JAKARTA – Kerugian akibat kejahatan perikanan di Laut Arafura
diperkirakan mencapai Rp. 40 triliun per tahun atau Rp. 520 triliun
sepanjang 2001-2013. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian
Kelautan dan Perikanan Gelwynn Jusuf menyebutkan kerugian akibat
penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar regulasi
di Laut Arafura sangat besar. Hal tersebut terungkap dari kajian Balitbang KKP bersama FAO pada 2008.
“[Kerugian] Tidak hanya dari illegal fishing, tetapi juga karena mereka membuang kembali hasil tangkapan, terutama kapal trawl yang membuang hasil tangkapan bukan udang. Juga pelaporan yang tidak akurat,” tuturnya kepada Bisnis, Jumat (27/12). Salah satu langkah yang akan diambil KKP adalah penerapan buka-tutup areal perairan Laut Arafura untuk aktivitas penangkapan ikan.
“Rencana buka dan tutup perairan Arafura sudah dikaji oleh Balitbang bersama Ditjen Perikanan Tangkap KKP, penerapan sedang dibuatkan petunjuk pelaksanaan sambil melakukan sosialisasi dengan para pelaku usaha,” kata Gelwynn.
Sebelumnya, Kepala Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Tual Maluku Mukhtar, A.Pi, M.Si menuturkan Laut Arafura merupakan daerah penangkapan udang dan ikan terbesar dan terbaik di Indonesia. Namun, perairan ini rentan menjadi lokasi penangkapan ikan ilegal dengan modus pemalsuan izin dan nomor kapal. Selain dapat mencuri ikan, kapal juga diuntungkan karena dapat mengisi bahan bakar minyak bersubsidi dan perbekalan lainnya di Pelabuhan Perikanan Indonesia. Berdasarkan pantauan Satelit Radarsat, jumlah kapal ikan yang beroperasi di Laut Arafura rata-rata mencapai 12.120 kapal per tahun dengan bobot kapal sebesar total 14,45 juta gross tonage (GT).
Setelah dianalisis dengan satelit radarsat, dalam setahun sebanyak 8.484 unit kapal diduga melakukan aktivitas illegal fishing. Pasalnya, banyak kapal berukuran besar yang tidak sesuai izin operasi kapal ikan di Laut Arafura. “Sebanyak 8.484 kapal itu mampu menampung bobot ikan sebanyak 2,02 jua ton ikan. Apabila harga ikan per kg US$2, maka total kerugian per tahun mencapai US$4,04 miliar atau sekitar Rp. 40 triliun,” tuturnya. Sementara itu, apabila dikalkulasi sejak 2001-2013, kerugian akibat illegal fishing di Laut Arafura nilainya mencapai Rp. 520 triliun.
Mukhtar, A.Pu, M.Si menuturkan untuk meminimalisasi illegal fishing pemerintah dipandang perlu menutup perizinan bagi semua kapal asing yang hendak menangkap udang dan ikan di Laut Arafura. Langkah lain yang perlu diambil adalah memperketat pengawasan terhadap kapal penangkap udang dan ikan yang beroperasi di Laut Arafura serta mendata jumlah armada yang beroperasi dan menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan setiap tahun. “Kalau sudah mencapai batas jumlah tangkapan yang diperbolehkan, Laut Arafura sebaiknya ditutup sementara dari kegiatan penangkapan udang dan ikan,” imbuhnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim mengatakan pemerintah harus melakukan harmonisasi terhadap kebijakan dan koordinasi pengamanan laut yang selama ini terbagi ketiga lembaga, yakni KKP, Polri, dan TNI Angkatan Laut.
Kapal Pengawas Perikanan di PPN Tual
“Armada pengawas sumber daya Kelautan dan Perikanan juga harus ditambah. Masyarakat nelayan tradisional di wilayah perbatasan juga harus dilibatkan,” ujarnya. Abdul Halim menambahkan kebijakan terkait keikutsertaan asing dalam pengelolaan sumber daya perikanan nasional harus ikut direvisi. Pasalnya, dalam 2 tahun terakhir, terjadi peningkatan investasi asing di sektor perikanan sebesar 133%.
Sumber : Bisnis Indonesia, sabtu,28 Desember 2013 halaman 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar