Jakarta,
Harian Nusantara - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tetap akan
mengakomodasi kepentingan nelayan terkait dengan upaya mengelola
sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Kepentingan nelayan
tidak dikurangi dengan penerapan sistem zonasi (pemanfaatan tata ruang)
untuk kawasan konservasi demi kelestarian, kelangsungan sumber daya
ikan. “Jadi semuanya clear, nelayan ada di situ (pengelolaan kawasan
konservasi). Kita ingin alam (laut) lestari. Masyarakat, nelayan masih
boleh memanfaatkan laut, tapi dengan pengaturan,” Agus Dermawan,
Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI) KKP mengatakan kepada
Harian Nusantara (3/8).
Indonesia
adalah negara
kepulauan terbesar di dunia, dengan 17.504 pulau. Potensi ekonomi
kelautan sangat besar, yang meliputi lahan budidaya (12,4 juta hektar),
perikanan tangkap (6,8 juta ton), cadangan minyak bumi (9,1 milyar
barel), cekungan minyak dan gas/migas sampai 70 persen. Potensi tersebut
akan memberi manfaat kalau dibarengi dengan pengembangan konservasi
sumber daya ikan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sehingga upaya
perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara berkelanjutan mutlak
diberlakukan. “Masyarakat, termasuk LSM (lembaga swadaya masyarakat)
harus bisa membedakan pemanfaatan kawasan konservasi dan di luar
konservasi. Ada perbedaannya.”
KKP
melihat bahwa peraturan yang ada sudah memayungi inisiasi masyarakat
lokal, masyarakat adat dan tradisional dalam konteks hukum nasional.
Peraturan Menteri (Permen) No. 17/2008 sudah mengakomodasi kepentingan
masyarakat lokal. Kategori Kawasan Konservasi Maritim (KKM) terdiri dari
dua, yaitu
perlindungan adat maritim dan perlindungan budaya maritim. “Jadi
criteria, kategori tersebut dibentuk untuk melindungi kearifan lokal dan
masyarakat adat yang berlaku. Budaya maritime untuk menginisiasi
berbagai hal yang sudah dilakukan oleh masyarakat adat. Payung hukumnya,
yaitu Undang Undang (UU No. 27 Tahun 2007) yang memberi kekuatan
pada level adat dan tradisional.”
Hal
lain yang esensial dari pengelolaan kawasan konservasi yaitu pengubahan
paradigma, dari yang lama menjadi baru. Domain kawasan konservasi
dulunya di bawah otoritas Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Paradigma
tersebut berkembang karena domain nya territorial. Sekarang,
paradigmanya harus berkembang ke domainwilayah perairan. Sehingga KKP
merasa perlu membangun kawasan konservasi yang dibarengi dengan
pengelolaan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecilnya. “Kami
berpijak pada kepentingan pengembangan ini (wilayah
perairan).”
Paradigma
lama, yang domain nya territorial rawan konflik, terutama yang terkait
dengan kepentingan nelayan dan masyarakat pesisir. Nelayan, ibaratnya
dikalahkan oleh kepentingan lain karena domain dan paradigmanya
berorientasi pada territorial. “Karena rejim yang lama, terbukti bahwa
nelayan kita dikalahkan.”
Sehingga
UU No. 27/2007, seketika diterbitkan, sudah mulai meninggalkan strategi
lama pengelolaan kawasan konservasi. Nelayan dan masyarakat lokal
secara turun temurun hidup dan mencari nafkah di kawasan tersebut.
Semuanya menjadi satu kawasan terpadu, dan tidakimaginary mengenai
berbagai hal terkait dengan upaya mengonservasi kawasan. “UU No. 27/2007
dan UU mengenai Perikanan (No. 31 Tahun 2004) sudah mengakomodasi dan
mengatur berbagai kepentingan nelayan sehingga tidak tubrukan dengan
kepentingan sector lain, seperti wisata bahari, perhubungan dan lain
sebagainya. Kawasan
konservasi hanya sebatas pengaturan pengelolaan yang berdasarkan kaidah
dan prinsip konservasi. Tidak ada upaya mengesampingkan kepentingan
nelayan. Jadi semuanya sudahclear.”
Masyarakat
adat yang men-declare kawasan konservasi hanya terikat dengan sanksi
hukum adat kalau memang terjadi pelanggaran. Sehingga seorang pelanggar
yang bukan berasal dari daerah yang sudah di-declaresebagai kawasan
konservasi, tidak bisa dikenakan sanksi hukum adat. Sebaliknya, pelaku
pelanggaran tersebut diberi sanksi sesuai dengan hukum nasional
Indonesia. “Misalkan pelakunya berasal dari Jakarta, dia tidak bisa
dikenakan sanksi hukum adat di kawasan yang sudah mengonservasi. Tetapi
kalau pelakunya berasal dari daerah tersebut, ada kesepakatan yang
diberlakukan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Hal ini tidak
bertentangan dengan hukum nasional.”
Di
sisi lain, kawasan konservasi sempat di-declare, mencakup 10 persen
dari representasi
ekosistem esensial yaitu mangrove, terumbu karang, padang lamun.
Pemerintah menyangupi deklarasi tersebut, karena memang pernah
dibicarakan di berbagai forum internasional. Usulan dan permintaan
internasional, sesungguhnya bukan suatu masalah. Kawasan konservasi
diperluas bukan masalah bagi Pemerintah Indonesia. Tetapi (perluasan)
bukannya lebih baik, karena semakin besar kawasan konservasi, semakin
mengurangi aktivitas nelayan untuk menangkap ikan. “Logikanya, kalau
kawasan konservasi lebih besar daripada areal penangkapan ikan,
kesempatan menangkap ikan berkurang. Sehingga kajian kami, kawasan
konservasi perairan tetap harus mendukung kelestarian sumber daya
perikanan, tapi juga menjamin kepentingan nelayan, masyarakat pesisir.”
Perhitungan
usulan 10 persen dari keseluruhan luasan wilayah perairan Indonesia
yang dikonservasi, setara dengan 31 juta hektar. Karena luas keseluruhan
wilayah perairan Indonesia mencapai sekitar 310 juta
hektar. Sehingga kalau ketentuan konservasi 10 persen, berarti luas
kawasan (yang dikonservasi) menjadi sekitar 31 juta hektar. Sementara
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam forum COP-CBD di Brazil tahun
2006 berkomitmen pada pengelolaan kawasan konservasi perairan seluas 20
juta hektar pada tahun 2020. “Jumlah 20 juta hektar lebih kecil
dibanding usulan 31 juta hektar. Kita masih memproses agar bisa
menjangkau (31 juta hektar). Tetapi kalau kita mau realistis, 20 juta
hektar sudah ideal untuk mendukung kelestarian sumberdaya ikan. Karena
kegiatan konservasi juga membutuhkan pendanaan, kelembagaan yang efektif
dan perekonomian rakyat, termasuk masyarakat pesisir serta nelayan.”
(Liu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar