17 Februari, 2013

HINDARI, PENGERDILAN NEGARA KEPULAUAN BERTOPENG EFISIENSI!

Awal tahun 2007 diwarnai ‘kegelisahan’ berbagai pihak yang peduli dengan masa depan Indonesia sebagai negara kepulauan. Betapa tidak, draft Rancangan Undang-Undang Kementerian Negara (RUU KN) pasal 13 ayat 2 yang sementara ini beredar mengindikasikan penggabungan kelautan, kehutanan dan pertanian dalam satu kementerian. Ketua Pansus RUU KN, Agun Gunanjar (Gatra.com, 30/11/2006) menggambarkan bahwa RUU tersebut segera dibahas Januari dan diperkirakan rampung pada Februari atau awal Maret 2007. Alasan efektifitas dituding sebagai landasan pembentukan RUU KN tersebut (Lihat: Menteri Negara Dirampingkan, Seputar Indonesia, 18/1/2007), dan dari segi konsep, materi RUU KN ini digambarkan telah final, sesuai kondisi kebutuhan bangsa dan telah melalui uji publik di lima wilayah yakni Medan, Surabaya, Makassar, Ambon dan Jayapura, dimana unsur perguruan tinggi setempat selalu dilibatkan. (Lihat: Ironi Negara Kepulauan, Kompas, 19/01/2007).

Beragam diskusi bergulir dari satu tempat dan media ke yang lainnya, dan secara sporadis mencoba memetakan dasar berpikir, proyeksi ataupun dampak kemungkinan penggabungan tersebut.
Persoalannya tentu saja bukan pada perspektif ‘egoisme’ sektoral, dimana praktisi dan pemerhati kelautan ingin ‘jalan sendiri’ atau menganut ‘status quo’ terhadap kondisi sekarang. Itu disadari tidak relevan lagi. Pendekatan multi-pihak dan keterpaduan, saat ini telah menjadi ‘dogma’ baru daiam orientasi pembangunan kelautan, sekalipun dalam implementasinya cenderung masih ‘tertatih-tatih’.

Fokus sorotan yang mengemuka adalah pada [1] orientasi untuk mempertahankan eksistensi negara kepulauan dan rasionalitas pembangunan; [2] urgensi menebus ‘ketertinggalan’ akibat pembangunan berperspektif daratan yang telah melahirkan kantong kemiskinan dan degradasi lingkungan maupun sosial yang amat memprihatinkan.
Negeri Kepulauan yang mati suri
 
Mayoritas kita mahfum bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan berbagai faktor strategis sosio-historis, potensi ekonomi bahari, karakteristik wilayah, serta sumberdaya alam yang melimpah. Secara ideal, status dan potensi ini harusnya dapat memberikan kontribusi riil dalam menjawab permasalahan kelautan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ironisnya, berbagai permasalahan terus menghimpit. Eksploitasi sumberdaya terus beriangsung tanpa kendali yang efektif. Kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat pesisir tetap menjadi potret buram Indonesia. Kondisi ekosistem belum memperlihatkan trend perbaikan yang berarti. Ancaman bencana alam pesisir berupa tsunami, banjir, gempa, dan sebagainya kian marak. Ketiadaan sarana dan fasilitas tetap menjadi ‘lagu lama’ yang memilukan. Iklim investasi kelautan belum kondusif. Ancaman sengketa perbatasan di pulau-pulau terluar memerlukan penanganan khusus. Sementara pola pemanfaatan sumberdaya dan wilayah kelautan belum fokus, serampangan dan masih tumpang tindih.

Disisi lain, berbagai kebijakan nasional, selalu memperikan implikasi yang lebih parah pada masyarakat pesisir. Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan harga sembako, merupakan contoh kecil yang terus-menerus mendera.
Kalau merujuk kebelakang, kondisi tersebut diakibatkan oleh penganaktirian pembangunan kelautan selama tiga dekade. Sadar atau tidak, kebijakan dan perspektif pembangunan telah mengisolasi masyarakat pesisir dan kepulauan dari ‘hak’ untuk ikut menikmati fasilitas pembangunan. Keterbelakangan dan penderitaan masyarakat pesisir dan kondisi lingkungan yang mengenaskan adalah ‘buah’ dari ketidakpedulian dan ketidakpahaman akan ‘kodraf Indonesia sebagai negara kepulauan. Pada masa itu, kelautan paling tinggi diterjemahkan secara sempit sebagai sektor perikanan semata.

Keputusan strategis Presiden KH. Abdurrahman Wahid yang membentuk kelembagaan kelautan tahun 1999 silam, ‘membuka’ kesadaran untuk mulai berpaling dan peduli pada kondisi pesisir dan laut. Terobosan kebijakan ini, langsung atau tidak, mulai mengungkap sisi yang nyaris tidak pemah disentuh serta mengakselerasi kepedulian untuk menggeser pembangunan ke arah yang lebih proporsional yang mengacu pada karakteristik bangsa. Terlepas dari seberapa efektif kelembagaan kelautan berkarya, ‘gong’ pembangunan kelautan mulai bergema, baik di pusat maupun daerah.

Silang perspektif pembangunan kelautan
Satu hal yang masih selalu menggantung dan akhimya lebih sering berakhir sebagai wacana adalah arah dan visi pembangunan kelautan. Sebagian pihak memandang kelautan dalam kacamata sektoral. Ada pula yang memahaminya sebagai ‘payung’, orientasi, dan solusi pembangunan Indonesia. Yang lain sekedar menerjemahkan sebagai dimensi ruang dan tentorial atau media pembangunan, disamping darat dan udara. Ada juga yang mengarah pada ‘romantisme’ historis pada tujuan untuk mengembalikan kejayaan kelautan yang mengacu pada kejayaan berbagai kerajaan ratusan tahun silam atau pada elegi ‘nenek moyangku seorang pelaut’. Namun dalam penjabaran praktis, belum ditemukan road-map atau skenario pembangunan yang implementatif yang mampu memberikan gambaran realistis berbasis konsensus.

Parahnya, tidak sedikit pihak termasuk yang menempati posisi kebijakan strategis di legislatif maupun eksekutif, tidak memiliki referensi yang memadai terhadap orientasi pembangunan kelautan. Mereka akhimya lebih sering memilih berkelit dalam tataran normatif dan supervisial.

Akibatnya, kebijakan dan wajah pembangunan kelautan menjadi semakin kabur, multi-interpretatif, atau eksklusif yang berujung pada perdebatan wacana yang subyektif dan melahirkan program atau keputusan prematur. Ketiadaan ‘kompas’ ini juga menyebabkan patron pembangunan kelautan cenderung bersifat eksperimentai dan situasional. Berbagai pembelajaran ‘asing’ maupun ‘lokal’ diadopsi secara parsial dan instant, sehingga meski menunjukkan kinerja dan progres, belum memberikan solusi terhadap akar masalah.

Disisi lain, realitas pembangunan dan kelembagaan kelautan yang masih dominan ‘berwarna’ perikanan, menciptakan jarak dan sekat-sekat yang membatasi ruang gerak pengembangan kelautan itu sendiri. Sehingga terkadang DKP terlihat kedodoran dan kurang ‘PD’ ketika berkutat dengan isu sentral lain.
Akibatnya, upaya mengoptimalisasi pembangunan kelautan, masih terkesan ‘kawin paksa’ dengan beragam konsep dan perspektif yang ada, berjalan lambat, dan kurang tepat sasaran. Untuk itu, konsolidasi dan konsensus untuk visi kelautan ini perlu segera menjadi pekerjaan rumah dan melewati proses konsultasi publik yang memadai. Dalam upaya ini, dukungan seluruh komponen bangsa dan stakeholders sangat dibutuhkan.

Eksistensi Negara Kepulauan
Dengan kompleksitas isu dan perspektif tersebut, keputusan Pansus RUU-KN yang menggabungkan Pertanian, Kehutanan dan Kelautan baik dengan alasan efisiensi pragmatis ataupun politis merupakan ‘ujian’ tersendiri bagi nasib negara kepulauan ini dan ‘mempertaruhkan’ masa depan masyarakat pesisir dan lingkungannya. Untuk itu, setidaknya ada tiga hal yang perlu dipahami, sehingga inisiatif kebijakan yang ada tidak kebablasan atau menciptakan kemunduran dalam pembangunan Indonesia.
Pertama, jangan sampai ‘efisiensi’ justru bermuara pada pengerdilan. Semua pihak sepakat dengan efisiensi baik secara substansial maupun pembiayaan. Prinsip small is beautiful, masih cukup relevan untuk didukung. Akan tetapi, efisiensi tanpa pemahaman terhadap substansi dan kodrat negara justru akan melahirkan ‘pengerdiian’ negara kepulauan terbesar ini. Implikasinya adalah berlanjutnya diskriminasi pembangunan yang akan makin menumpukkan kantong-kantong kemiskinan di pesisir dan pulau-pulau. Negara ini sudah cukup berduka dan menanggung ‘biaya’ yang begitu besar akibat carut-marut kebijakan yang tidak strategis. Untuk menghindari hal ini, multak dibutuhkan kesabaran berproses dan pemahaman yang memadai agar kebijakan yang diambil memberikan ruang dan kondisi yang kondusif untuk bertumbuh menjadi negara kepulauan yang efektif. Dalam hal ini, kelembagaan kelautan perlu diberikan porsi dan peran sebagai ‘lokomotif’ dalam pengentasan kemiskinan di pesisir dan kepulauan, pengetolaan sumberdaya secara berkelanjutan dan ikut berkontribusi menjawab isu dan masalah strategis bangsa lainnya.

Kedua, dibutuhkan konsistensi pada tabapan pembangunan agar dapat mencapai eksistensi negara kepulauan. Tidak dapat dipungkiri bahwa kelembagaan maupun kinerja DKP saat ini masih dominan berkutat ke urusan perikanan dibanding isu strategis lainnya. Dalam perspektif negara kepulauan, hal ini harus direvitalisasi. Untuk melakukan revitalisasi substansial ditengah ‘hiruk-pikuk’ kebijakan, perspektif, dan pemahaman yang masih berbasis daratan, kelembagaan kelautan perlu didukung untuk membangun ‘fondasi dan infrastruktur’ yang dibutuhkan bagi optimalisasi negara kepulauan. Peran Sumber Daya Manusia (SDM) kelautan yang multi-disipliner secara merata di berbagai wilayah Indonesia; formulasi dan aplikasi perencanaan dan kebijakan yang supportif, penguatan pemahaman dan orientasi pembangunan kelautan yang sinergis, serta kemitraan intensif disemua level merupakan indikator efektif yang perlu dipantau secara konsisten.

Dan ketiga, perlu disadari bahwa usia kelembagaan kelautan masih sangat belia, sehingga multak dibutuhkan pendampingan dan advokasi intensif terhadap penguatan perannya dalam upaya menegakkan visi dan misi negara kepulauan. Visi negara kepulauan ini seharusnya dikemas agar dapat menjadi tanggung jawab bersama semua pihak dan bukan urusan kementerian semata. Untuk menjamin agar prosesnya berlangsung secara efektif, pemahaman atas kondisi, realitas dan kapasitas bangsa dalam mengelolan sumberdaya kelautan menjadi sangat krusial. Keharmonisan antara visi, perencanaan, kebijakan dan kapasitas eksekusi, mutlak menjadi acuan agar tercapai kemajuan yang tidak semu.

Akhimya, pola pembangunan dan kelembagaan kelautan saat ini memang perlu dibenahi agar dapat memainkan peran yang lebih signifikan, efisien dan efektif. Namun keberadaan kelembagaan kelautan sangat dibutuhkan agar dapat secara bertahap memolarisasi berbagai inisiatif positif yang ada menuju eksistensi negara kepulauan. Untuk itu, perannya jangan justru dikerdilkan.

Ditulis oleh: M. Zulficar Mochtar  http://dfw.or.id/tes/

Tidak ada komentar: