Sebagai salah satu negara yang mengijinkan kapal penangkapan
ikannya melakukan penangkapan ikan di laut lepas dan sebagai salah satu
negara yang aktif dalam organisasi-organisasi di bawah Regional Fisheries Management Organizations
(RFMOs), Indonesia memiliki kewajiban untuk melakukan pemantauan
perikanan di atas kapal. Kegiatan ini dicanangkan untuk memenuhi
kebutuhan data yang lebih berkualitas.
Tanpa perlu didesak sebagai suatu kewajiban oleh RFMOs, sebetulnya
amat baik bila Indonesia menerapkan pemantauan perikanan di atas kapal.
Pemantauan tersebut tidak sekadar bermanfaat untuk mengetahui laju
tangkap, tetapi juga dapat menyediakan data tentang daerah dan waktu
pemijahan ikan. Kedua data ini dapat menjadi dasar pengelolaan perikanan
tangkap. Badan Litbang Kelautan dan Perikanan memang dapat melakukan
penelitian tentang daerah dan waktu pemijahan ikan. Namun mahalnya biaya
penelitian (antara lain untuk bahan bakar kapal penelitian), maka
penempatan pemantau di atas kapal perikanan adalah salah satu solusinya.
Pemantau dapat bekerja mengumpulkan data dan informasi yang sangat
rinci langsung di atas kapal.
Terlepas dari kesadaran Pemerintah Indonesia untuk merasa bahwa
Indonesia perlu memantau kegiatan perikanan di atas kapal di seluruh
Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI),
Indonesia tetap dihadapkan untuk segera melaksanakan pemantauan tersebut
di kapal-kapal perikanan tuna yang beroperasi di wilayah konvensi (convention area)
RFMOs. Hal yang masih menjadi pertanyaan adalah berapakah jumlah
pemantau perikanan tangkap yang dibutuhkan untuk memantau kegiatan
penangkapan ikan di Indonesia dan di wilayah konvensi RFMOs.
Untuk menjawab pertanyaan ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) perlu memilah kebutuhan pemantauan berdasarkan pengelola yang mana
yang akan dipenuhi. Saat ini, setidaknya ada 2 (dua) pengelola
perikanan yang membutuhkan data pemantauan perikanan di atas kapal yaitu
(1) RFMOs sebagai pengelola perikanan di wilayah laut lepas dan (2)
Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai pengelola perikanan di
wilayah NKRI.
Pemantauan di Wilayah Konvensi RFMOs – IOTC
Pertama, saya akan membahas kebutuhan seberapa banyak pemantau untuk
RFMOs. Salah satu organisasi RFMOs di mana Indonesia menjadi anggotanya
adalah Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), yaitu suatu komisi
yang mengelola penangkapan ikan tuna di Samudera Hindia. Resolusi IOTC
yang mengamanatkan pemantauan perikanan bagi anggotanya adalah Resolusi
11/04 tentang Skema Pemantau Regional (Regional Observer Scheme).
Salah satu hasilnya adalah negara anggota harus memantau setidaknya
5% dari jumlah operasi/set dari setiap jenis alat penangkapan ikan
ketika menangkap ikan di wilayah IOTC pada (a) kapal berukuran panjang
total (Length of Overall – LoA) 24 meter atau lebih dan (b) kapal
dengan LoA kurang dari 24 meter yang menangkap ikan di luar Zona
Ekonomi Eksklusif (lihat gambar 1). Hal ini menegaskan bahwa besaran
observasi bukan berdasarkan jumlah kapal aktif tetapi jumlah operasi
atau set.
Gambar 1. Butir pertama skema pemantauan perikanan di atas kapal pada Resolusi 11/04 IOTC
Berdasarkan butir pertama
skema pemantauan yang tercantum pada Resolusi 11/04 IOTC tersebut, maka
KKP harus menentukan berapa banyak kapal perikanan yang akan dipantau,
berapa banyak petugas pemantau yang dibutuhkan, dan berapa lama
penugasan pemantau di atas kapal. Perhitungan-perhitungan tersebut harus
ditentukan terlebih dulu sehingga kemudian KKP dapat menentukan
besarnya anggaran yang dibutuhkan.
Penghitungan berangkat dari jumlah operasi atau set. Hal ini sangat
mudah diperoleh dari Sistem Informasi Logbook Penangkapan Ikan (SILBPI)
yang telah dikembangkan oleh Ditjen Perikanan Tangkap. Dengan sekali
tekan tombol, maka jumlah set seluruh kapal rawai tuna yang terdaftar di
IOTC dapat diketahui. Sayangnya SILBPI baru efektif berjalan kurang
dari 1 tahun sehingga belum dapat menampilkan jumlah setting seluruh
kapal rawai tuna yang terdaftar di IOTC dalam kurun waktu 12 bulan.
Kendala lain adalah LBPI yang diisi nelayan masih kurang berkualitas.
Misalnya hasil tangkapan yang seharusnya diisi setiap kali
setting-hauling, justru diisi secara total dalam satu trip. Hal ini
mengaburkan jumlah setting sebagai faktor upaya dalam perhitungan Catch per Unit Effort (CpUE).
Melihat belum dapatnya mengambil data jumlah setting seluruh rawai
tuna Indonesia yang terdaftar di IOTC dari SILBPI, maka Direktur
Jenderal Perikanan Tangkap sebagai penyelenggara pemantauan perikanan di
atas kapal di Indonesia dapat memperolehnya dengan sebuah simulasi
sederhana. Untuk menentukan jumlah kapal yang akan dipantau, jumlah
pemantau yang dibutuhkan, dan jumlah hari penugasan, maka KKP bisa
berpedoman pada jumlah kapal aktif yang terdaftar pada IOTC. Setiap
bulan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) memperbarui (updating)
data kapal yang terdaftar di IOTC. Pembaruan itu antara lain meliputi
pendaftaran kapal baru, perpanjangan ijin, usulan penghapusan, dan
identifikasi jumlah kapal dengan SIPI aktif yang terdaftar di IOTC.
Karena data tersebut bergerak setiap saat, maka KKP dapat menggunakan
rekapitulasi data kapal terdaftar dengan SIPI aktif dalam setahun. Data
itulah yang dapat digunakan untuk menentukan bagaimana kegiatan
pemantauan perikanan di atas kapal dapat dilakukan untuk wilayah
konvensi IOTC. Hal yang sama berlaku untuk organisasi regional lainnya,
antara lain Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) dan Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC).
Berikut ini adalah simulasi perhitungan jumlah kapal yang akan
dipantau, jumlah pemantau yang dibutuhkan, dan jumlah hari penugasan
pemantau (selanjutnya ketiganya saya singkat sebagai “besaran
pemantauan”) berdasarkan jumlah kapal terdaftar dengan SIPI aktif di
IOTC. Karena simulasi, saya akan menggunakan beberapa asumsi pada
perhitungannya, antara lain jumlah set dalam setahun (jumlah set
dipersyaratkan di Resolusi 11/04 seperti saya cantumkan di atas).
Kapal Indonesia yang tercantum dalam IOTC Record of Authorized Vessels
adalah sebanyak 1.281, sedangkan kapal dengan SIPI AKTIF per tanggal 27
Desember 2012 berjumlah 327 kapal (Direktorat Sumberdaya Ikan, Januari
2013). Dengan demikian, penentuan besaran pemantauan saya acu pada 327
kapal.
Berdasarkan cara penanganan hasil tangkapannya, 327 kapal penangkap
tuna di Samudera Hindia tersebut terdiri dari penangkap tuna segar (fresh tuna) dan tuna beku (frozen tuna).
Kapal tuna segar beroperasi antara dua bulan hingga empat bulan per
trip dan melakukan dua trip per tahun. Sedangkan tuna beku beroperasi
delapan bulan hingga satu tahun penuh per trip. Untuk memudahkan
perhitungan, saya mengasumsikan bahwa 327 kapal aktif terdiri dari 300
kapal tuna segar dan 27 kapal tuna beku (lihat Tabel 1).
Tabel 1. Simulasi Jumlah Kapal Rawai Tuna dan Set yang Dilakukannya dalam Setahun
Setiap kapal rawai tuna hanya mampu melakukan satu kali set (setting-hauling)
dalam 24 jam. Dengan asumsi jumlah set setiap kapal dilakukan sebanyak
200 set per tahun pada kapal tuna segar dan 250 set per tahun pada kapal
tuna beku (tabel 1 kolom c), maka jumlah set dalam setahun adalah
60.000 set pada kapal tuna segar dan 6.750 set pada kapal tuna beku
(kolom d).
Dari perhitungan itu, maka kita dapat menentukan 5 % jumlah set
(sebagaimana diamanatkan pada Resolusi 11/04 IOTC) yaitu 3.000 set pada
kapal tuna segar dan 338 set pada kapal tuna beku. Jumlah set yang
tercantum pada kolom “e” lah yang harus dipantau di atas kapal. Kolom
“e” adalah titik tolak perhitungan selanjutnya mengenai besaran
pemantauan di atas kapal (jumlah kapal, jumlah pemantau, dan jumlah hari
pemantauan).
Dari data 3.000 set pada kapal tuna segar dan 338 set pada kapal tuna
beku di kolom “e” tabel 1 di atas, maka Direktur Jenderal Perikanan
Tangkap selanjutnya dapat memutuskan berapa jumlah kapal yang akan
dipantau berdasarkan jumlah hari penugasan (observasi) dan ketersediaan
petugas pemantau yang dimiliki KKP (lihat tabel 2).
Tabel 2. Perhitungan Besaran Pemantauan Berdasarkan Jumlah Kapal, Jumlah Pemantau, dan Jumlah Hari Penugasan
Sel 2b2 (dibaca: tabel 2, kolom b, baris 2) adalah hasil dari jumlah
set seluruh kapal tuna segar di sel 1e2 (tabel 1, kolom e, baris 2)
dibagi jumlah hari penugasan seorang pemantau di sel 2a2 (tabel 2, kolom
a, baris 2). Demikian seterusnya ke baris di bawahnya pada tabel 2
kolom b tersebut. Maksud kolom itu adalah, bila satu orang pemantau
bertugas selama 30 hari pemantauan, maka KKP harus menerjunkan 100 orang
pemantau di 100 kapal tuna segar. Namun bila seorang pemantau bertugas
selama 120 hari (kira-kira satu trip operasi penangkapan tuna segar),
maka KKP cukup menerjunkan 25 orang pemantau di 25 kapal tuna segar.
Perhitungan yang sama berlaku untuk tuna beku di tabel 2 kolom c
(kapal tuna beku). Bila seorang pemantau bertugas hanya selama 60 hari
pemantuan di suatu kapal tuna beku, maka KKP harus menerjunkan 32 orang
pemantau di 11 kapal tuna beku. Namun bila seorang pemantau bertugas
selama 300 hari (kira-kira satu trip penangkapan oleh kapal tuna beku),
maka KKP cukup menerjunkan 1 orang pemantau di 1 kapal tuna beku.
Tabel 2 kolom d dan e akan menunjukkan jumlah kapal yang dipantau
menurut jumlah hari penugasan dan jumlah kapal yang dipantau. Berikut
ini adalah kesimpulan saat membaca tabel 2 kolom d dan e.
Bila seorang pemantau bertugas hanya selama 30 hari (sel 2a2), maka
jumlah kapal yang dipantau adalah sebanyak 100 kapal tuna segar (sel
2b2) alias sebesar 33,33 % (sel 2d2) jumlah kapal aktif (sel 1b2) dan
sebanyak 11 kapal tuna beku (sel 2c2) alias sebesar 41,67% (sel 2e2)
jumlah kapal aktif (sel 1b3).
Bila seorang pemantau bertugas selama 120 hari (sel 2a6), maka jumlah
kapal yang dipantau adalah sebanyak 25 kapal tuna segar (sel 2b6) alias
sebesar 8,33 % (sel 2d6) jumlah kapal aktif (sel 1b2) dan sebanyak 3
kapal tuna beku (sel 2c6) alias sebesar 10,42 % (sel 2e6) jumlah kapal
aktif (sel 1b3).
Bila seorang pemantau bertugas selama 240 hari (sel 2a10), maka
jumlah kapal yang dipantau adalah sebanyak 13 kapal tuna segar (sel
2b10) alias sebesar 4,17 % (sel 2d10) jumlah kapal aktif (sel 1b2) dan
sebanyak 1 kapal tuna beku (sel 2c10) alias sebesar 5,21 % (sel 2e10)
jumlah kapal aktif (sel 1b3).
Ketiga contoh kesimpulan di tiga paragraf terakhir di atas
menunjukkan bahwa bila semakin sedikit hari pemantauan seorang pemantau
di atas sebuah kapal, maka petugas pemantauan dan kapal perikanan yang
dipantau akan semakin banyak. Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh
KKP mengenai hal tersebut di atas adalah (a) biaya perjalanan petugas
pemantau dari lokasi asal pemantau ke pelabuhan pangkalan kapal
penangkap ikan dan (b) jumlah hari penugasan yang optimal agar pemantau
tidak terlalu singkat sehingga memboroskan ongkos perjalanan atau
terlalu panjang sehingga pemantau jenuh dan tidak dapat bekerja optimal.
Bila seorang petugas pemantauan hanya bertugas selama 30 hari di atas
sebuah kapal tuna segar, risiko yang harus dipertimbangkan KKP adalah
biaya perjalanan pergi pulang petugas pemantau dari kota asal ke kota
pelabuhan, mekanisme penjemputan di hari ke tiga puluh (bisa diikutkan
di kapal pembawa/carrier vessel saat terjadi pemindahan hasil tangkapan di laut/transhipment at sea).
Semakin banyak petugas hanya bertugas selama 30 hari, maka semakin
banyak petugas pemantau dibutuhkan dan perjalanannya tersebut.
Pilihan kedua adalah memaksimalkan masa penugasan pemantau di atas
kapal tuna segar. Misalnya selama satu trip penangkapan sekitar 3 sampai
4 bulan (90 sampai 120 hari). Risiko yang harus diperhitungkan KKP
adalah tidak optimalnya hasil pemantauan karena petugas akan mengalami
kejenuhan.
Melihat kedua pilihan di atas, maka pilihan yang paling baik
sepertinya menugaskan pemantau selama 2 bulan (60 hari). Kepulangannya
tetap dititipkan melalui kapal pembawa (carrier vessel) saat terjadi pemindahan hasil tangkapan di laut (transhipment at sea).
Walau memulangkan pemantau tetap dengan mekanisme penitipan, setidaknya
hal itu dilakukan lebih sedikit (50 pemantau) bila dibandingkan dengan
skema penugasan 30 hari (100 pemantau) sekaligus memangkas pos biaya
perjalanan (dari kota asal ke kota pelabuhan PP) karena jumlah pemantau
hanya separuhnya.
Sedangkan pada kapal tuna beku, karena tidak ada mekanisme penitipan
ikan, maka pemantau dapat ditugaskan selama satu trip penuh. Melihat
tantangan penempatan di kapal tuna beku, Direktur Jenderal Perikanan
Tangkap harus benar-benar menyeleksi pemantau yang akan ditugaskan.
Mengutip syarat pemantau yang dipaparkan Nishida dalam berbagai
pertemuan (salah satunya Indian Ocean Tuna Fisheries of Indonesia Catch Estimation Workskhop
di Tahun 2012) antara lain harus tangguh hidup dalam keterbatasan di
atas kapal, mampu bersosialisasi dengan awak kapal dan mampu membuat
laporan termasuk memindahkan data dari kertas (analog) ke komputer
(digital) untuk memudahkan pengolahan dan analisis.
Hal lain yang harus diingat adalah jumlah hari yang saya simulasikan
(tabel 2 kolom a) adalah jumlah hari pemantauan. Hal ini belum termasuk
hari perjalanan menuju dan dari daerah penangkapan ikan (fishing ground).
Bila ditambah hari perjalanan di mana Direktur Jenderal Perikanan
Tangkap juga harus membayar uang layar pemantau, maka anggaran yang
disediakan harus lebih besar. Namun hal ini bukan masalah besar karena
perhitungan itu dapat dilakukan secara mudah. Misalnya dengan menambah
14 hari uang layar (dengan asumsi perjalanan selama 7 hari masing-masing
dari dan ke daerah penangkapan ikan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar