Mengapa praktik Perikanan ‘Illegal, Unreported,
Unregulated (IUU)’ terus berlangsung? Apa dan bagaimana memberantasnya
ketika terdapat banyak lapis-lapis pelaku dan unsur negara lain yang
terlibat?
Terus berlangsung
Minggu kedua Februari ini, Gugus Keamanan Laut (Guskamla) Armada KRI
Sigorot mengamankan kapal ikan asing di Selat Philip, perairan
Indonesia, (8/2). Di kapal itu terdapat berbagai macam bendera negara di
antaranya, Indonesia, Singapura dan Taiwan. Kapal bernama Sunrise Glory
itu berawak empat orang asal Taiwan.
Sebelumnya, pada 24 Januari 2018, Kementerian Kelautan Perikanan
(KKP) melalui Pangkalan Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan
(PSDKP) Lampulo, Banda Aceh, menangkap kapal ikan berbendera Malaysia.
Petugas mengamankan empat nelayan Myanmar yang menangkap ikan tanpa
izin. Mereka mencuri ikan di perairan timur Aceh atau sekitar 20 mil
dari Langsa. Kapal dengan nama SLFA 4935 itu berkapasitas 29 gross ton
dan mempekerjakan empat warga Myanmar.
Pada November tahun lalu, unit kerja KKP menangkap kapal perikanan
asing berbendera Timor Leste, Fu Yuan Yu 831. Di Maret 2017, Kapal
Pengawas Perikanan Hiu Macan Tutul 02 menangkap empat kapal perikanan
berbendera Vietnam di sekitar perairan Natuna, Kepulauan Riau. Empat
kapal yang ditangkap terdiri atas KH 91009 TS, KH 96056 TS, KH 97722 TS,
dan KH95581 TS, jumlah Anak Buah Kapal (ABK) sebanyak 45 orang
berkewarganegaraan Vietnam.
Terkait kejahatan via laut ini, tahun lalu, kita digegerkan pula oleh
penangkapan Kapal Wanderlust yang membawa 1 ton sabu yang coba
didaratkan di pesisir Banten.
Jauh sebelumnya, di tahun 2015, kapal pengangkut ikan berbendera
Thailand, MV. Silver Sea 2 ditangkap KRI Teuku Umar 385 di sekitar
perairan Sabang, Aceh pada tanggal 12 Agustus 2015 karena melakukan
kegiatan transshipment dan banyak lagi kejahatan serupa.
Untuk kesekian kalinya, praktik kejahatan skala besar dipertontonkan dari lautan.
***
Catatan-catatan di atas menjadi bukti bahwa Indonesia adalah target
utama pelaku kejahatan internasional, antar negara. Bukan hanya
obat-obatan, tetapi peredaran senjata, human trafficking hingga
pencurian ikan dan transshipment.
Kejahatan yang nampaknya takkan berhenti meski Pemerintah melalui
Kementerian Kelautan dan Perikanan telah gigih melakukan patroli dan
penegakan hukum hingga penenggelaman kapal.
Singkat kata, laut kita tidak pernah sepi dari kejahatan. Perlawanan
Negara kepada penjahat lintas negara ini harus terus menerus
digelorakan.
Lalu apa yang bisa dilakukan Indonesia sebagai Negara berdaulat?
Sebagai bagian dari percaturan masyarakat internasional yang selalu
ingin menegakkan marwah Negara di antara negara-negara berdaulat lainnya
terkait kejahatan di laut ini.
Apa yang harus dilakukan?
Sebuah rilis tertanggal 13 Oktober tahun 2016 yang bagikan oleh
organisasi ‘Pembangunan dan Kerjasama Ekonomi (OECD)’ mengingatkan
banyak kalangan bahwa kejahatan antar negara via laut kian masif dan
perlu diberantas.
OECD telah merangkum isu dan solusi berdasarkan pengalaman dan
masukan dari para peserta yang terdiri dari praktisi hukum lingkunga,
otoritas perikanan dan perwakilan Pemerintah serta NGO agar perang
terhadap kejahatan di laut ini terus berkobar dan berjalan efektif.
(1) Kesungguhan Negara untuk memperkuat dan menjalankan UU yang ada.
Setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan.
Pertama adalah membangun fondasi atau kerangka hukum yang kuat
sebagai faktor kunci dalam menegakkan aturan perikanan serta kejahatan
serupa di laut, penyiapan kode pidana yang disepakati, menyiapkan
peraturan pajak sebab ini berkaitan dengan usaha perikanan, menyiapkan
undang-undang anti-korupsi terkait kejahatan di laut, undang-undang
ketenagakerjaan, dan hukum terkait kejahatan terorganisir.
Pilihan kedua adalah penegakan hukum yang efektif tanpa pandang buluh
atau tidak mentoleransi sedikitpun. Upaya ini dilakukan dengan
mendayagunakan jenis undang-undang yang ada di negara masing-masing
untuk melawan pola bisnis kejahatan di laut.
“Hukum tak boleh diperjual belikan,” begitu kata Menteri Susi pada banyak kesempatan.
Negara-negara yang berkaitan dengan wilayah kejadian harus bekerjasama dengan mengacu pada tanggung jawab, baik sebagai ‘flag states’, negara pantai, negara tujuan pasar atau negara pelabuhan bahkan dengan warga negaranya.
Untuk menegakkan aturan ini, Negara yang selalu menjadi korban
harusnya jeli melihat kesenjangan dalam undang-undang yang ada sebab
bisa saja dimanfaatkan oleh pelaku dengan melihat celah yang ada.
Kejahatan bisa terjadi pada ruas-ruas rantai usaha. Dari kapal di
lautan, rantai pasokan, sumber logistik, hingga rantai konsumen.
Prosedur usaha perikanan (sumber: FAO)
Pada beberapa kesempatan, Menteri Susi,
sebagai misal, menyebut bahwa nelayan-nelayan asing ini jeli juga,
mereka kerap melepas pancing longline di ZEE NKRI dan dengan antengnya
menarik tali pancingnya yang berkilo-kilometer masuk ke wilayah teritori
mereka.
Oleh sebab itu, anjuran para peserta pertemuan tersebut adalah, semua
pihak seharusnya dapat saling membantu dengan mendorong proses
transparansi terkait operasi mereka. Perlu mengetahui cara mereka
beroperasi serta berbagi informasi tentang di bagian mana kejahatan
perikanan sering terjadi.
Karena kompleksitas dan panjangnya mata rantai perdagangan
internasional utamanya untuk produk perikanan maka disarankan bahwa
langkah-langkah yang ditempuh harus disesuaikan dengan hukum yang
berlaku di negara terjadinya insiden, memperhatikan tata cara dan
kapasitas pemerintahan negara.
(2) Membangun dan memperbaiki kerjasama antar instansi
Mereka menganggap bahwa tidak ada satu otoritas pun yang memiliki
mandat menyeluruh atau sepenuhnya terkait penanganan kejahatan di laut.
Yang namanya usaha perikanan jalinan dan muaranya sangat rumit dan laus.
Melawan kejahatan perikanan membutuhkan kerja sama yang kuat, antara
polisi, jaksa dan pengelola perikanan dalam suatu negara maupun lintas
negara demi mengatasi kejahatan transnasional tersebut.
Hal di atas juga berkaitan dengan perlunya mempunyai kerangka kerja yang dapat menjadi payung kebijakan untuk semua.
Dengan kerjasama maka akan memudahkan proses pemantauan, pengendalian
dan kegiatan penegakan hukum. Dengan itu pula dapat mengurangi biaya
lintas negara, lintas perbatasan. Perlu diketahui bahwa upaya penuntutan
pelaku illegal juga memakan waktu lama sehingga perlu kerjasama.
Hal lain yang perlu dipahami adalah urusan yurisdiksi pada beberapa
negara kadang berbeda, baik dalam mengumpulkan data, maupun informasi
yang relevan lainnya dalam membantu proses penyelidikan. Kendalanya
adalah otoritas penegak hukum memperoleh mandat terbatas untuk dapat
mendayagunakan informasi yang ada.
(3) Terus bekerjasama dengan masyarakat atau organisasi internasional
Sejauh ini, beberapa pola kemitraan telah berjalan dengan baik
seperti antara OECD, FAO, UNODC, WCO, INTERPOL dan RFMO. Dengan
kerjasama maka akan memudahkan upaya memerangi tindakan illegal di
lautan, kegiatan perikanan yang tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU)
seperti melalui model perjanjian terkait pelabuhan perikanan, Konvensi
PBB melawan Kejahatan Terorganisir Transnasional.
Indonesia belakangan ini giat bekerjasama dengan Global Fishing Watch
untuk melacak pergerakan kapal-kapal melalui pantauan satelit.
(4) Pelibatan pemangku kepentingan secara luas.
Beberapa pihak seperti swasta, pengolah makanan laut, layanan
penyedia pembiayaan usaha perikanan, seharusnya dilibatkan dan mengambil
tanggung jawab yang lebih besar untuk memastikan bahwa kegiatan yang
diusulkan tidak berkaitan dengan kejahatan tersebut.
(5) Menagih kesadaran dan kesepahaman antar negara.
Komitmen politik dari pemimpin tertinggi sangat dibutuhkan dalam
memberikan kontribusi signifikan untuk memerangi kejahatan di sektor
perikanan.
Apa yang dilakukan oleh Indonesia sebagai misalnya, layak menjadi
contoh sebab pemberantasan IUUF merupakan refleksi dari kemauan politik
yang kuat dari Pemerintahan Jokowi-JK.
Memasukkan upaya penegakan hukum kejahatan di laut ke dalam ranah
politik dapat membantu meningkatkan kesadaran akan kerusakan yang
ditimbulkan termasuk biaya yang digunakan dalam menjalankan kejahatan
perikanan tersebut.
Negara-negara lain sejatinya bisa belajar dari negara yang telah
berhasil menegakkan aturan ini. Mereka bisa belajar dari yang sudah
‘berpengalaman’ serta belajar bagaimana menangani kegiatan ini.
Pada isu ini, Pemerintah harus terus menerus berinvestasi dalam
meningkatkan sumber daya manusia yang diharapkan dapat melakukan
investigasi terkait kejahatan penghindaran pajak dan kejahatan lainnya
di sektor perikanan.
Pandangan para peserta
Menurut Antonia Leroy, dari OECD, kejahatan perikanan biasa sejatinya
berbeda dengan praktik IUUF yang lebih luas. IUUF beririsan dengan
ragam kejahatan lainnya seperti perdagangan manusia, penyelundupan
narkoba, korupsi dan penggelapan pajak bahkan bersentuhan dengan alur
pendanaan terorisme.
Menurutnya, untuk memberantas IUUF perlu menjadi tujuan bersama,
seperti yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (SDG) bagian 14.4, yang secara khusus
menyerukan diakhirinya IUUF. Baginya, memberantas IUUF berkaitan dengan
upaya pemberantasan kemiskinan, kelaparan dan perbaikan tata kelola
Pemerintahan.
IUUF adalah kejahatan ekonomi dengan selera keuntungan berlipat,
tentang jalan gelap pembiayaan bisnis antar negara dan ini berkaitan
dengan kualitas hukum dan perundang-undangan di masing-masing negara.
Menurut Leroy, investigasi kejahatan ekonomi sangat dibutuhkan pada
usaha perikanan antar negara sebab ini bisa jadi berkaitan dengan
praktik pencucian uang, korupsi, kejahatan pajak dan kejahatan
penggelapan laporan keuangan.
Investigasi keuangan meliputi praktik usaha, penyelenggara usaha,
pekerja hingga jalur operasi dan ini bisa mengungkap penangkapan terkait
IUUF.
Eve De Coning, dari Kementerian Perdagangan, Industri dan Perikanan
Norwegia menyatakan bahwa bahwa IUUF dan kejahatan perikanan adalah dua
konsep yang terpisah. Pemerintah Norwegia mendirikan Norwegian National
Advisory Group terkait Kejahatan Perikanan dan Perikanan Terorganisir,
yang mencakup semua otoritas terkait di sepanjang mata rantai nilai
bisnis ini.
Norwegia juga menyadari perlunya kerjasama operasional, terutama
terkait distribusi informasi, sebab hal ini sangat sulit dilakukan jika
hanya satu negara yang giiat. Menurutnya ini bukan soal kepercayaan saja
tetapi berkaitan dengan hal-hal sensitif misalnya, azas praduga tak
bersalah.
Poinnya adalah bahwa cara kerja dalam melakukan investigasi memiliki
ciri khas berbeda antara investigasi kriminal biasa dan perikanan. Ada
masalah pada kebijakan berkaitan alokasi sumber daya dan kerjasama antar
agen. Kerjasama antar negara sangat penting tetapi tak mudah dilakukan.
Mónica Corrales, Sekjen Perikanan Spanyol menyatakan bahwa kebijakan
Pemerintah Spanyol dalam memberantas IUUF adalah dengan meningkatkan
kerjasama internasional dan menguatkan kerangka operasi.
“Spanyol sangat berkomitmen dalam melawan IUUF sebab relevan dengan
poin SDG 14.4. Pada Desember 2014, Spanyol telah membentuk kerangka
kerja hukum dengan amandemen Peraturan Perikanan Spanyol No. 3/2001
dengan penekanan pada penguatan pengawasan dan pemeriksaan pasar
perikanan. Termasuk memberikan sanksi pada perusahaan perikanan bagi
yang terjerat kasus. Sanksi misalnya pencabutan subsidi.
Sementara itu, Suyeon Kim, dari Kementerian Kelautan dan Perikanan
Korea Selatan menyatakan bahwa Pemerintahnya sedang memperkuat upaya
perlawanan pada IUUF.
Tahun 2013, Korea meretas upaya penerapan kerangka kerja dengan
mengamandemen peraturan terkait ‘DWFD’. Korea telah mengubah dengan
memperbaiki kontrol terhadap pelabuhan, memberi sanksi pada perusahaan
yang membawa produk perikanan illegal masuk ke pasar Korea.
“Korea juga memperbaiki sistem pengelolaan kapal dengan memperbaiki
pemantauan kapal. Dengan kerjasama internasional, Korea ikut serta
membangun jaringan dengan RFMOs, organisasi internasional dan antar
negara melalui sharing informasi, Pendidikan dan pelatihan dalam
mencegah IUUF serta kerjasama dengan pihak industri perikanan,” begitu
poinnya.
Salah satu poin penting di lokakarya itu adalah perlunya menjamin transparansi di hulu hilir usaha perikanan.
Sebastian Wegner, dari Fisheries Transparency Initiative (FITI )
menyatakan bahwa transparansi adalah salah satu perangkat yang dapat
digunakan dalam memberantas IUUF.
The Fisheries Transparency Initiative (FITI) adalah insiatif global
yang bertujuan untuk meningkatkan adopsi perikanan bertanggungjawab
melalui transparasi dan partisipasi. Ini merupakan inisiftaif sukarela
dari beberapa negara anggota.
Untuk itu, negara-negara anggota FITI akan menerbitkan informasi
terkait “akses ke perikanan laut”. Ini meliputi siapa yang berhak
menangkap, berapa yang harus dibayar untuk dapat izin menangkap, dan
berapa yang dapat dieskploitasi.
“Termasuk hal lainnya seperti hak penangkapan, penanganan pasca
tangkap, data perdagangan dan lain sebagainya. Insiatif ini sebagai
konsep dalam mengembangkan standar transparansi global bersama dengan
International Advisory Group,” katanya sebagaimana dikutip dari laman
OECD.
Terdapat empat negara yang mulai mengambil inisiatif terkait ini
yaitu, Indonesia, Mauritania, Senegal dan Seychelles. Komitmen untuk
transparansi ini bergulir pada koneferensi pertama FITI di
Nouakchott-Mauritania pada 3 Februari 2016.
Berkaitan dengan isu di artikel ini, ada baiknya memasukkan juga
poin-poin yang dipaparkan oleh Dr Mas Achmad Santosa, ketua Satgas 115
pada lokakarya itu yang menekankan pentingnya perlawanan kepada
kejahatan IUUF di Indonesia.
Memberantas IUUF dan kejahatan terkait lainnya membutuhkan kehendak politik yang kuat.
Bukti kesungguhan itu, menurut Mas Achmad adalah Indonesia menegakkan
peraturan hukum dengan memberikan sanksi administratif, mencabut 291
izin, menahan 261 izin dan memberikan 48 surat peringatan keras ke
perusahaan perikanan (2016).
Tak hanya itu, Indonesia pun mendirikan Satuan Tugas 115 yang
di-SK-kan oleh Presiden Jokowi demi memerangi kejahatan perikanan.
Tujuannya menegakkan kedaulatan dan ‘semangat Poros Maritim’. Dalam
praktiknya telah memeriksa perizinan kapal asing, mencegah transshipment
dan memperbaiki tata kelola bisnis perikanan.
Bagi Mas Achmad, yang perlu terus menerus dilakukan adalah
memperbaiki kemampuan mendeteksi, merespon, dan menjerat kapal perikanan
illegal. Corporate criminal liability dapat dimaknai sebagai
‘prosedur kewajiban perusaan tak terkait kejahatan’ serta aplikasi
dimensi hukum dalam pengertian luas harus bisa diterapkan agar bisa
memberikan efek jera ke pelaku kejahatan perikanan.
Menurutnya, itu bisa dilakukan dengan mengintegrasikan data,
mendorong kerjasama bilateral terkait pertukaran data, dan pemberian
sanksi tegas pada pihak yang tak sedia bekerjasama.
Dua tahun kemudian, apa yang dipaparkan Mas Achmad Santosa tersebut,
termasuk harapan banyak negara tentang pemberantasan IUUF dapat terbaca
dari capaian Pemerintah Republik Indonesia hingga akhir tahun 2017.
Dilaporkan bahwa sepanjang 2017, Kementerian Keluatan dan Perikanan
(KKP) telah menenggelamkan 127 kapal pencuri ikan. Selama periode tahun
2014-2017, telah ada 363 kapal pencuri ikan yang telah ditenggelamkan.
Informasi tembahan lainnya adalah bahwa selama 2017, KKP telah
memeriksa 3.727 kapal perikanan di wilayah laut Indonesia. Terdapat 132
kapal yang ditangkap dan terdiri dari 85 kapal asing dan 47 kapal
Indonesia karena terbukti telah melakukan illegal fishing.
Sejumlah kapal asing yang ditangkap tersebut didominasi oleh kapal
berbendera Vietnam sebanyak 68 kapal, Filipina 5 kapal, Malaysia 11
kapal, dan Timor Leste 1 kapal. Negara-negara inilah yang harus
diingatkan untuk patuh anjuran seperti dipaparkan sebelumnya.
Mau nggak ya mereka?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar