17 November, 2012

Krisis Eropa dan Perikanan Kita

M Riza Damanik ; Sekretaris Jenderal KIARA;
Wakil Indonesia pada Komite Internasional-Forum Rakyat Asia Eropa (IOC AEPF)
SINAR HARAPAN, 06 Agustus 2012

Di tengah krisis ekonomi yang melanda negara-negara di Eropa, status sumber daya perikanan Indonesia kian memprihatinkan. Tak ubahnya masa prakemerdekaan: Indonesia ditempatkan sebagai pemasok bahan baku (row materials) ke negara-negara Eropa, termasuk produk perikanan.
Melalui kebijakan pengurangan hingga penghapusan tarif impor ikan misalnya, Uni Eropa berhasil mendatangkan lebih dari 70 persen bahan baku perikanan dari berbagai negara produsen, termasuk 115 komoditas perikanan non-olahan asal Indonesia.
Dirincikan, komoditas tersebut, di antaranya kepiting, lobster, belut, kerang-kerangan, dan ikan air tawar (Commission Regulation No 1832/2002 tanggal 1 Agustus 2002).
Merugi
Beda halnya dengan ekspor perikanan dari negara-negara Eropa, seperti Inggris, Belanda, Perancis, dan Norwegia ke Indonesia. Sebagian besar komoditasnya berupa produk ikan olahan tidak terbatas pada ikan belahan (fish fillet); minyak dan lemak ikan; bahan umpan dan pupuk (Sidatik, 2010).
Belakangan, Indonesia juga tidak mendapatkan fasilitas transfer teknologi dan pengetahuan yang mudah dan murah, seperti yang sebelumnya diharapkan. Dalam hal peningkatan pengawasan dan pengelolaan sumber daya ikan atau INDESO (Infrastructure Development of Space Oceanography) misalnya, Indonesia harus membayar sedikitnya US$ 30 juta dalam bentuk utang ke Pemerintah Prancis.
Kondisi demikian telah menyebabkan sumber daya perikanan Indonesia kian cepat terkuras. Industri pengolahan ikan dalam negeri semakin terpuruk sejalan dengan langkanya bahan baku ikan di Tanah Air. Bahkan, alokasi pangan perikanan untuk konsumsi rakyat tidak lagi menjadi prioritas.
Ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa volume ikan impor Indonesia terus meningkat. Jika tahun 2010 volumenya mencapai 300.000 ton dan 2011 lebih dari 400.000 ton, untuk 2012, volume impor diperkirakan akan menembus angka 600.000 ton.
Setidaknya, berdasarkan data BPS (2012) yang diolah KIARA hingga kwartal pertama tahun 2012, volume impor ikan Indonesia sudah lebih dari 20.000 ton.
Sekitar 20 jenis produk perikanan yang diimpor tersebut merupakan komoditas yang dapat ditemui di perairan Indonesia, di antaranya cumi-cumi, udang, dan tuna. Pada kondisi tersebutlah kemiskinan kian menggurita di kantung-kantung pesisir dan pulau-pulau kecil.
Berdaulat
Kelimpahan sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia mengindikasikan perlunya kerja besar dan sungguh-sungguh seluruh komponen bangsa, termasuk membangun kemitraan dengan negara-negara sahabat.
Namun “kemitraan” yang dimaksud harus diletakkan dalam upaya melunasi kewajiban penyelenggara negara memenuhi tugas konstitusinya; melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahtaan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, termasuk terlibat dalam menjaga perdamaian dunia.
Dalam kondisi demikian itulah pemerintah dengan pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu mengoreksi maraknya kerja sama ekonomi, baik bilateral maupun multilateral. Ini juga termasuk kemitraan ekonomi dengan Uni Eropa dalam kerangka Comprehensive Economy Partnership Agreement (CEPA).
Belajar dari perjanjian sebelumnya dengan China dan Jepang, Indonesia justru tidak mendapat banyak manfaat, kecuali sekadar menjadi pasar potensial bagi produk perikanan mereka (China dan Jepang). Karena itu, meski sudah sangat terlambat, pemerintah perlu fokus mempercepat pembenahan dan penguatan tiga modalitas perikanan nasional.
Pertama, modalitas perikanan rakyat. Pada kenyataannya, lebih dari 91 persen pasokan pangan perikanan Indonesia bersumber dari kegiatan perikanan tradisional.
Karena itu, pemberian insentif terhadap subsektor perikanan yang satu ini menjadi sangat strategis, selain dalam rangka menyejahterakan dan memenuhi akses rakyat terhadap sumber daya pangan berkualitas (baca: ikan). Pemberian insentif juga dapat meningkatkan daya saing produk perikanan nasional, di tengah membajirnya ikan impor.
Kedua, modalitas industri dalam negeri. Boleh jadi prasyarat mutlak bangkitnya industri perikanan dalam negeri adalah ketersediaan bahan baku ikan yang berkualitas dan berkelanjutan.
Karena itu, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang diikuti pengawasan melekat untuk menghentikan ekspor ikan non-olahan. Dengan sendirinya pendapatan negara dari sektor perikanan akan meningkat, sejalan dengan bertambahnya lapangan pekerjaan dan tumbuh kembangnya kreativitas rakyat.
Terakhir, modalitas pasar domestik. Pemerintah perlu mengintensifkan kampanye dan pendidikan publik untuk mengonsumsi ikan sehat: dari perairan Indonesia dan tangkapan nelayan tradisional Indonesia.
Modalitas ini dapat memicu lahirnya kesadaran kolektif dan sikap kritis publik. Kesadaran ini pula nantinya dapat mempersempit perdagangan ikan hasil kejahatan perikanan, seperti pencurian, pengeboman, pembiusan, dan trawl. Pemerintah perlu menyegerakan ketiganya, agar krisis ekonomi Eropa tidak justru membebani laut Indonesia. ●
 

Tidak ada komentar: