09 April, 2013

Menghitung Jumlah Pemantau Perikanan yang Dibutuhkan Indonesia untuk IOTC

Sebagai salah satu negara yang mengijinkan kapal penangkapan ikannya melakukan penangkapan ikan di laut lepas dan sebagai salah satu negara yang aktif dalam organisasi-organisasi di bawah Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs), Indonesia memiliki kewajiban untuk melakukan pemantauan perikanan di atas kapal. Kegiatan ini dicanangkan untuk memenuhi kebutuhan data yang lebih berkualitas. 
 
Tanpa perlu didesak sebagai suatu kewajiban oleh RFMOs, sebetulnya amat baik bila Indonesia menerapkan pemantauan perikanan di atas kapal. Pemantauan tersebut tidak sekadar bermanfaat untuk mengetahui laju tangkap, tetapi juga dapat menyediakan data tentang daerah dan waktu pemijahan ikan. Kedua data ini dapat menjadi dasar pengelolaan perikanan tangkap. Badan Litbang Kelautan dan Perikanan memang dapat melakukan penelitian tentang daerah dan waktu pemijahan ikan. Namun mahalnya biaya penelitian (antara lain untuk bahan bakar kapal penelitian), maka penempatan pemantau di atas kapal perikanan adalah salah satu solusinya. Pemantau dapat bekerja mengumpulkan data dan informasi yang sangat rinci langsung di atas kapal.

Terlepas dari kesadaran Pemerintah Indonesia untuk merasa bahwa Indonesia perlu memantau kegiatan perikanan di atas kapal di seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI), Indonesia tetap dihadapkan untuk segera melaksanakan pemantauan tersebut di kapal-kapal perikanan tuna yang beroperasi di wilayah konvensi (convention area) RFMOs. Hal yang masih menjadi pertanyaan adalah berapakah jumlah pemantau perikanan tangkap yang dibutuhkan untuk memantau kegiatan penangkapan ikan di Indonesia dan di wilayah konvensi RFMOs.

Untuk menjawab pertanyaan ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) perlu memilah kebutuhan pemantauan berdasarkan pengelola yang mana yang akan dipenuhi. Saat ini, setidaknya ada 2 (dua) pengelola perikanan yang membutuhkan data pemantauan perikanan di atas kapal yaitu (1) RFMOs sebagai pengelola perikanan di wilayah laut lepas dan (2) Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai pengelola perikanan di wilayah NKRI.

Pemantauan di Wilayah Konvensi RFMOs – IOTC
Pertama, saya akan membahas kebutuhan seberapa banyak pemantau untuk RFMOs. Salah satu organisasi RFMOs di mana Indonesia menjadi anggotanya adalah Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), yaitu suatu komisi yang mengelola penangkapan ikan tuna di Samudera Hindia. Resolusi IOTC yang mengamanatkan pemantauan perikanan bagi anggotanya adalah Resolusi 11/04 tentang Skema Pemantau Regional (Regional Observer Scheme).

Salah satu hasilnya adalah negara anggota harus memantau setidaknya 5% dari jumlah operasi/set dari setiap jenis alat penangkapan ikan ketika menangkap ikan di wilayah IOTC pada (a) kapal berukuran panjang total (Length of Overall – LoA) 24 meter atau lebih dan (b) kapal dengan LoA kurang dari 24 meter yang menangkap ikan di luar Zona Ekonomi Eksklusif (lihat gambar 1). Hal ini menegaskan bahwa besaran observasi bukan berdasarkan jumlah kapal aktif tetapi jumlah operasi atau set.
Gambar

Gambar 1. Butir pertama skema pemantauan perikanan di atas kapal pada Resolusi 11/04 IOTC
Berdasarkan butir pertama skema pemantauan yang tercantum pada Resolusi 11/04 IOTC tersebut, maka KKP harus menentukan berapa banyak kapal perikanan yang akan dipantau, berapa banyak petugas pemantau yang dibutuhkan, dan berapa lama penugasan pemantau di atas kapal. Perhitungan-perhitungan tersebut harus ditentukan terlebih dulu sehingga kemudian KKP dapat menentukan besarnya anggaran yang dibutuhkan.

Penghitungan berangkat dari jumlah operasi atau set. Hal ini sangat mudah diperoleh dari Sistem Informasi Logbook Penangkapan Ikan (SILBPI) yang telah dikembangkan oleh Ditjen Perikanan Tangkap. Dengan sekali tekan tombol, maka jumlah set seluruh kapal rawai tuna yang terdaftar di IOTC dapat diketahui. Sayangnya SILBPI baru efektif berjalan kurang dari 1 tahun sehingga belum dapat menampilkan jumlah setting seluruh kapal rawai tuna yang terdaftar di IOTC dalam kurun waktu 12 bulan. Kendala lain adalah LBPI yang diisi nelayan masih kurang berkualitas. Misalnya hasil tangkapan yang seharusnya diisi setiap kali setting-hauling, justru diisi secara total dalam satu trip. Hal ini mengaburkan jumlah setting sebagai faktor upaya dalam perhitungan Catch per Unit Effort (CpUE).

Melihat belum dapatnya mengambil data jumlah setting seluruh rawai tuna Indonesia yang terdaftar di IOTC dari SILBPI, maka Direktur Jenderal Perikanan Tangkap sebagai penyelenggara pemantauan perikanan di atas kapal di Indonesia dapat memperolehnya dengan sebuah simulasi sederhana. Untuk menentukan jumlah kapal yang akan dipantau, jumlah pemantau yang dibutuhkan, dan jumlah hari penugasan, maka KKP bisa berpedoman pada jumlah kapal aktif yang terdaftar pada IOTC. Setiap bulan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) memperbarui (updating) data kapal yang terdaftar di IOTC. Pembaruan itu antara lain meliputi pendaftaran kapal baru, perpanjangan ijin, usulan penghapusan, dan identifikasi jumlah kapal dengan SIPI aktif yang terdaftar di IOTC. Karena data tersebut bergerak setiap saat, maka KKP dapat menggunakan rekapitulasi data kapal terdaftar dengan SIPI aktif dalam setahun. Data itulah yang dapat digunakan untuk menentukan bagaimana kegiatan pemantauan perikanan di atas kapal dapat dilakukan untuk wilayah konvensi IOTC. Hal yang sama berlaku untuk organisasi regional lainnya, antara lain Conservation of Southern Bluefin Tuna  (CCSBT) dan Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC).

Berikut ini adalah simulasi perhitungan jumlah kapal yang akan dipantau, jumlah pemantau yang dibutuhkan, dan jumlah hari penugasan pemantau (selanjutnya ketiganya saya singkat sebagai “besaran pemantauan”) berdasarkan jumlah kapal terdaftar dengan SIPI aktif di IOTC. Karena simulasi, saya akan menggunakan beberapa asumsi pada perhitungannya, antara lain jumlah set dalam setahun (jumlah set dipersyaratkan di Resolusi 11/04 seperti saya cantumkan di atas).

Kapal Indonesia yang tercantum dalam IOTC Record of Authorized Vessels adalah sebanyak 1.281, sedangkan kapal dengan SIPI AKTIF per tanggal 27 Desember 2012 berjumlah 327 kapal (Direktorat Sumberdaya Ikan, Januari 2013). Dengan demikian, penentuan besaran pemantauan saya acu pada 327 kapal.

Berdasarkan cara penanganan hasil tangkapannya, 327 kapal penangkap tuna di Samudera Hindia tersebut terdiri dari penangkap tuna segar (fresh tuna) dan tuna beku (frozen tuna). Kapal tuna segar beroperasi antara dua bulan hingga empat bulan per trip dan melakukan dua trip per tahun. Sedangkan tuna beku beroperasi delapan bulan hingga satu tahun penuh per trip. Untuk memudahkan perhitungan, saya mengasumsikan bahwa 327 kapal aktif terdiri dari 300 kapal tuna segar dan 27 kapal tuna beku (lihat Tabel 1).

Tabel 1.   Simulasi Jumlah Kapal Rawai Tuna dan Set yang Dilakukannya dalam Setahun
Gambar

Setiap kapal rawai tuna hanya mampu melakukan satu kali set (setting-hauling) dalam 24 jam. Dengan asumsi jumlah set setiap kapal dilakukan sebanyak 200 set per tahun pada kapal tuna segar dan 250 set per tahun pada kapal tuna beku (tabel 1 kolom c), maka jumlah set dalam setahun adalah 60.000 set pada kapal tuna segar dan 6.750 set pada kapal tuna beku (kolom d).

Dari perhitungan itu, maka kita dapat menentukan 5 % jumlah set (sebagaimana diamanatkan pada Resolusi 11/04 IOTC) yaitu 3.000 set pada kapal tuna segar dan 338 set pada kapal tuna beku. Jumlah set yang tercantum pada kolom “e” lah yang harus dipantau di atas kapal. Kolom “e” adalah titik tolak perhitungan selanjutnya mengenai besaran pemantauan di atas kapal (jumlah kapal, jumlah pemantau, dan jumlah hari pemantauan).

Dari data 3.000 set pada kapal tuna segar dan 338 set pada kapal tuna beku di kolom “e” tabel 1 di atas, maka Direktur Jenderal Perikanan Tangkap selanjutnya dapat memutuskan berapa jumlah kapal yang akan dipantau berdasarkan jumlah hari penugasan (observasi) dan ketersediaan petugas pemantau yang dimiliki KKP (lihat tabel 2).

Tabel 2.   Perhitungan Besaran Pemantauan Berdasarkan Jumlah Kapal, Jumlah Pemantau, dan Jumlah Hari Penugasan
Gambar

Sel 2b2 (dibaca: tabel 2, kolom b, baris 2) adalah hasil dari jumlah set seluruh kapal tuna segar di sel 1e2 (tabel 1, kolom e, baris 2) dibagi jumlah hari penugasan seorang pemantau di sel 2a2 (tabel 2, kolom a, baris 2). Demikian seterusnya ke baris di bawahnya pada tabel 2 kolom b tersebut. Maksud kolom itu adalah, bila satu orang pemantau bertugas selama 30 hari pemantauan, maka KKP harus menerjunkan 100 orang pemantau di 100 kapal tuna segar. Namun bila seorang pemantau bertugas selama 120 hari (kira-kira satu trip operasi penangkapan tuna segar), maka KKP cukup menerjunkan 25 orang pemantau di 25 kapal tuna segar.

Perhitungan yang sama berlaku untuk tuna beku di tabel 2 kolom c (kapal tuna beku). Bila seorang pemantau bertugas hanya selama 60 hari pemantuan di suatu kapal tuna beku, maka KKP harus menerjunkan 32 orang pemantau di 11 kapal tuna beku. Namun bila seorang pemantau bertugas selama 300 hari (kira-kira satu trip penangkapan oleh kapal tuna beku), maka KKP cukup menerjunkan 1 orang pemantau di 1 kapal tuna beku.

Tabel 2 kolom d dan e akan menunjukkan jumlah kapal yang dipantau menurut jumlah hari penugasan dan jumlah kapal yang dipantau. Berikut ini adalah kesimpulan saat membaca tabel 2 kolom d dan e.

Bila seorang pemantau bertugas hanya selama 30 hari (sel 2a2), maka jumlah kapal yang dipantau adalah sebanyak 100 kapal tuna segar (sel 2b2) alias sebesar 33,33 % (sel 2d2) jumlah kapal aktif (sel 1b2) dan sebanyak 11 kapal tuna beku (sel 2c2) alias sebesar 41,67% (sel 2e2) jumlah kapal aktif (sel 1b3).

Bila seorang pemantau bertugas selama 120 hari (sel 2a6), maka jumlah kapal yang dipantau adalah sebanyak 25 kapal tuna segar (sel 2b6) alias sebesar 8,33 % (sel 2d6) jumlah kapal aktif (sel 1b2) dan sebanyak 3 kapal tuna beku (sel 2c6) alias sebesar 10,42 % (sel 2e6) jumlah kapal aktif (sel 1b3).

Bila seorang pemantau bertugas selama 240 hari (sel 2a10), maka jumlah kapal yang dipantau adalah sebanyak 13 kapal tuna segar (sel 2b10) alias sebesar 4,17 % (sel 2d10) jumlah kapal aktif (sel 1b2) dan sebanyak 1 kapal tuna beku (sel 2c10) alias sebesar 5,21 %  (sel 2e10) jumlah kapal aktif (sel 1b3).

Ketiga contoh kesimpulan di tiga paragraf terakhir di atas menunjukkan bahwa bila semakin sedikit hari pemantauan seorang pemantau di atas sebuah kapal, maka petugas pemantauan dan kapal perikanan yang dipantau akan semakin banyak. Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh KKP mengenai hal tersebut di atas adalah (a) biaya perjalanan petugas pemantau dari lokasi asal pemantau ke pelabuhan pangkalan kapal penangkap ikan dan (b) jumlah hari penugasan yang optimal agar pemantau tidak terlalu singkat sehingga memboroskan ongkos perjalanan atau terlalu panjang sehingga pemantau jenuh dan tidak dapat bekerja optimal.

Bila seorang petugas pemantauan hanya bertugas selama 30 hari di atas sebuah kapal tuna segar, risiko yang harus dipertimbangkan KKP adalah biaya perjalanan pergi pulang petugas pemantau dari kota asal ke kota pelabuhan, mekanisme penjemputan di hari ke tiga puluh (bisa diikutkan di kapal pembawa/carrier vessel saat terjadi pemindahan hasil tangkapan di laut/transhipment at sea). Semakin banyak petugas hanya bertugas selama 30 hari, maka semakin banyak petugas pemantau dibutuhkan dan perjalanannya tersebut.
Pilihan kedua adalah memaksimalkan masa penugasan pemantau di atas kapal tuna segar. Misalnya selama satu trip penangkapan sekitar 3 sampai 4 bulan (90 sampai 120 hari). Risiko yang harus diperhitungkan KKP adalah tidak optimalnya hasil pemantauan karena petugas akan mengalami kejenuhan.

Melihat kedua pilihan di atas, maka pilihan yang paling baik sepertinya menugaskan pemantau selama 2 bulan (60 hari). Kepulangannya tetap dititipkan melalui kapal pembawa (carrier vessel) saat terjadi pemindahan hasil tangkapan di laut (transhipment at sea). Walau memulangkan pemantau tetap dengan mekanisme penitipan, setidaknya hal itu dilakukan lebih sedikit (50 pemantau) bila dibandingkan dengan skema penugasan 30 hari (100 pemantau) sekaligus memangkas pos biaya perjalanan (dari kota asal ke kota pelabuhan PP) karena jumlah pemantau hanya separuhnya.

Sedangkan pada kapal tuna beku, karena tidak ada mekanisme penitipan ikan, maka pemantau dapat ditugaskan selama satu trip penuh. Melihat tantangan penempatan di kapal tuna beku, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap harus benar-benar menyeleksi pemantau yang akan ditugaskan. Mengutip syarat pemantau yang dipaparkan Nishida dalam berbagai pertemuan (salah satunya Indian Ocean Tuna Fisheries of Indonesia Catch Estimation Workskhop di Tahun 2012) antara lain harus tangguh hidup dalam keterbatasan di atas kapal, mampu bersosialisasi dengan awak kapal dan mampu membuat laporan termasuk memindahkan data dari kertas (analog) ke komputer (digital) untuk memudahkan pengolahan dan analisis.

Hal lain yang harus diingat adalah jumlah hari yang saya simulasikan (tabel 2 kolom a) adalah jumlah hari pemantauan. Hal ini belum termasuk hari perjalanan menuju dan dari daerah penangkapan ikan (fishing ground). Bila ditambah hari perjalanan di mana Direktur Jenderal Perikanan Tangkap juga harus membayar uang layar pemantau, maka anggaran yang disediakan harus lebih besar. Namun hal ini bukan masalah besar karena perhitungan itu dapat dilakukan secara mudah. Misalnya dengan menambah 14 hari uang layar (dengan asumsi perjalanan selama 7 hari masing-masing dari dan ke daerah penangkapan ikan).

Tidak ada komentar: