, dan (c) taman buru.
Walaupun
ketentuan konservasi ini masih berorientasi daratan namun prinsip-prinsip
pengaturan mengenai konservasi secara analogi dimungkinkan untuk diterapkan
untuk kawasan konservasi di perairan, khususnya untuk memberikan perlindungan
hukum terhadap ekosistem yang menjadi habitat satwa langka.
Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Sepanjang berkaitan dengan
pengelolaan kawasan konservasi sebagai suatu kesatuan ekosistem, Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mengatur penetapan status hukum kawasan
lautnya. Secara khusus undang-undang ini memberikan wewenang kepada Menteri
untuk menetapkan status suatu bagian laut tertentu sebagai kawasan Suaka Alam
Perairan, Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, atau Suaka
Perikanan. Penetapan status kawasan-kawasan laut tersebut bertujuan
untuk melindungi dan melestarikan sumber-sumber kekayaan alam hayati dan
ekosistemnya.
Pasal
7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan
bahwa: “Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri
menetapkan: (n) …………………..; (o) rehabilitasi dan
peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya;
(p) …………………..; (q) suaka perikanan; (r) …………………….;
(s)…………………….; dan (t) jenis ikan yang dilindungi.” Pasal 7 ayat (5)
: “Menteri menetapkan jenis ikan dan kawasan perairan yang masing-masing
dilindungi, termasuk taman nasional laut, untuk kepentingan ilmu pengetahuan,
kebudayaan, pariwisata, dan/atau kelestarian sumber daya ikan dan /
atau lingkungannya”. Penjelasan Pasal 7 ayat (5) : “Yang dimaksud dengan “jenis
ikan” adalah: Pisces (ikan bersirip); Crustacea (udang, rajungan, kepiting ,
dan sebangsanya); Mollusca (kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput, dan
sebangsanya); Coelenterata (ubur-ubur dan sebangsanya); Echinodermata (tripang,
bulu babi dan sebangsanya); Amphibia (kodok dan
sebangsanya); (buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air dan
sebangsanya); Mammalia (paus, lumba-lumba, pesut, duyung dan sebangsanya);
Algae (rumput laut dan tumbuhan lain yang hidupnya di dalam air); dan Biota
Perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis tersebut di atas,
semuanya termasuk bagian-bagiannya dan ikan yang dilindungi”.
Selanjutnya Pasal
13 ayat (1) menyatakan bahwa: “Dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan, dilakukan
upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika
ikan.” Selanjutnya Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa: “Pemerintah mengatur
dan/atau mengembangkan pemanfaatan plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber
daya ikan dalam rangka pelestarian ekosistem dan pemuliaan sumber daya ikan.”
Pasal 14 ayat (2): “Setiap orang wajib melestarikan plasma nutfah yang
berkaitan dengan sumber daya ikan.”
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998
Tentang Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam. Peraturan Pemerintah ini merupakan
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengertian Kawasan Suaka Alam
menurut peraturan ini adalah: “kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di
daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga
berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.” Adapun yang dimaksud
dengan Kawasan Pelestarian Alam adalah: “kawasan dengan ciri khas tertentu,
baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.”
Dari
definisi sebagaimana telah dikutip di atas, tampak perbedaan antara kedua
kawasan, yaitu bahwa di dalam Kawasan Pelestarian Alam, baik di daratan maupun
di perairan, dimungkinkan kegiatan pemanfaatan secara lestari dengan
memperhatikan daya dukung ekosistemnya. Selanjutnya, Kawasan Suaka
Alam dapat dibedakan menjadi: Cagar Alam dan Suaka Margasatwa,
sedangkan Kawasan Pelestarian Alam dapat dibedakan menjadi: Taman Nasional,
Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.
Nomenklatur
kawasan sebagaimana telah dikutip di atas, secara analogi dapat dipersamakan
dengan pengertian kawasan-kawasan yang termuat di dalam Undang-Undang Perikanan
Nomor 31 Tahun 2004. Sepanjang menyangkut urusan kelautan dan perikanan,
Menteri Kelautan dan Perikanan berwenang untuk menetapkan perairan tertentu
sebagai Kawasan Suaka Alam Perairan, Taman Nasional Perairan, Taman Wisata
Perairan, atau Suaka Perikanan (Pasal 7 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 13 ayat
(1). Dalam hal ini Kawasan Suaka Alam Perairan dan Suaka Perikanan
identik dengan Kawasan Suaka Alam sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 6
Peraturan Pemerintah ini. Selanjutnya, pengertian Taman Nasional
Perairan dan Taman Wisata Perairan di dalam Undang-Undang Perikanan identik
dengan Kawasan Pelestarian Alam sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 30
Peraturan Pemerintah ini.
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa. Pasal 1 butir 8: “Pelaksanaan pengawetan dan pemanfaatan
jenis tumbuhan dan satwa merupakan tanggungjawab menteri yang bertanggungjawab
di bidang kehutanan”
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan
Jenis Tumbuhan Dan Satwa Liar. Pasal 1 butir 9 : “Pelaksanaan pengawetan dan pemanfaatan
jenis tumbuhan dan satwa liar merupakan tanggungjawab menteri yang
bertanggungjawab di bidang kehutanan”. Pasal 65 ayat (1) : ”Departemen
Kehutanan ditetapkan sebagai Otoritas Pengelola (Management Authority)
Konservasi Tumbuhan dan Satwa Liar”
Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi
Sumber Daya Ikan.Peraturan
Pemerintah ini dimaksudkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 13 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Peraturan pemerintah ini ndemi
kewenangan kepada Menteri (Kelautan dan Perikanan) untuk menetapkan Kawasan
Konservasi Perairan yang terdiri atas taman nasional perairan, taman wisata
perairan, suaka alam perairan, dan suaka perikanan (Pasal 8).
Peraturan
Pemerintah ini juga memberi kewenangan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan
untuk menetapkan status perlindungan jenis ikan tertentu (pasal 24 ayat 1),
yang meliputi Jenis ikan yang dilindungi dan Jenis ikan yang tidak
dilindungi (Pasal 23 ayat (1)). Jenis ikan tertentu dapat ditetapkan sebagai
jenis ikan yang dilindungi, apabila memenuhi kriteria: (a). terancam punah;
(b). langka; (c). daerah penyebaran terbatas (endemic); (d). adanya penurunan
jumlah populasi di alam yang tajam; dan (e). tingkat kemampuan reproduksi yang
rendah.
Kerjasama Konservasi Internasional. Kerjasama internasional dalam konservasi sangat diperlukan
terutama untuk mencegah kepunahan atau terancamnya jenis dan ekosistem dari
kepunahan yang disebabkan oleh pengelolaan dan pemanfaatan yang tidak
berkelanjutan. Beberapa konvensi internasional terkait dengan
konservasi yang mengikat secara hukum diantaranya adalah CITES, Ramsar dan CBD. Indonesia
telah meratifikasi Convention on International Trade in Endangered Species of
Wild Flora and Fauna (CITES) yang ditandatangani di Washington, D.C. tahun 1973
dan telah berlaku secara efektif sejak tahun 1975. Konvensi tersebut telah
menjadi hukum nasional melalui ratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 43
tahun 1978. Selanjutnya ketentuan CITES merupakan kewajiban bersama dalam
pelaksanaannya namun harus didasari oleh peraturan perundang-undangan nasional
yang memadahi. Dalam Article VIII CITES disebutkan bahwa setiap
Negara anggota Konvensi wajib mempunyai legislasi nasional (peraturan
perundang-undangan) yang memadahi untuk pellaksanaan CITES dengan efektif, yang
dapat memberikan mandat kepada setiap negara anggota untuk (1) menunjuk satu
atau lebih Otoritas Pengelola (Management Authorities) yang berkompeten untuk
menerbitkan izin atau sertifikat atas nama Negara Pihak, dan satu atau lebih
Otoritas Keilmuan (Scientific Authorities) untuk memberikan pendapat/nasihat
kepada Otoritas Pengelola; (2) dapat melarang semua kegiatan yang melanggar
ketentuan konvensi terkait dengan jenis-jenis yang termasuk dalam appendix; (3)
dapat menghukum pelanggaran-pelanggaran tersebut; dan (4) dapat melakukan
penyitaan terhadap specimen yang terlibat di dalam pelanggaran. Keempat
prasyarat tersebut harus dapat dipenuhi oleh legislasi yang ada, jika tidak
maka CITES dapat memberikan sanksi berupa “isolasi” atau embargo perdagangan
jenis-jenis yang masuk kontrol CITES.
Konvensi
lain yang terkait dengan konservasi adalah Konvensi tentang Keanekaragaman
Hayati atau Convention on Biological Diversity (CBD), yang mengatur tentang
konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan yang berkelanjutan dari
keanekaragaman hayati serta pembagian yang adil terhadap pemanfaatan
genetik. Beberapa keputusan yang sangat terkait diantaranya adalah tentang
konservasi pesisir, pantai dan laut; tentang kawasan dilindungi (protected
areas), dan sebagainya.
Konvensi
lain yang terkait adalah Ramsar, yang memberikan pedoman tentang pengelolaan
dan pemanfaatan yang bijaksana terhadap lahan basah, termasuk jenis-jenis yang
ada di dalamnya.
4. KEBIJAKAN
DAN STRATEGI KONSERVASI PERAIRAN
Pengelolaan
kawasan konservasi perairan tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya ikan
secara keseluruhan. Konservasi sumberdaya ikan adalah upaya melindungi
melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya ikan untuk menjamin keberadaan,
ketersediaan dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang maupun yang
akan datang. Sebagai upaya
konservasi wilayah perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil, pemerintah
melakukan kebijakan antara
lain, ditetapkannya target nasional yang
disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan Convention on
Biological Diversity (CBD) di Brazil tahun 2006, yaitu pencanangan 10 juta ha 2010 Kawasan
Konservasi Laut dan
20 juta hektar pada tahun 2020. Pernyataan Presiden Mengenai Coral Triangle Initiative (CTI) dalam
forum APEC Leaders Meeting di Sydney, 2007 yang ditindaklanjuti Senior Official Meeting, 6-7 Desember 2007.
Dukungan kebijakan kebijakan
nasional dalam pengembangan kawasan
konservasi perairan dibuat secara
menyeluruh dan terpadu serta mempertimbangkan desentralisasi dalam
pelaksanaannya. Kebijakan dan peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan
wilayah pesisir semakin kuat dengan diundangkannya undang-undang nomor 27 tahun
2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil. Terkait dengan sumberdaya ikan, Undang-undang ini bersinergi
dengan berbagai perundangan lain, diantaranya dengan Undang-undang Nomor 5
tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dan
undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan. Kaitannya dengan
desentralisasi, undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
merupakan perekat hubungan antar beberapa undang-undang sebagai materi muatan
dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di daerah. Diberlakukannya UU No. 32
Tahun 2004 tersebut memiliki implikasi terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir
secara berkelanjutan dapat bersifat sinergis, namun dapat pula bersifat
sebaliknya. Implikasi akan bersifat sinergis, apabila setiap pemerintah dan masyarakat di
wilayah otonomi menyadari arti penting dari pengelolaan suberdaya pesisir
secara berkelanjutan, sehingga pemanfaatan sumberdaya pesisir dilakukan secara
bijaksana dengan menerapkan kaidah-kaidah pembangunan
berkelanjutan. Implikasi negatif akan muncul apabila setiap daerah
berlomba mengeksploitasi sumberdaya pesisir tanpa memperhatikan kaidah-kaidah
pembangunan berkelanjutan. Sedangkan Payung kebijakan dalam konservasi sumberdaya
ikan, telah ditetapkan peraturan
pemerintah nomor 60 tahun 2007 tentang konservasi sumberdaya ikan sebagai organik dari UU 31
tahun 2004. Melalui peraturan
pemerintah ini diharapkan
segala urusan mengenai konservasi sumberdaya ikan dapat terwadahi.
Pertemuan
puncak dunia mengenai pembangunan berkelanjutan di Johannesburg pada tahun
2002 mendeklarasikan bahwa ; “Samudera, laut, pulau dan wilayah
pantai me-rupakan satu komponen terpadu dan essensial dari ekosistem
bumi yang sangat penting bagi ketersediaan pangan global yang
aman untuk menjaga kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan
ekonomi banyak Negara, terutama di negara-negara berkembang. Memastikan
pembangunan samudera yang berkelanjutan, membutuhkan koordinasi dan kerjasama
yang efektif, termasuk pada tingkat global dan regional, diantara badan-badan
yang ber-kepentingan dan tindakan-tindakan di segala tingkatan…” (Trevor W dan
Eddi H, 2003).
Arah
kebijakan pembangunan lingkungan hidup dan sumberdaya alam tersebut menunjukkan
prinsip-prinsip yang sangat mendasar dan harmonisasi antara
keseimbangan, keselarasan dan keserasian sistem ekologi, sosial, ekonomi dan
budaya. Pembangunan yang semata-mata menempatkan sistem dan fungsi ekonomi
sebagai prioritas dan mengabaikan fungsi ekologi, sosial dan budaya
akan menimbulkan masalah-masalah yang pelik dan konflik sosial yang
berkepanjangan. Oleh karena itu, upaya pemerintah untuk membangun
dan mengem-bangkan keseimbangan fungsi eko-logi, ekonomi, sosial dan
budaya harus dapat terimplementasikan dalam berbagai perangkat kebijakan maupun
program pemerintahKebijakan Departemen Kelautan dan Perikanan tertuang dalam
visinya, yaitu Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan yang
bertanggungjawab bagi Kesejahteraan Anak Bangsa.
Sebagai
pelaksanaan visi dan misi Departemen Kelautan dan Perikanan, maka Direktorat
Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil menetapkan Visi, yaitu:
Pengelolaan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil secara optimum dan lestari
bagi kesejahteraan masyarakat
Visi
ini dijabarkan dalam 5 (lima) Misi, antara lain: (1) Memfasilitasi terwujudnya
penataan ruang untuk kepentingan dan kepastian hukum bagi pembangunan di
wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil, (2) Memperbaiki sistem pengelolaan
pesisir dan lautan untuk mewujudkan wilayah pesisir dan lautan yang bersih,
sehat, produktif dan aman, (3) Mendorong pertumbuhan investasi pulau-pulau
kecil yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat, (4) Mengembangkan konservasi
sumberdaya ikan dan lingkungannya melalui upaya perlindungan,
pelestarian dan pemanfaatan yang berkelanjutan pada tingkat
ekosistem, jenis dan genetik, dan (5) Meningkatkan kesejahteraan dan
kemandirian masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang terdiri
dari nelayan, pembudidaya, pemasar ikan dan pengolah hasil laut, serta
masyarakat pesisir lainnya.
Direktorat
konservasi dan taman nasional laut, sebagai bagian dari direktorat jenderal
kelautan, pesisir dan pulau pulau kecil yang mengemban misi Mengembangkan
konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya melalui upaya perlindungan,
pelestarian dan pemanfaatan yang berkelanjutan pada tingkat ekosistem,
jenis dan genetik tersebut, menetapkan strategi pengelolaan konservasi
sumberdaya ikan dan lingkungannya dengan “Melakukan pengelolaan dan
pengembangan konservasi sumberdaya alam dan lingkungannya, melalui upaya
perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara berkelanjutan pada tingkat
ekosistem, jenis dan genetik, dengan mengembangkan kebijakan,
penyusunan/pengembangan pedoman, pengembangan kapasitas sumberdaya manusia dan
kelembagaan, pengembangan pilot project, bimbingan teknis fasilitasi serta
mengembangkan kerjasama nasional dan internasional di bidang konservasi
sumberdaya ikan dan lingkungannya.
Direktorat
Konservasi dan Taman Nasional laut telah menyusun beberapa kebijakan dan
strategi dalam rangka konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya, antara
lain: strategi utama konservasi keanekaragaman hayati laut (grand
strategy marine biodiversity conservation), kebijakan dan strategi
pengelolaan terumbu karang, strategi utama jejaring kawsan konservasi
laut, kebijakan dan strategi konservasi sumberdaya ikan dan
lingkungannya di perairan daratan, serta berbagai panduan maupun pedoman
sebagai pelaksanaan dari kebijakan dan strategi sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya.
Pelaksanaan
Konservasi Sumberdaya Ikan dan Lingkungannya pada Direktorat Konseravsi dan
Taman Nasional Laut bertujuan untuk Mewujudkan konservasi sumberdaya ikan dan
lingkungannya melalui upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan
sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetic dalam rangka menjamin
keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragaman sumberdaya ikan (SDI) untuk kesejahteraan
masyarakat. Sedangkan sasarannya adalah: (1) Terwujudnya pengembangan kawasan
konseravsi perairan seluas 3,5 juta hektar; (2) Terlaksananya pengembangan
konservasi jenis dan genetic di tiga wilayah biogeografi, sebanyak 4 jenis; (3)
Terlaksananya rehabilitasi ekosistem sumberdaya ikan dan lingkungannya di 8
provinsi, 15 kabupaten dan 21 lokasi; (4) Pengembangan Unit Pelaksana Teknis
(UPT) konservasi sumebrdaya ikan, sebanyak 2 UPT; (5) Terlaksananya peningkatan
kapasitas sumberdaya manusia konservasi sumberdaya ikan sebanyak 250 orang;
dan (6) Tersusunnya peraturan, pedoman standar dan norma tentang
konservasi sumberdaya ikan sebanyak 18 dokumen. Kegiatan pokok
direktorat konservasi, antara lain: Pengembangan konservasi kawasan perairan;
Pengembangan konservasi jenis dan genetik; Rehabilitasi sumberdaya ikan dan
lingkungannya; dan Pengembangan kelembagaan, kapasitas sumberdaya manusia dan
peraturan
Strategi
pengembangan kawasan konservasi perairan yang dilakukan oleh Departemen
Kelautan dan Perikanan, melalui direktorat konservasi dan taman nasional laut
antara lain : (1) Perluasan kawasan konservasi laut, dengan target 10 (sepuluh)
juta hektar pada tahun 2010 dan 20 (dua puluh) juta hektar pada tahun 2010; (2)
Replikasi kawasan; (3) Kawasan Representasi; (4) Melakukan pendekatan ilmiah,
termasuk : eco-regional, resilient, and resistant principles; (5) Memantapkan
jaringan Global dan kerjasama dalam pengelolaan KKP; (6) Implementasi
kolaborasi pengelolaan dalam kerjasama antar pemerintah, masyarakat dan
organisasi non pemerintah (LSM); (7) Penguatan pengelolaan KKP melalui program
“Capacity Building”; (8) Pengembangan mekanisme pendanaan, serta berbagai
kegiatan pembinaan dan pemgembangan masyarakat dalam pengelolaan kawasan
konservasi secara berkelanjutan.
5. KAWASAN
KONSERVASI PERAIRAN UNTUK PERIKANAN BERKELANJUTAN
Prinsip prinsip yang digunakan dalam pengembangan sistem
pengelolaan kawasan konservasi perairan adalah melalui keterpaduan,
partisipasi, multi stakeholders, dengan fokus pada pengelolaan sumberdaya ikan
secara berkelanjutan. Adapun kriteria yang digunakan untuk menetapkan kawasan
konservasi perairan, antara lain adalah: Memiliki keterwakilan ekosistem;
Memiliki Kemampuan daya pulih; Memiliki jenis ikan langka, endemik dan/atau terancam
punah; Memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi; Merupakan wilayah ruaya bagi
biota perairan; Mengandung resiko pengulangan; Kondisi biota dan fisik
lingkungan perairannya masih alami; Mengandung aspek sosial, ekonomi regional
dan pragmatik serta potensi biofisik.
Naskah kebijakan yang dikeluarkan oleh DKP jelas
m
enyebutkan tentang status perikanan tangkap Indonesia. Dalam kondisi stok perikanan tangkap yang sudah menipis dan hampir kolaps, tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia, maka usaha terus-menerus untuk mengembangkan perikanan tangkap secara tidak terkontrol dan tidak terkelola secara baik jelas merupakan kebijakan yang kurang tepat. Sebagai gantinya, kita memerlukan suatu kebijakan yang betul-betul segar untuk memulihkan stok sumberdaya perikanan (Mous et al 2005). Naskah kebijakan tersebut menyarankan untuk ‘menciptakan, membangun, dan meningkatkan kesadaran dalam usaha untuk merubah persepsi dan pemikiran masyarakat bahwa sumberdaya laut kita, terutama perikanan, tidak akan pernah habis’ (PCI, 2001a). Terkait dengan hal ini, rencana investasi perikanan tangkap di perairan Indonesia Bagian Timur yang diumumkan baru-baru ini (Jakarta Post, 3 Oktober 2005), serta rencana lainnya tentang intensifikasi usaha perikanan tangkap sebaiknya dipertimbangkan kembali secara cermat.
enyebutkan tentang status perikanan tangkap Indonesia. Dalam kondisi stok perikanan tangkap yang sudah menipis dan hampir kolaps, tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia, maka usaha terus-menerus untuk mengembangkan perikanan tangkap secara tidak terkontrol dan tidak terkelola secara baik jelas merupakan kebijakan yang kurang tepat. Sebagai gantinya, kita memerlukan suatu kebijakan yang betul-betul segar untuk memulihkan stok sumberdaya perikanan (Mous et al 2005). Naskah kebijakan tersebut menyarankan untuk ‘menciptakan, membangun, dan meningkatkan kesadaran dalam usaha untuk merubah persepsi dan pemikiran masyarakat bahwa sumberdaya laut kita, terutama perikanan, tidak akan pernah habis’ (PCI, 2001a). Terkait dengan hal ini, rencana investasi perikanan tangkap di perairan Indonesia Bagian Timur yang diumumkan baru-baru ini (Jakarta Post, 3 Oktober 2005), serta rencana lainnya tentang intensifikasi usaha perikanan tangkap sebaiknya dipertimbangkan kembali secara cermat.
Alternatif pengelolaan perikanan sebagai pelengkap dari
pendekatan MSY yang banyak diterapkan akhir-akhir ini adalah pengelolaan
berbasis ekosistem melalui pembentukan suatu jejaring KKP (Gell & Roberts,
2002; National Research Council, 2001; Roberts & Hawkins, 2000; Ward,
Heinemann & Evans, 2001). Definisi IUCN (International Union for the
Conservation of Nature and Natural Resources) tentang KKP adalah ‘suatu wilayah
perairan pasang surut bersama badan air di bawahnya dan terkait dengan flora,
fauna, dan penampakan sejarah serta budaya, dilindungi secara hukum atau cara
lain yang efektif, untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan di
sekitarnya’. Selain fungsinya sebagai alat untuk konservasi keanekaragaman
hayati, KKP juga banyak dinyatakan sebagai alat pengelolaan perikanan tangkap
yang diintegrasikan kedalam perencanaan pengelolaan pesisir terpadu (Gell &
Roberts, 2002; National Research Council, 2001; Roberts & Hawkins, 2000;
Ward, Heinemann & Evans, 2001).
Sebagai sarana pengelolaan perikanan, kawasan konservasi
laut memiliki dua fungsi: (1) Limpahan ikan komoditi pasar dari
wilayah perlindungan ke dalam wilayah penangkapan.
(2) Ekspor telur dan larva
ikan dari wilayah perlindungan ke wilayah penangkapan yang dapat meningkatkan
kuantitas penangkapan di wilayah penangkapan. Selain itu, sebagai sarana
pengelolaan, kawasan konservasi laut memberikan manfaat tidak
langsung berikut: (1) melindungi habitat yang sangat penting bagi
perkembangbiakan jenis ikan komersial, dan (2) memberikan tempat berlindung
ikan yang tidak dapat diberikan oleh sarana pengelolaan lainnya sehingga dapat
mencegah penurunan secara drastis persediaan ikan komersial.
Kawasan konservasi perairan yang terlindungi dengan baik,
secara ekologis akan mengakibatkan beberapa hal berikut terkait dengan
perikanan: (1) habitat yang lebih cocok dan tidak terganggu untuk pemijahan
induk; (2) meningkatnya jumlah stok induk; (3) ukuran (body size) dari
stok induk yang lebih besar; dan (4) larva dan recruit hasil reproduksi lebih
banyak. Sebagai akibatnya, terjadi kepastian dan keberhasilan pemijahan pada
wilayah kawasan konservasi. Keberhasilan pemijahan di dalam wilayah Kawasan
Konservasi perairan dibuktikan memberikan dampak langsung pada perbaikan stok
sumberdaya perikanan di luar wilayah kawasan konservasi laut (Gell &
Robert, 2002; PISCO, 2002). Peran Kawasan Konservasi perairan adalah melalui:
(1) ekspor telur dan larva ke luar wilayah KKP yang menjadi wilayah Fishing
Ground nelayan; (2) kelompok recruit; (3) penambahan stok yang siap ambil di
dalam wilayah penangkapan. Indikator keberhasilan yang bisa dilihat adalah
peningkatan hasil tangkapan nelayan di luar kawasan konservasi
setelah beberapa saat setelah dilakukan penerapan KKP secara konsisten. Seberapa jauh efektivitas Kawasan
Konservasi Perairan mampu memenuhi fungsi (peran) tersebut akan sangat
tergantung pada pembatasan yang diterapkan pada kegiatan perikanan dan jenis
pemanfaatan lainnya, model, bentuk maupun posisi/letak wilayahnya, khususnya
ukuran zona/wilayah yang dijadikan perlindungan (no take area)
dibandingkan dengan zona pemanfaatan (penangkapan).
Seberapa jauh efektivitas kawasan konservasi laut dapat memenuhi keempat fungsi (peran) tersebut akan sangat tergantung pada pembatasan yang diterapkan pada kegiatan perikanan dan jenis pemanfaatan lainnya maupun bentuk dan posisinya, khususnya ukuran wilayah yang dilindungi bila dibandingkan dengan wilayah penangkapan.
Seberapa jauh efektivitas kawasan konservasi laut dapat memenuhi keempat fungsi (peran) tersebut akan sangat tergantung pada pembatasan yang diterapkan pada kegiatan perikanan dan jenis pemanfaatan lainnya maupun bentuk dan posisinya, khususnya ukuran wilayah yang dilindungi bila dibandingkan dengan wilayah penangkapan.
Pembuktian ilmiah sudah cukup kuat menyatakan bahwa KKP,
dengan suatu kawasan ‘larang-ambil’ yang substansial di dalamnya, menyebabkan
peningkatan biomas ikan, ukuran ikan yang lebih besar, dan komposisi spesies
yang lebih alami (27 studi ditinjau dalam Roberts & Hawkins (2000)).
Pembuktian ilmiah sekarang sedang dikembangkan untuk mengetahui manfaat
komersial dari KKP (3 studi ditinjau dalam Roberts & Hawkins (2000)).
Roberts et al., (2001) melaporkan bahwa sebuah jejaring terdiri dari 5 KKP yang
berukuran kecil di St. Lucia diketahui telah meningkatkan hasil tangkapan
nelayan tradisional antara 40 dan 90%, sementara KKP di Merrit Island National
Wildlife Refuge (Florida) telah meningkatkan persediaan jumlah dan ukuran ikan
bagi pemancing rekreasional di perairan sekitarnya sejak tahun 1970an. Setelah
mempelajari pengaruh KKP terhadap perikanan lobster di Selandia Baru (Kelly,
Scott & MacDiarmid, 2002) bisa disimpulkan bahwa emigrasi dari lobster ke
dalam wilayah penangkapan di sekitarnya menurunkan kerugian jangka panjang yang
akan diderita oleh nelayan lokal dari hilangnya kesempatan menangkap lobster.
Mekanisme peningkatan biomas dan ukuran individu
ikan-ikan ekonomis penting di dalam kawasan larang-ambil dapat memberikan
manfaat bagi perikanan komersial di sekitarnya melalui (Roberts & Hawkins,
2000): (1) spill-over, penyebaran ikan muda dan dewasa dari dalam kawasan
larang-ambil ke wilayah perikanan di sekitarnya, (2) ekspor telur dan/atau
larva yang bersifat planktonik dari wilayah larang-ambil ke wilayah perikanan
di sekitarnya dan (3) mencegah hancurnya perikanan tangkap secara keseluruhan
jika pengelolaan perikanan di luar kawasan larang-ambil mengalami kegagalan.
Selanjutnya, KKP bisa menjadi alat untuk perlindungan tempat-tempat sensitif,
seperti agregasi pemijahan ikan, khususnya ikan karang (Johannes, 1998).
Box
1. Bukti lapangan tentang dampak KAWASAN KONSERVASI laut
Banyak contoh tentang dampak dari
dibentuknya kawasan konservasi laut, lihat ulasan yang diberikan oleh Roberts
& Hawkins (2000). Berikut beberapa cuplikan tentang dampak
wilayah perlindungan laut di wilayah Indo-Pasifik berdasarkan negara.
Indonesia
Biomassa dan rata-rata ukuran
spesies ikan tertentu lebih besar yang berada di dalam daripada di sekitar
wilayah perlindungan kecil di Sulawesi Utara (Blongko and Kakarotan)
(McClanahan et al. 2006).
Papua New Guinea
Biomassa dan rata-rata ukuran
spesies ikan tertentu lebih besar yang berada di dalam daripada di sekitar
wilayah perlindungan yang dikelola secara tradisional (Muluk and Ahus)
(McClanahan et al. 2006)
Pilipina
Biomassa predator ukuran besar
meningkat 8 kali di wilayah perlindungan Apo. Di wilayah penangkapan,
rata-rata kerapatan dan keragaman spesies dari predator besar juga meningkat
(Russ & Alcala 1996, in Roberts & Hawkins 2000).
Hawaii
Persediaan ikan tercatat 63% lebih
banyak di dalam wilayah larangan penangkapan (Grigg, 1994, in Roberts &
Hawkins 2000).
Kenya
Persediaan spesies ikan komersial
utama (groupers, snappers, and emperors) tercatat 10 kali lebih banyak di
dalam wilayah yang sepenuhnya dilindungi di Kisite Marine National Park bila
dibandingkan di wilayah perlindungan Mpunguti di mana penangkapan diizinkan
(Watson & Ormond 1994, in Roberts & Hawkins 2000).
Dari 110 spesies yang tercatat di
dalam wilayah terumbu karang yang dilindungi, 52 di antaranya tidak dijumpai
di wilayah penangkapan (McClanahan 1994 in Roberts & Hawkins 2000).
|
Terdapat dua bukti dampak kawasan
konservasi perairan. Pertama, terdapat bukti yang kuat bahwa zona inti/larangan
penangkapan (perlindungan) memiliki persediaan ikan yang lebih besar, ukuran
ikan yang lebih besar serta komposisi spesies yang lebih beragam (spesies ikan
komersial berukuran lebih besar) bila dibandingkan dengan zona
pemanfaatan/wilayah penangkapan. Di dalam ulasannya tentang dampak wilayah
perlindungan, Roberts & Hawkins (2000) memberikan contoh dari 30 kajian
yang dilaksanakan pada era 90-an yang mencatat satu atau lebih dari dampak
tersebut. Dengan demikian, dampak pada populasi ikan terkait dengan perubahan
yang terjadi pada bagian lain dari ekosistem. Misalnya, Babcock et
al (1999) (dalam Roberts & Hawkins 2000) melaporkan penurunan 3 kali lipat
populasi bulu babi di dalam wilayah perlindungan, sementara itu populasi
tersebut meningkat hampir tiga kali lipat di luar wilayah perlindungan.
Berdasarkan bukti-bukti tentang dampak wilayah perlindungan laut tersebut,
tidak diragukan lagi bahwa wilayah ini memberikan pasokan telur dan anak ikan
untuk wilayah penangkapan sekitarnya. Selain itu, catatan perubahan
populasi ikan menunjukkan bahwa wilayah perlindungan berfungsi sebagai tempat
berlindung ikan. Namun dampak langsung manfaat perikanan jauh lebih sulit untuk
dibuktikan di lapangan dan oleh karenanya dari berbagai kajian yang telah
dilaksanakan, banyak yang menggunakan model matematis alih-alih observasi
lapangan untuk mengkuantifikasi manfaat perikanan. Sebagian besar model
menunjukkan bahwa perikanan benar-benar dapat memperoleh manfaat dari kawasan
konservasi laut, dan model tersebut juga menunjukan bahwa penangkapan yang
berkelanjutan dapat dimaksimalkan jika kurang lebih 30% habitat sepenuhnya dilindungi
dari kegiatan penangkapan (Roberts & Hawkins 2000). Selain itu,
Roberts & Hawkins (2000) menyatakan bahwa seringnya kecenderungan nelayan
untuk memfokuskan kegiatan penangkapan di dekat wilayah perlindungan ('fishing
the line')
menunjukan bukti manfaat dari kawasan konservasi bagi perikanan komersial.
menunjukan bukti manfaat dari kawasan konservasi bagi perikanan komersial.
Selain bagi perikanan, kawasan konservasi perairan juga memberikan sumbangan penting di dalam pengelolaan dan pengembangan wisata alam (eko-wisata), antara lain dalam hal perlindungan secara lebih baik terhadap habitat dan ikan (jenis tertentu) membuat wilayah tersebut semakin menarik sebagai tujuan ekowisata. Status kawasan konservasi perairan dan publikasi yang dihasilkan biasanya juga akan meningkatkan profil suatu wilayah sebagai tujuan ekowisata. Selanjutnya, melalui pengelolaan kawasan konservasi perairan, dampak negatif kegiatan pariwisata dapat dikendalikan. Di sisi lain, pariwisata sering diharapkan mampu menutup pembiayaan pengelolaan perikanan dan pemanfaatan lainnya.
Nilai penting kawasan konservasi bagi kepentingan ekonomi, khususnya dalam pembangunan perikanan, telah dilakukan berbagai penelitian di beberapa Negara, antara lain: Peningkatan produksi telur di dalam kawasan konservasi laut hingga 10 kali lipat, Kelimpahan jumlah ikan di dalam kawasan konservasi laut hingga 2 sampai 9 kali lipat, Peningkatan ukuran rata-rata ikan di dalam kawasan konservasi laut antara 33 – 300 %, Peningkatan keanekaragaman species di dalam kawasan konservasi laut antara 30 – 50 %, dan Peningkatan hasil tangkapan ikan di luar cagar alam antara 40 – 90 % (Sumarja, 2002).
Secara tidak langsung, kawasan konservasi perairan dapat memberikan sumbangan yang cukup besar bagi perekonomian setempat dengan cara membuat wilayah tersebut menarik sebagai tujuan ekowisata. Misalnya, di Wakatobi National Park, Operation Wallacea menawarkan kombinasi riset dan wisata bawah air, yang memberikan sumbangan besar bagi perekonomian masyarakat di pulau Hoga. Di Raja Ampat, setiap turis yang akan melakukan wisata selam diwajibkan membayar kepada pemerintah daerah, dan pendapatan ekstra ini mendorong pemerintah daerah untuk membentuk jaringan Wilayah Perlindungan Laut yang dapat menjaga kelestarian terumbu karang di Raja Ampat. Banyak pemerintah daerah lainnya di Indonesia yang berpandangan bahwa pembentukan Wilayah Perlindungan Laut sebagai langkah awal pengembangan ekowisata.
Biaya penetapan dan pengelolaan KKP cukup tinggi, namun manfaat yang didapatkan ternyata jauh lebih tinggi. Sebuah jejaring KKP global dengan ukuran 20-30% dari luas laut dunia diperkirakan memerlukan biaya $5-19 miliar per tahun, namun akan menghasilkan tangkapan ikan yang keberlanjutan senilai $ 70-80 miliar setiap tahunnya. Jejaring KKP tersebut juga diperkirakan memberikan jasa ekosistem setara $ 4,5 – 6,7 juta setiap tahun (Balmford et al. 2004). Total biaya yang dibutuhkan untuk membuat dan mengelola jejaring KKP ternyata lebih rendah dibandingkan dengan pembelanjaan subsidi terhadap industri perikanan yang kita ketahui tidak berkelanjutan, yaitu $15-30 miliar per tahun (Balmford et al. 2004). Tingginya biaya pengelolaan KKP, namun sepadan dengan tingginya manfaat yang diperoleh, merupakan justifikasi kuat untuk segera merumuskan mekanisme dan implementasi secara konsisten dari suatu sistem pendanaan pengelolaan KKP yang berkelanjutan. ‘Users pay principles’ perlu diterapkan secara proporsional, adil dan transparan dalam skema pendanaan tersebut.
6. UPAYA
YANG DILAKUKAN – PENGELOLAAN KKP KEDEPAN
Upaya
yang telah dilakukan guna memperoleh manfaat konservasi perairan yang
berkelanjutan sampai akhir tahun 2007 antara lain: telah dicadangkan kawasan
konservasi seluas 8,7 juta hektar, diantaranya merupakan kawasan konservasi
perairan yang diinisiasi oleh Departemen Kelautan dan Perikanan dan Pemerintah
Daerah seluas 3,2 juta hektar yang tersebar di 30 Kabupaten. Selain itu,
Inisiasi pembentukan Kawasan Konservasi Perairan Nasional untuk Perairan Laut
Sawu-NTT dan Kepulauan Anambas-Kepri merupakan embrio pengembangan kawasan
konservasi nasional untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya ikan. Pengelolaan
kawasan konservasi tidak terlepas dari adanya kelembagaan yang kuat, untuk itu
telah dibentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT), Ditjen KP3K yakni: Balai
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut (BPSPL), di Padang, Sumatera Barat; dan
Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKPPN) di Kupang, NTT.
Sebagai
langkah tindaklanjut dari pencadangan kawasan konservasi perairan yang
dilakukan, maka dilakukan upaya pengelolaan berupa: (1) penyusunan rencana
pengelolaan kawasan, (2) pembentukan kelembagaan pengelola kawasan dan (3)
pendanaan kawasan konservasi perairan. Langkah-langkah tersebut sebagai
perwujudan dalam rangka menjamin ketersediaan sumberdaya ikan bagi generasi
kini dan mendatang.
Dalam
menyusun management plan, diupayakan telah ada rekomendasi upaya pengelolaan
kawasan yang meliputi: (a) Perlindungan habitat dan populasi biota perairan;
(b) Rehabilitasi habitat dan populasi biota perairan; (c) Penelitian dan
Pengembangan; (d) Pemanfaatan sumberdaya ikan dan jasa lingkungan;
( e) Pengembangan sosial ekonomi masyarakat; (f) Pengawasan dan
pengendalian; (g) Monitoring dan Evaluasi; serta (h) Pengembangan
Program kerjasama / Jejaring Konservasi. Selain itu, bentuk kelembagaan dan
pengelolaanya juga perlu direkomendasikan dalam rencana pengelolaan. Yang tidak
kalah pentingnya adalah krekomendasi sarana prasarana yang dibangun beserta
pendanaannya. Sarana prasana yang diperlukan dalam KKP sangat tergantung dari
kondisi masing-masing KKP, seperti misalnya: kantor pengelola, pondok
informasi, pusat informasi, pondok jaga, guest house, papan informasi kawasan
dan sebagainya.
Sesuai
dengan PP 60/2007, KKP yang telah ditetapkan dikelola oleh pemerintah atau
pemerintah daerah sesuai kewenangannya (Pasal 15 ayat 1 pp 60/2007),
Pengelolaan KKP dilakukan oleh satuan unit organisasi pengelola sesuai dengan
peraturan perundang-undangan (Pasal 15 ayat 2). Terdapat beberapa alternative
pembentukan kelembagaan pengelolaan KKP, sedikitnya ada 2 (dua) model
Kelembagaan yang dapat dipilih, yaitu: (1) Unit organisasi pengelola
berbasiskan pemerintah dan (2) unit organisasi berbasis pemerintah dan
kolaborasi. Pada umumnya akan lebih baik jika alternative nomor 2 yang
digunakan sebagai pendekatan. Adapun bentuk lembaganya dapat berupa Bidang atau
BLUD, keduanya melalui kemitraan dengan stakeholder sebagai bentuk kolaborasi.
Biasanya disebut dengan Mitra atau forum yang mampu memperkuat organisasi
berupa Bidang maupun BLUDyang menempel pada lembaga di daerah. Kedepan, masih
diperlukan penyamaan persepsi guna menemukan bventuk kelembagaan yang ideal
dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan.
Pengelolaan
kawasan konservasi perairan tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya ikan
secara keseluruhan. Konservasi sumberdaya ikan adalah upaya melindungi
melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya ikan untuk menjamin keberadaan,
ketersediaan dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang maupun yang
akan datang. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan antara lain
mengatur tentang konservasi sumber daya ikan yang dilakukan melalui konservasi
ekosistem, konservasi jenis dan konservasi genetik. Upaya konservasi sumberdaya
ikan pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan sumberdaya ikan
dan lingkungannya secara keseluruhan, mengingat karakteristik sumber daya ikan
dan lingkungannya mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap pengaruh iklim
global maupun iklim musiman serta aspek-aspek keterkaitan (connectivity)
ekosistem antarwilayah perairan baik lokal, regional. maupun global, yang
kemungkinan melewati batas-batas kedaulatan suatu negara, maka dalam upaya
pengembangan dan pengelolaan konservasi sumber daya ikan harus berdasarkan
prinsip kehati-hatian dengan dukungan bukti-bukti ilmiah. Dalam rangka
konservasi sumberdaya ikan pemerintah Republik Indonesia telah mengundangkan
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan.
Peraturan Pemerintah tentang Konservasi Sumber Daya Ikan mengatur lebih rinci
tentang upaya pengelolaan konservasi ekosistem atau habitat ikan termasuk
didalamnya pengembangan Kawasan Konservasi Perairan sebagai bagian dari
konservasi ekosistem. Selain itu Peraturan Pemerintah ini juga memuat
aturan-aturan untuk menjamin pemanfaatan berkelanjutan dari jenis-jenis ikan
serta terpeliharanya keanekaragaman genetik ikan. Terkait dengan upaya
konservasi sumberdaya ikan, secara jelas dalam peraturan pemerintah nomor 60
tahun 2007 telah menyebutkan bahwa management authority untuk pengelolaan
sumberdaya ikan adalah departemen/kementerian yang bertanggungjawab di bidang
perikanan. Kedepan, melalui Peraturan Pemerintah ini diharapkan segala urusan
mengenai konservasi sumberdaya ikan termasuk berbagai ekosistem yang terkait di
dalamnya dapat terwadahi.
Semoga melalui
pengelolaan kawasan konservasi perairan dan pengelolaan perikanan yang
berkelanjutan pada akhirnya mampu menjamin kesejahteraan masyarakat secara
lestari.
Baca Artikel Lainnya
Cari Kos Kosan di Kota Kendari ini tempat
Untuk
kebutuhan Air Minum yang menyehatkan coba konsumsi Air Izaura Air yang
terbukti dapat membantu proses penyembuhan Kegemukan, Migran, Alergi,
Sakit Maag, ASam Urat, Nyeri Sendi, Sambelit, Saking Pinggang,
Osteiporosis, Reumatk, Kanker, Vertigo, Ashma, Brinchitis, Darah Tinggi,
Kencing Batu, Kolestrol, DIABetes, Jantung, Darah Rendah, Jerawat',
WAsir dan Batu Ginzal. Dan menghilangkan racun dalam tubuh.
Mau Sehat dan Menyehatkan Minum Air Izaura
Mau Meraih Penghasilan Besar, Membantu Kesehatan Semua Orang dan Memiliki Bisnis Yang Mudah Anda Jalankan dengan Modal 350 ribu s.d 500 ribu.
Mau Meraih Penghasilan Besar, Membantu Kesehatan Semua Orang dan Memiliki Bisnis Yang Mudah Anda Jalankan dengan Modal 350 ribu s.d 500 ribu.
Berminat Hub Mukhtar, A.Pi HP. 081342791003
Cari Kos Kosan di Kota Kendari ini tempat
Menerima pesanan
Kanopi, Pagar Besi, Jendela
dengan Harga
Murah dengan Sistim Panggilan.
Miliki Kavling tanah
di Pusat Pemerintahan Kabupaten Bima di GRIYA GODO PERMAI BIMA
Berminat Hub 081342791003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar