Oleh Christopel Paino, Gorontalo,
Dengan kearifan lokal, masyarakat Suku Bajo di Desa Torosiaje,
Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, menjaga kelestarian pesisir dan
laut. Salah satu bukti, terlihat dari mangrove di pemukiman mereka
terjaga baik. Hal ini terungkap dalam penelitian Profesor Ramli Utina,
dari Universitas Negeri Gorontalo.
Ramli mengatakan, di lingkungan sekitar permukiman masyarakat Bajo,
ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang masih terpelihara
baik. Kondisi ini, tak tampak pada permukiman masyarakat pesisir lain.
Komunitas Bajo yang mendiami daerah pesisir Desa Torosiaje, memiliki
kedekatan emosional terhadap sumber daya alam (SDA), yang melahirkan
perilaku nyata mempertimbangkan ekologis.
“Komunitas Bajo ini memiliki kearifan lokal berupa tradisi, aturan
atau pantangan turun temurun yang dipraktikkan, dipelihara dan ditaati
masyarakat Bajo.”
Menurut dia, mengatasi krisis ekologi tak semata soal teknis, tetapi
perlu ditelusuri seluk-beluk spiritual manusia, pandangan hidup,
kesadaran terhadap alam dan perilaku ekologis. Untuk itu, perlu
kecerdasan ekologis (ecological intelligence) manusia, berupa pemahaman dan penerjemahan hubungan manusia dengan seluruh unsur beserta mahluk hidup lain.
Manusia cerdas ekologis, katanya, menempatkan diri sebagai kontrol
lingkungan yang dituangkan dalam sikap dan perilaku nyata kala
mempelakukan alam. “Alam semesta bukan hanya sumber eksploitasi tetapi
rumah hidup bersama yang terus dilindungi, dirawat, ditata, bukan
dihancurkan.”
Suku Bajo terkenal sebagai pelaut ulung, dan berdiaspora di beberapa
wilayah lain di Indonesia. Di Gorontalo, komunitas ini bermukim di
pesisir Desa Torosiaje, Desa Torosiaje Jaya, Desa Bumi Bahari di
Kabupaten Pohuwato, dan Desa Tanjung Bajo di Kabupaten Boalemo.
Permukiman mereka di Desa Torosiaje dibangun di laut sejak 1901, dengan
luas lebih kurang 200 hektar. Pembangunan sosial ekonomi dan
perkembangan akses penduduk memungkinkan penyebaran masyarakat Bajo ke
wilayah pesisir lain.
Penduduk Desa Torosiaje tahun 2011 terdata 1.334 jiwa meliputi 338
keluarga, lebih dari 99 persen Suku Bajo. Penduduk usia kerja sebagai
nelayan 24,1 persen.
Sarana dan prasarana pendidikan tersedia TK dan SD, dan di desa
terdekat yaitu Torosiaje Jaya dan Bumi Bahari ada SMP dan SMK Kelautan.
Akses penduduk usia sekolah terhadap pendidikan terdata 26 persen
menempuh pendidikan tingkat dasar hingga pendidikan tinggi.
Masyarakat Bajo di Desa Torosiaje dan dua desa terdekat membentuk
kelompok sadar lingkungan (KSL), yang memperoleh pendampingan dari LSM.
Dampaknya, telihat pada pelestarian ekosistem pesisir, hutan mangrove
sangat baik dan padat.
Dalam tiga tahun terakhir persentase tutupan mangrove mencapai 80-91
persen, dengan kerapatan 5.700-6.000 pohon per hektar. Padang lamun
tersebar hampir merata terutama di luar kawasan mangrove, kecuali pada
jalur lalu lintas perahu pertumbuhan lamun terganggu. Kondisi terumbu
karang di sekitar permukiman penduduk cukup baik.
Perumahan penduduk berupa panggung di atas permukaan air laut
di kedalaman antara satu sampai delapan meter. Antarrumah dihubungkan
dengan jembatan kayu. Tiang rumah dan jembatan dibangun menggunakan kayu
dari tanaman tahan air, gopasa, diambil di luar kawasan mangrove.
Awalnya, masyarakat menggunakan tanaman sudah tua dan mati disebut
Posi-posi, yang diambil dari hutan mangrove. Perahu dayung atau bermotor
tempel sebagai sarana angkutan dan perdagangan bahan makanan pokok.
Pemerintah daerah membangun jembatan konstruksi beton dari arah
pantai melewati kawasan padat hutan mangrove dan padang lamun. Namun,
hanya sebatas area pasang-surut dan tak mencapai perumahan.
Masyarakat tak menyetujui lanjutan pembangunan jembatan ini, dengan
alasan akan masuk sepeda motor ke permukiman hingga pencaharian ojek
perahu penduduk akan hilang. Alasan lain, makin luas kerusakan mangrove
dan padang lamun akibat konstruksi jembatan, dan tak dapat dihindari
kebisingan, asap dan oli buangan mesin sepeda motor bisa mencemari
perairan laut.
“Karena itu perahu motor tempel sebagai sarana angkutan utama antara
daratan dengan permukiman penduduk, waktu tempuh 5-10 menit. Saat ini
Desa Torosiaje ditetapkan sebagai desa wisata,” kata Ramli.
Menurut dia, dukungan suku Bajo menjadikan Desa Torosiaje sebagai
desa wisata menunjukkan kesadaran masyarakat mempertahankan ekosistem
pesisir dan eksistensi permukiman di perairan laut. Konsekuensinya,
masyarakat Bajo harus menjaga kelestarian ekosistem dan SDA pesisir,
hingga layanan jasa wisata ini menjadi sumber kehidupan masyarakat.
Menjaga tradisi
Kedekatan emosional masyarakat Bajo dengan sumberdaya laut memunculkan tradisi mamia kadialo. Tradisi
mamia kadialo berupa pengelompokan orang ketika ikut melaut jangka
waktu tertentu dan perahu yang digunakan. Ada tiga kelompok tradisi
ini: palilibu, bapongka, dan sasakai.
Palilibu adalah kebiasaan melaut menggunakan perahu soppe yang
digerakkan dayung. Melaut hanya dalam satu atau dua hari dan kembali
ke permukiman menjual hasil tangkapan dan sebagian dinikmati bersama
keluarga.
Bapongka (babangi) adalah kegiatan melaut selama beberapa minggu bahkan bulanan menggunakan perahu besar berukuran kurang lebih 4×2 meter disebut leppa atau sopek. Kegiatan ini sering mengikutsertakan keluarga, seperti istri dan anak-anak, bahkan ada yang melahirkan di atas perahu.
Lalu, sasakai, yaitu kebiasaan melaut menggunakan beberapa
perahu selama beberapa bulan dengan wilayah jelajah antar pulau. Selama
kelompok menjalani mamia kadialo (melaut) ada pantangan bagi keluarga
yang ditinggal maupun mereka yang melaut.
Pantangan itu, antara lain dilarang membuang ke perairan laut
seperti, air cucian teripang, arang kayu atau abu dapur, puntung dan abu
rokok, air cabai, jahe dan air perasan jeruk, dan larangan mencuci alat
memasak (wajan) di perairan laut.
Air cucian maupun bahan-bahan ini hendaknya ditampung dan dibuang di
daratan. Ada pula pantangan memakan daging penyu, jika dilanggar bisa
mendatangkan malapetaka, bencana badai, gangguan roh jahat bahkan tidak
mendapatkan hasil apa-apa di laut. Penyu dipercaya banyak menolong
manusia yang mengalami musibah, karena itu satwa ini tidak boleh
dibunuh. “Masyarakat Bajo, khusus generasi tua, masih mempercayai gugusan
karang tertentu sebagai tempat bersemayam arwah para leluhur. Orang tua
melarang anggota keluarga menangkap ikan dan biota lai di sekitar
gugusan karang, kecuali terlebih dahulu melakukan ritual tertentu dengan
menyiapkan sajian bagi leluhur.” “Berbagai pantangan itu mengandung
nilai pelestarian ekosistem perairan laut dan pesisir.”
Kedekatan masyarakat Bajo dengan laut dan pesisir memungkinkan mereka
memiliki berbagai pengetahuan lokal tentang gejala-gejala alam. Di
tengah kerusakan atmosfer bumi, ada gejala alam dan tanda-tanda atmosfer
yang masih digunakan masyarakat Bajo saat melaut. Perairan terumbu karang dikenal dari gejala-gejala seperti, permukaan
laut sekitar cukup tenang, arus kurang kencang, banyak buih atau busa
putih dan bau anyir, dan ketika dayung perahu berdesir saat berperahu.
Gugusan karang dapat dikenal dari kilauan cahaya bulan pada malam hari.
Peralihan pasang surut alir laut pada siang hari, ketika burung elang
turun mendekati permukaan air laut pertanda air mulai surut.
Pengetahuan masyarakat terhadap gejala alam ini, katanya, memiliki
nilai ekologis. Terumbu karang, antara lain sebagai penahan arus dan
gelombang. Tak heran, di sekitar kawasan itu yang cukup tenang. Kilauan
cahaya bulan akibat pantulan permukaan air cukup tenang. Aktivitas
burung elang mendekati permukaan laut karena ketika air surut lebih
banyak tampak biota laut yang menjadi mangsa burung elang. “Walau perkembangan ilmu pengetahuan makin maju namun pengetahuan
lokal tentang gejala alam yang dimiliki masyarakat Bajo masih menjadi
acuan bagi mereka dalam menjalani kehidupan di laut,” ucap Ramli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar