Awal
tahun 2007 diwarnai ‘kegelisahan’ berbagai pihak yang peduli
dengan masa depan Indonesia sebagai negara kepulauan. Betapa tidak,
draft Rancangan Undang-Undang Kementerian Negara (RUU KN) pasal 13
ayat 2 yang sementara ini beredar mengindikasikan penggabungan
kelautan, kehutanan dan pertanian dalam satu kementerian. Ketua
Pansus RUU KN, Agun Gunanjar (Gatra.com, 30/11/2006) menggambarkan
bahwa RUU tersebut segera dibahas Januari dan diperkirakan rampung
pada Februari atau awal Maret 2007. Alasan efektifitas dituding
sebagai landasan pembentukan RUU KN tersebut (Lihat: Menteri Negara Dirampingkan, Seputar Indonesia, 18/1/2007),
dan dari segi konsep, materi RUU KN ini digambarkan telah final,
sesuai kondisi kebutuhan bangsa dan telah melalui uji publik di
lima wilayah yakni Medan, Surabaya, Makassar, Ambon dan Jayapura,
dimana unsur perguruan tinggi setempat selalu dilibatkan. (Lihat: Ironi Negara Kepulauan, Kompas, 19/01/2007).
Beragam diskusi bergulir dari satu tempat dan media ke yang lainnya,
dan secara sporadis mencoba memetakan dasar berpikir, proyeksi
ataupun dampak kemungkinan penggabungan tersebut.
Persoalannya tentu saja bukan pada perspektif ‘egoisme’ sektoral,
dimana praktisi dan pemerhati kelautan ingin ‘jalan sendiri’ atau
menganut ‘status quo’ terhadap kondisi sekarang. Itu disadari tidak
relevan lagi. Pendekatan multi-pihak dan keterpaduan, saat ini
telah menjadi ‘dogma’ baru daiam orientasi pembangunan kelautan,
sekalipun dalam implementasinya cenderung masih ‘tertatih-tatih’.
Fokus
sorotan yang mengemuka adalah pada [1] orientasi untuk
mempertahankan eksistensi negara kepulauan dan rasionalitas
pembangunan; [2] urgensi menebus ‘ketertinggalan’ akibat
pembangunan berperspektif daratan yang telah melahirkan kantong
kemiskinan dan degradasi lingkungan maupun sosial yang amat
memprihatinkan.
Negeri Kepulauan yang mati suri
Mayoritas kita mahfum bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan berbagai faktor strategis sosio-historis, potensi ekonomi bahari, karakteristik wilayah, serta sumberdaya alam yang melimpah. Secara ideal, status dan potensi ini harusnya dapat memberikan kontribusi riil dalam menjawab permasalahan kelautan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ironisnya, berbagai permasalahan terus menghimpit. Eksploitasi
sumberdaya terus beriangsung tanpa kendali yang efektif. Kemiskinan
dan keterbelakangan masyarakat pesisir tetap menjadi potret buram
Indonesia. Kondisi ekosistem belum memperlihatkan trend perbaikan
yang berarti. Ancaman bencana alam pesisir berupa tsunami, banjir,
gempa, dan sebagainya kian marak. Ketiadaan sarana dan fasilitas
tetap menjadi ‘lagu lama’ yang memilukan. Iklim investasi kelautan
belum kondusif. Ancaman sengketa perbatasan di pulau-pulau terluar
memerlukan penanganan khusus. Sementara pola pemanfaatan sumberdaya
dan wilayah kelautan belum fokus, serampangan dan masih tumpang
tindih.
Disisi
lain, berbagai kebijakan nasional, selalu memperikan implikasi
yang lebih parah pada masyarakat pesisir. Kenaikan Bahan Bakar
Minyak (BBM) dan harga sembako, merupakan contoh kecil yang
terus-menerus mendera.
Kalau
merujuk kebelakang, kondisi tersebut diakibatkan oleh
penganaktirian pembangunan kelautan selama tiga dekade. Sadar atau
tidak, kebijakan dan perspektif pembangunan telah mengisolasi
masyarakat pesisir dan kepulauan dari ‘hak’ untuk ikut menikmati
fasilitas pembangunan. Keterbelakangan dan penderitaan masyarakat
pesisir dan kondisi lingkungan yang mengenaskan adalah ‘buah’ dari
ketidakpedulian dan ketidakpahaman akan ‘kodraf Indonesia sebagai
negara kepulauan. Pada masa itu, kelautan paling tinggi
diterjemahkan secara sempit sebagai sektor perikanan semata.
Keputusan strategis Presiden KH. Abdurrahman Wahid yang membentuk
kelembagaan kelautan tahun 1999 silam, ‘membuka’ kesadaran untuk mulai
berpaling dan peduli pada kondisi pesisir dan laut. Terobosan
kebijakan ini, langsung atau tidak, mulai mengungkap sisi yang
nyaris tidak pemah disentuh serta mengakselerasi kepedulian untuk
menggeser pembangunan ke arah yang lebih proporsional yang mengacu
pada karakteristik bangsa. Terlepas dari seberapa efektif
kelembagaan kelautan berkarya, ‘gong’ pembangunan kelautan mulai
bergema, baik di pusat maupun daerah.
Silang perspektif pembangunan kelautan
Satu hal yang masih selalu menggantung dan akhimya lebih sering berakhir sebagai wacana adalah arah dan visi pembangunan kelautan. Sebagian pihak memandang kelautan dalam kacamata sektoral. Ada pula yang memahaminya sebagai ‘payung’, orientasi, dan solusi pembangunan Indonesia. Yang lain sekedar menerjemahkan sebagai dimensi ruang dan tentorial atau media pembangunan, disamping darat dan udara. Ada juga yang mengarah pada ‘romantisme’ historis pada tujuan untuk mengembalikan kejayaan kelautan yang mengacu pada kejayaan berbagai kerajaan ratusan tahun silam atau pada elegi ‘nenek moyangku seorang pelaut’. Namun dalam penjabaran praktis, belum ditemukan road-map atau skenario pembangunan yang implementatif yang mampu memberikan gambaran realistis berbasis konsensus.
Satu hal yang masih selalu menggantung dan akhimya lebih sering berakhir sebagai wacana adalah arah dan visi pembangunan kelautan. Sebagian pihak memandang kelautan dalam kacamata sektoral. Ada pula yang memahaminya sebagai ‘payung’, orientasi, dan solusi pembangunan Indonesia. Yang lain sekedar menerjemahkan sebagai dimensi ruang dan tentorial atau media pembangunan, disamping darat dan udara. Ada juga yang mengarah pada ‘romantisme’ historis pada tujuan untuk mengembalikan kejayaan kelautan yang mengacu pada kejayaan berbagai kerajaan ratusan tahun silam atau pada elegi ‘nenek moyangku seorang pelaut’. Namun dalam penjabaran praktis, belum ditemukan road-map atau skenario pembangunan yang implementatif yang mampu memberikan gambaran realistis berbasis konsensus.
Parahnya, tidak sedikit pihak termasuk yang menempati posisi kebijakan
strategis di legislatif maupun eksekutif, tidak memiliki referensi
yang memadai terhadap orientasi pembangunan kelautan. Mereka
akhimya lebih sering memilih berkelit dalam tataran normatif dan
supervisial.
Akibatnya, kebijakan dan wajah pembangunan kelautan menjadi semakin
kabur, multi-interpretatif, atau eksklusif yang berujung pada
perdebatan wacana yang subyektif dan melahirkan program atau
keputusan prematur. Ketiadaan ‘kompas’ ini juga menyebabkan patron
pembangunan kelautan cenderung bersifat eksperimentai dan
situasional. Berbagai pembelajaran ‘asing’ maupun ‘lokal’ diadopsi
secara parsial dan instant, sehingga meski menunjukkan kinerja dan
progres, belum memberikan solusi terhadap akar masalah.
Disisi
lain, realitas pembangunan dan kelembagaan kelautan yang masih
dominan ‘berwarna’ perikanan, menciptakan jarak dan sekat-sekat
yang membatasi ruang gerak pengembangan kelautan itu sendiri.
Sehingga terkadang DKP terlihat kedodoran dan kurang ‘PD’ ketika
berkutat dengan isu sentral lain.
Akibatnya, upaya mengoptimalisasi pembangunan kelautan, masih terkesan
‘kawin paksa’ dengan beragam konsep dan perspektif yang ada,
berjalan lambat, dan kurang tepat sasaran. Untuk itu, konsolidasi
dan konsensus untuk visi kelautan ini perlu segera menjadi
pekerjaan rumah dan melewati proses konsultasi publik yang memadai.
Dalam upaya ini, dukungan seluruh komponen bangsa dan stakeholders sangat dibutuhkan.
Eksistensi Negara Kepulauan
Dengan kompleksitas isu dan perspektif tersebut, keputusan Pansus RUU-KN yang menggabungkan Pertanian, Kehutanan dan Kelautan baik dengan alasan efisiensi pragmatis ataupun politis merupakan ‘ujian’ tersendiri bagi nasib negara kepulauan ini dan ‘mempertaruhkan’ masa depan masyarakat pesisir dan lingkungannya. Untuk itu, setidaknya ada tiga hal yang perlu dipahami, sehingga inisiatif kebijakan yang ada tidak kebablasan atau menciptakan kemunduran dalam pembangunan Indonesia.
Dengan kompleksitas isu dan perspektif tersebut, keputusan Pansus RUU-KN yang menggabungkan Pertanian, Kehutanan dan Kelautan baik dengan alasan efisiensi pragmatis ataupun politis merupakan ‘ujian’ tersendiri bagi nasib negara kepulauan ini dan ‘mempertaruhkan’ masa depan masyarakat pesisir dan lingkungannya. Untuk itu, setidaknya ada tiga hal yang perlu dipahami, sehingga inisiatif kebijakan yang ada tidak kebablasan atau menciptakan kemunduran dalam pembangunan Indonesia.
Pertama,
jangan sampai ‘efisiensi’ justru bermuara pada pengerdilan. Semua
pihak sepakat dengan efisiensi baik secara substansial maupun
pembiayaan. Prinsip small is beautiful, masih cukup relevan
untuk didukung. Akan tetapi, efisiensi tanpa pemahaman terhadap
substansi dan kodrat negara justru akan melahirkan ‘pengerdiian’
negara kepulauan terbesar ini. Implikasinya adalah berlanjutnya
diskriminasi pembangunan yang akan makin menumpukkan
kantong-kantong kemiskinan di pesisir dan pulau-pulau. Negara ini
sudah cukup berduka dan menanggung ‘biaya’ yang begitu besar akibat
carut-marut kebijakan yang tidak strategis. Untuk menghindari hal
ini, multak dibutuhkan kesabaran berproses dan pemahaman yang
memadai agar kebijakan yang diambil memberikan ruang dan kondisi yang
kondusif untuk bertumbuh menjadi negara kepulauan yang efektif. Dalam
hal ini, kelembagaan kelautan perlu diberikan porsi dan peran
sebagai ‘lokomotif’ dalam pengentasan kemiskinan di pesisir dan
kepulauan, pengetolaan sumberdaya secara berkelanjutan dan ikut
berkontribusi menjawab isu dan masalah strategis bangsa lainnya.
Kedua,
dibutuhkan konsistensi pada tabapan pembangunan agar dapat
mencapai eksistensi negara kepulauan. Tidak dapat dipungkiri bahwa
kelembagaan maupun kinerja DKP saat ini masih dominan berkutat ke urusan
perikanan dibanding isu strategis lainnya. Dalam perspektif negara
kepulauan, hal ini harus direvitalisasi. Untuk melakukan
revitalisasi substansial ditengah ‘hiruk-pikuk’ kebijakan,
perspektif, dan pemahaman yang masih berbasis daratan, kelembagaan
kelautan perlu didukung untuk membangun ‘fondasi dan infrastruktur’
yang dibutuhkan bagi optimalisasi negara kepulauan. Peran Sumber
Daya Manusia (SDM) kelautan yang multi-disipliner secara merata di
berbagai wilayah Indonesia; formulasi dan aplikasi perencanaan dan
kebijakan yang supportif, penguatan pemahaman dan orientasi
pembangunan kelautan yang sinergis, serta kemitraan intensif disemua
level merupakan indikator efektif yang perlu dipantau secara
konsisten.
Dan ketiga,
perlu disadari bahwa usia kelembagaan kelautan masih sangat belia,
sehingga multak dibutuhkan pendampingan dan advokasi intensif
terhadap penguatan perannya dalam upaya menegakkan visi dan misi negara
kepulauan. Visi negara kepulauan ini seharusnya dikemas agar dapat
menjadi tanggung jawab bersama semua pihak dan bukan urusan
kementerian semata. Untuk menjamin agar prosesnya berlangsung
secara efektif, pemahaman atas kondisi, realitas dan kapasitas
bangsa dalam mengelolan sumberdaya kelautan menjadi sangat krusial.
Keharmonisan antara visi, perencanaan, kebijakan dan kapasitas
eksekusi, mutlak menjadi acuan agar tercapai kemajuan yang tidak
semu.
Akhimya, pola pembangunan dan kelembagaan kelautan saat ini memang
perlu dibenahi agar dapat memainkan peran yang lebih signifikan,
efisien dan efektif. Namun keberadaan kelembagaan kelautan sangat
dibutuhkan agar dapat secara bertahap memolarisasi berbagai
inisiatif positif yang ada menuju eksistensi negara kepulauan.
Untuk itu, perannya jangan justru dikerdilkan.
Ditulis oleh: M. Zulficar Mochtar http://dfw.or.id/tes/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar