14 Desember, 2012

Ikan Subsidi dan “Degrowth” Ekonomi Perikanan

Kebijakan ekonomi perikanan sampai saat ini belum menemukan suatu konsep yang benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat dan masa depan bangsa dan negara.

Menurut catatan penulis, berbagai kebijakan ekonomi perikanan mulai dari Protekan 2003, Gerbang Mina Bahari, Revitalisasi Perikanan, Minapolitan dan Blue Economic saat ini, semuanya berorientasi pada kepentingan asing, terutama dalam memenuhi kebutuhan negara-negara maju akan sumber daya ikan yang berkualitas tinggi.

Hal ini tercermin dari target indikator kinerja utama Kementerian Kelautan dan Perikanan yang mengedepankan peningkatan volume ekspor ikan dan produk perikanan, dibandingkan perbaikan dan peningkatan pasar dalam negeri. Lebih prihatin lagi, pasokan ikan untuk memenuhi kebutuhan negara-negara maju tersebut difasilitasi dengan BBM bersubsidi.

Penggunaan BBM bersubsidi untuk usaha perikanan saat ini diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu.

Dalam lampiran perpres tersebut dijelaskan bahwa usaha perikanan termasuk yang memiliki yang dimaksud dengan usaha perikanan tersebut adalah (a) Nelayan yang menggunakan kapal ikan Indonesia dengan ukuran maksimum 30 GT dan diberikan kebutuhan BBM paling banyak 25 (dua puluh lima) kiloliter/bulan untuk kegiatan penangkapan ikan; (b) Nelayan yang menggunakan kapal ikan Indonesia dengan ukuran di atas 30 GT dan diberikan kebutuhan BBM paling banyak 25 (dua puluh lima) kiloliter/bulan untuk kegiatan penangkapan ikan; (c) Pembudi daya-ikan kecil yang menggunakan sarana pembudidayaan ikan untuk operasional perbenihan dan pembesaran.

Tingginya kepentingan asing di sektor perikanan tercermin juga dari tingginya nilai investasi asing di sektor kelautan dan perikanan. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM 2012) menunjukan bahwa sampai triwulan 2 2012, investasi sektor perikanan 94,11 persen dikuasai asing.
Bahkan, dalam dua tahun terakhir (2010 dan 2011) investasi asing di sektor perikanan mencapai di atas 99 persen. Bahkan, informasi di lapangan menunjukkan kapal-kapal perikanan yang bersumber dari investasi asing tersebut semuanya berbendera Indonesia, hal ini dimaksudkan supaya mereka bisa menikmati BBM bersubsidi yang disediakan pemerintah.

Subsidi perikanan (BBM, pakan, kapal, dll) sampai saat ini penulis masih memandang sangat diperlukan untuk mendukung usaha perikanan nasional, khususnya usaha perikanan kecil dan menengah (UMKM Perikanan).

Dengan adanya subsidi perikanan tersebut diharapkan ikan-ikan yang dihasilkan oleh subsidi perikanan tersebut dapat seratus persen dimanfaatkan dan dinikmati masyarakat Indonesia sendiri, melalui ketersediaan ikan-ikan kualitas baik dengan harga subsidi.

Namun demikian, yang terjadi sampai saat ini ikan-ikan hasil tangkapan nelayan dan perusahaan perikanan skala industri yang telah memanfaatkan BBM bersubsidi sebagian besar diekspor ke pasar-pasar negara maju, seperti Jepang, Uni Eropa dan Amerika Serikat, terutama untuk ikan-ikan kualitas 1 dan 2.

Hasil survei lapangan penulis di beberapa lokasi sentra produksi perikanan menunjukkan bahwa ikan-ikan berkualitas 1 dan 2 rata-rata diekspor ke Jepang, Amerika dan Uni Eropa, sementara ikan kualitas 3, 4 dan ikan asin rata-rata untuk konsumsi restoran dan pasar lokal.
Artinya bahwa selama ini pemerintah secara sistematis telah berperan dalam menyediakan pasokan kebutuhan ikan negara maju dengan memanfaatkan uang rakyat.

Peningkatan Gizi Rakyat
Polanco (2012) menyatakan bahwa konsumsi ikan masyarakat merupakan fungsi dari pendapatan yang dapat dibelanjakan dan harga ikan. Dengan meningkatnya pendapatan atau menurunnya harga ikan maka akan berdampak positif terhadap peningkatan konsumsi ikan masyarakat.
Peran subsidi perikanan adalah untuk menurunkan biaya produksi yang harus ditanggung para nelayan dan pengusaha perikanan. Biaya produksi perusahaan perikanan 60-70 persen merupakan biaya untuk bahan bakar minyak.

Dengan demikian, seharusnya ikan-ikan segar yang berkualitas bagus yang dihasilkan kapal-kapal perikanan bersubsidi tersebut dipasarkan di dalam negeri dengan harga terjangkau (harga subsidi). Ini karena anggaran subsidi BBM tersebut berasal dari uang rakyat, jadi sudah sepantasnya juga ikan hasil produksinya dinikmati rakyat Indonesia.

Selain itu, ketersediaan ikan subsidi berkualitas baik tersebut diperlukan guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang saat ini kondisi gizinya sangat mengkhawatirkan, terutama sumber daya manusia di sentra-sentra produksi ikan.

Dokumen Bappenas (2010) menunjukkan bahwa bayi yang kekurangan gizi masih sangat tinggi, terutama di provinsi-provinsi berbasis sektor kelautan dan perikanan.

Misalnya Maluku (27,8 persen), Maluku Utara (22,8 persen), Nusa Tenggara Timur (33,6 persen), Nusa Tenggara Barat (24,8 persen), Sulawesi Tenggara (27,6 persen), Papua (21,2 persen), Papua Barat (23,2 persen), Gorontalo (25,4 persen), Riau (21,4 persen), Kalimantan Barat (22,5 persen), dan Kalimantan Timur (19,3 persen).

Berdasarkan kondisi tersebut sudah saatnya ikan-ikan yang dihasilkan dari subsidi perikanan dapat dinikmati seluruh masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah, yaitu pertama reorientasi kebijakan ekonomi perikanan dari pertumbuhan volume ekspor ikan (growth) ke penurun volume ekspor (degrowth).

Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 25B Ayat (2) UU No 45 Tahun 2009 tentang Perubahan UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang secara tegas menyatakan bahwa pengeluaran hasil produksi usaha perikanan ke luar negeri (ekspor) dilakukan apabila produksi dan pasokan di dalam negeri telah mencukupi kebutuhan konsumsi nasional.

Kedua, pemerintah harus menyediakan aturan yang tegas terkait siapa saja yang dapat memanfaatkan BBM bersubsidi di sektor perikanan. Industri perikanan yang akan memanfaatkan BBM bersubsidi diharuskan membuat nota kesepahaman agar ikan-ikan yang dihasilkan industri tersebut 100 persen untuk kepentingan masyarakat Indonesia.

Industri perikanan nasional harus didorong untuk berkomitmen dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang baik melalui ketersediaan ikan-ikan berkualitas gizi yang baik dengan harga yang terjangkau. Sementara itu, kapal-kapal asing berbendera Indonesia dilarang 100 persen menggunakan BBM bersubsidi.

Ketiga, tindak tegas para pelaku ekspor dan impor ikan ilegal. Data UN-Comtrade (2011) mengindikasikan semakin maraknya ekspor ikan tuna ilegal dari Indonesia ke Thailand. Pada 2000 tercatat dugaan ekspor ikan tuna Albacore secara ilegal mencapai 52 persen dari total volume ekspor ikan tuna Albacore Indonesia ke Thailand, yaitu mencapai 271.419 kg dengan nilai mencapai US$ 1.070.630.

Sementara itu, pada 2010, dugaan ekspor ikan tuna Albacore ilegal ke Thailand semakin meningkat sampai 69,20 persen dari total volume ekspor ikan tuna Albacore Indonesia ke Thailand. Volume ekspor ikan tuna Albacore ilegal dari Indonesia ke Thailand tahun 2010 diperkirakan mencapai 2.352.724 kg dengan nilai mencapai US$ 8.326.839.

Jadi, pemerintah perlu menyusun kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat dan masa depan bangsa melalui “Degrowth” Ekonomi Perikanan dan Gerakan Makan Ikan Segar Produksi Dalam Negeri.
 
*Penulis adalah Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim. (Sinar Harapan) 


Tidak ada komentar: