10 Februari, 2018

Memberantas Kejahatan Lintas Negara di Sektor Perikanan




Ragam kejahatan perikanan di Indonesia (sumber: OECD)

Mengapa praktik Perikanan ‘Illegal, Unreported, Unregulated (IUU)’ terus berlangsung? Apa dan bagaimana memberantasnya ketika terdapat banyak lapis-lapis pelaku dan unsur negara lain yang terlibat?

Terus berlangsung
Minggu kedua Februari ini, Gugus Keamanan Laut (Guskamla) Armada KRI Sigorot mengamankan kapal ikan asing di Selat Philip, perairan Indonesia, (8/2). Di kapal itu terdapat berbagai macam bendera negara di antaranya, Indonesia, Singapura dan Taiwan. Kapal bernama Sunrise Glory itu berawak empat orang asal Taiwan.

Sebelumnya, pada 24 Januari 2018, Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) melalui Pangkalan Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Lampulo, Banda Aceh, menangkap kapal ikan berbendera Malaysia. Petugas mengamankan empat nelayan Myanmar yang menangkap ikan tanpa izin. Mereka mencuri ikan di perairan timur Aceh atau sekitar 20 mil dari Langsa. Kapal dengan nama SLFA 4935 itu berkapasitas 29 gross ton dan mempekerjakan empat warga Myanmar.

Pada November tahun lalu, unit kerja KKP menangkap kapal perikanan asing berbendera Timor Leste, Fu Yuan Yu 831. Di Maret 2017, Kapal Pengawas Perikanan Hiu Macan Tutul 02 menangkap empat kapal perikanan berbendera Vietnam di sekitar perairan Natuna, Kepulauan Riau. Empat kapal yang ditangkap terdiri atas KH 91009 TS, KH 96056 TS, KH 97722 TS, dan KH95581 TS, jumlah Anak Buah Kapal (ABK) sebanyak 45 orang berkewarganegaraan Vietnam.

Terkait kejahatan via laut ini, tahun lalu, kita digegerkan pula oleh penangkapan Kapal Wanderlust yang membawa 1 ton sabu yang coba didaratkan di pesisir Banten.

Jauh sebelumnya, di tahun 2015, kapal pengangkut ikan berbendera Thailand, MV. Silver Sea 2 ditangkap KRI Teuku Umar 385 di sekitar perairan Sabang, Aceh pada tanggal 12 Agustus 2015 karena melakukan kegiatan transshipment dan banyak lagi kejahatan serupa.
Untuk kesekian kalinya, praktik kejahatan skala besar dipertontonkan dari lautan.

***
Catatan-catatan di atas menjadi bukti bahwa Indonesia adalah target utama pelaku kejahatan internasional, antar negara. Bukan hanya obat-obatan, tetapi peredaran senjata, human trafficking hingga pencurian ikan dan transshipment.
Kejahatan yang nampaknya takkan berhenti meski Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah gigih melakukan patroli dan penegakan hukum hingga penenggelaman kapal.

Singkat kata, laut kita tidak pernah sepi dari kejahatan. Perlawanan Negara kepada penjahat lintas negara ini harus terus menerus digelorakan.
Lalu apa yang bisa dilakukan Indonesia sebagai Negara berdaulat? Sebagai bagian dari percaturan masyarakat internasional yang selalu ingin menegakkan marwah Negara di antara negara-negara berdaulat lainnya terkait kejahatan di laut ini.

Apa yang harus dilakukan?
Sebuah rilis tertanggal 13 Oktober tahun 2016 yang bagikan oleh organisasi ‘Pembangunan dan Kerjasama Ekonomi (OECD)’ mengingatkan banyak kalangan bahwa kejahatan antar negara via laut kian masif dan perlu diberantas.
OECD telah merangkum isu dan solusi berdasarkan pengalaman dan masukan dari para peserta yang terdiri dari praktisi hukum lingkunga, otoritas perikanan dan perwakilan Pemerintah serta NGO agar perang terhadap kejahatan di laut ini terus berkobar dan berjalan efektif.

(1) Kesungguhan Negara untuk memperkuat dan menjalankan UU yang ada.
Setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan.
Pertama adalah membangun fondasi atau kerangka hukum yang kuat sebagai faktor kunci dalam menegakkan aturan perikanan serta kejahatan serupa di laut, penyiapan kode pidana yang disepakati, menyiapkan peraturan pajak sebab ini berkaitan dengan usaha perikanan, menyiapkan undang-undang anti-korupsi terkait kejahatan di laut, undang-undang ketenagakerjaan, dan hukum terkait kejahatan terorganisir.

Pilihan kedua adalah penegakan hukum yang efektif tanpa pandang buluh atau tidak mentoleransi sedikitpun. Upaya ini dilakukan dengan mendayagunakan jenis undang-undang yang ada di negara masing-masing untuk melawan pola bisnis kejahatan di laut.

“Hukum tak boleh diperjual belikan,” begitu kata Menteri Susi pada banyak kesempatan.
Negara-negara yang berkaitan dengan wilayah kejadian harus bekerjasama dengan mengacu pada tanggung jawab, baik sebagai ‘flag states’, negara pantai, negara tujuan pasar atau negara pelabuhan bahkan dengan warga negaranya.

Untuk menegakkan aturan ini, Negara yang selalu menjadi korban harusnya jeli melihat kesenjangan dalam undang-undang yang ada sebab bisa saja dimanfaatkan oleh pelaku dengan melihat celah yang ada.
Kejahatan bisa terjadi pada ruas-ruas rantai usaha. Dari kapal di lautan, rantai pasokan, sumber logistik, hingga rantai konsumen.
Pihak-pihak yang terkait (sumber: OECD) 
Prosedur usaha perikanan (sumber: FAO)

Pada beberapa kesempatan, Menteri Susi, sebagai misal, menyebut bahwa nelayan-nelayan asing ini jeli juga, mereka kerap melepas pancing longline di ZEE NKRI dan dengan antengnya menarik tali pancingnya yang berkilo-kilometer masuk ke wilayah teritori mereka.

Oleh sebab itu, anjuran para peserta pertemuan tersebut adalah, semua pihak seharusnya dapat saling membantu dengan mendorong proses transparansi terkait operasi mereka. Perlu mengetahui cara mereka beroperasi serta berbagi informasi tentang di bagian mana kejahatan perikanan sering terjadi.
Karena kompleksitas dan panjangnya mata rantai perdagangan internasional utamanya untuk produk perikanan maka disarankan bahwa langkah-langkah yang ditempuh harus disesuaikan dengan hukum yang berlaku di negara terjadinya insiden, memperhatikan tata cara dan kapasitas pemerintahan negara.

(2) Membangun dan memperbaiki kerjasama antar instansi
Mereka menganggap bahwa tidak ada satu otoritas pun yang memiliki mandat menyeluruh atau sepenuhnya terkait penanganan kejahatan di laut. Yang namanya usaha perikanan jalinan dan muaranya sangat rumit dan laus.
Melawan kejahatan perikanan membutuhkan kerja sama yang kuat, antara polisi, jaksa dan pengelola perikanan dalam suatu negara maupun lintas negara demi mengatasi kejahatan transnasional tersebut.

Hal di atas juga berkaitan dengan perlunya mempunyai kerangka kerja yang dapat menjadi payung kebijakan untuk semua.
Dengan kerjasama maka akan memudahkan proses pemantauan, pengendalian dan kegiatan penegakan hukum. Dengan itu pula dapat mengurangi biaya lintas negara, lintas perbatasan. Perlu diketahui bahwa upaya penuntutan pelaku illegal juga memakan waktu lama sehingga perlu kerjasama.
Hal lain yang perlu dipahami adalah urusan yurisdiksi pada beberapa negara kadang berbeda, baik dalam mengumpulkan data, maupun informasi yang relevan lainnya dalam membantu proses penyelidikan. Kendalanya adalah otoritas penegak hukum memperoleh mandat terbatas untuk dapat mendayagunakan informasi yang ada.

(3) Terus bekerjasama dengan masyarakat atau organisasi internasional
Sejauh ini, beberapa pola kemitraan telah berjalan dengan baik seperti antara OECD, FAO, UNODC, WCO, INTERPOL dan RFMO. Dengan kerjasama maka akan memudahkan upaya memerangi tindakan illegal di lautan, kegiatan perikanan yang tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU) seperti melalui model perjanjian terkait pelabuhan perikanan, Konvensi PBB melawan Kejahatan Terorganisir Transnasional.

Indonesia belakangan ini giat bekerjasama dengan Global Fishing Watch untuk melacak pergerakan kapal-kapal melalui pantauan satelit.

(4) Pelibatan pemangku kepentingan secara luas.
Beberapa pihak seperti swasta, pengolah makanan laut, layanan penyedia pembiayaan usaha perikanan, seharusnya dilibatkan dan mengambil tanggung jawab yang lebih besar untuk memastikan bahwa kegiatan yang diusulkan tidak berkaitan dengan kejahatan tersebut.

(5) Menagih kesadaran dan kesepahaman antar negara.
Komitmen politik dari pemimpin tertinggi sangat dibutuhkan dalam memberikan kontribusi signifikan untuk memerangi kejahatan di sektor perikanan.
Apa yang dilakukan oleh Indonesia sebagai misalnya, layak menjadi contoh sebab pemberantasan IUUF merupakan refleksi dari kemauan politik yang kuat dari Pemerintahan Jokowi-JK.

Memasukkan upaya penegakan hukum kejahatan di laut ke dalam ranah politik dapat membantu meningkatkan kesadaran akan kerusakan yang ditimbulkan termasuk biaya yang digunakan dalam menjalankan kejahatan perikanan tersebut.

Negara-negara lain sejatinya bisa belajar dari negara yang telah berhasil menegakkan aturan ini. Mereka bisa belajar dari yang sudah ‘berpengalaman’ serta belajar bagaimana menangani kegiatan ini.
Pada isu ini, Pemerintah harus terus menerus berinvestasi dalam meningkatkan sumber daya manusia yang diharapkan dapat melakukan investigasi terkait kejahatan penghindaran pajak dan kejahatan lainnya di sektor perikanan.

Pandangan para peserta

Lapis-lapis usaha perikanan (sumber: OECD)
Lapis-lapis usaha perikanan (sumber: Interpol/OECD)
Menurut Antonia Leroy, dari OECD, kejahatan perikanan biasa sejatinya berbeda dengan praktik IUUF yang lebih luas. IUUF beririsan dengan ragam kejahatan lainnya seperti perdagangan manusia, penyelundupan narkoba, korupsi dan penggelapan pajak bahkan bersentuhan dengan alur pendanaan terorisme.

Menurutnya, untuk memberantas IUUF perlu menjadi tujuan bersama, seperti yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) bagian 14.4, yang secara khusus menyerukan diakhirinya IUUF. Baginya, memberantas IUUF berkaitan dengan upaya pemberantasan kemiskinan, kelaparan dan perbaikan tata kelola Pemerintahan.

IUUF adalah kejahatan ekonomi dengan selera keuntungan berlipat, tentang jalan gelap pembiayaan bisnis antar negara dan ini berkaitan dengan kualitas hukum dan perundang-undangan di masing-masing negara.

Menurut Leroy, investigasi kejahatan ekonomi sangat dibutuhkan pada usaha perikanan antar negara sebab ini bisa jadi berkaitan dengan praktik pencucian uang, korupsi, kejahatan pajak dan kejahatan penggelapan laporan keuangan.
Investigasi keuangan meliputi praktik usaha, penyelenggara usaha, pekerja hingga jalur operasi dan ini bisa mengungkap penangkapan terkait IUUF.

Eve De Coning, dari Kementerian Perdagangan, Industri dan Perikanan Norwegia menyatakan bahwa bahwa IUUF dan kejahatan perikanan adalah dua konsep yang terpisah. Pemerintah Norwegia mendirikan Norwegian National Advisory Group terkait Kejahatan Perikanan dan Perikanan Terorganisir, yang mencakup semua otoritas terkait di sepanjang mata rantai nilai bisnis ini.

Norwegia juga menyadari perlunya kerjasama operasional, terutama terkait distribusi informasi, sebab hal ini sangat sulit dilakukan jika hanya satu negara yang giiat. Menurutnya ini bukan soal kepercayaan saja tetapi berkaitan dengan hal-hal sensitif misalnya, azas praduga tak bersalah.

Poinnya adalah bahwa cara kerja dalam melakukan investigasi memiliki ciri khas berbeda antara investigasi kriminal biasa dan perikanan. Ada masalah pada kebijakan berkaitan alokasi sumber daya dan kerjasama antar agen. Kerjasama antar negara sangat penting tetapi tak mudah dilakukan.

Mónica Corrales, Sekjen Perikanan Spanyol menyatakan bahwa kebijakan Pemerintah Spanyol dalam memberantas IUUF adalah dengan meningkatkan kerjasama internasional dan menguatkan kerangka operasi.

“Spanyol sangat berkomitmen dalam melawan IUUF sebab relevan dengan poin SDG 14.4. Pada Desember 2014, Spanyol telah membentuk kerangka kerja hukum dengan amandemen Peraturan Perikanan Spanyol No. 3/2001 dengan penekanan pada penguatan pengawasan dan pemeriksaan pasar perikanan. Termasuk memberikan sanksi pada perusahaan perikanan  bagi yang terjerat kasus. Sanksi misalnya pencabutan subsidi.

Sementara itu, Suyeon Kim, dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Korea Selatan menyatakan bahwa Pemerintahnya sedang memperkuat upaya perlawanan pada IUUF.

Tahun 2013, Korea meretas upaya penerapan kerangka kerja dengan mengamandemen peraturan terkait ‘DWFD’. Korea telah mengubah dengan memperbaiki kontrol terhadap pelabuhan, memberi sanksi pada perusahaan yang membawa produk perikanan illegal masuk ke pasar Korea.

“Korea juga memperbaiki sistem pengelolaan kapal dengan memperbaiki pemantauan kapal. Dengan kerjasama internasional, Korea ikut serta membangun jaringan dengan RFMOs, organisasi internasional dan antar negara melalui sharing informasi, Pendidikan dan pelatihan dalam mencegah IUUF serta kerjasama dengan pihak industri perikanan,” begitu poinnya.

Salah satu poin penting di lokakarya itu adalah perlunya menjamin transparansi di hulu hilir usaha perikanan.
Sebastian Wegner, dari Fisheries Transparency Initiative (FITI ) menyatakan bahwa transparansi adalah salah satu perangkat yang dapat digunakan dalam memberantas IUUF.

The Fisheries Transparency Initiative (FITI) adalah insiatif global yang bertujuan untuk meningkatkan adopsi perikanan bertanggungjawab melalui transparasi dan partisipasi. Ini merupakan inisiftaif sukarela dari beberapa negara anggota.
Untuk itu, negara-negara anggota FITI akan menerbitkan informasi terkait “akses ke perikanan laut”. Ini meliputi siapa yang berhak menangkap, berapa yang harus dibayar untuk dapat izin menangkap, dan berapa yang dapat dieskploitasi.

“Termasuk hal lainnya seperti hak penangkapan, penanganan pasca tangkap, data perdagangan dan lain sebagainya. Insiatif ini sebagai konsep dalam mengembangkan standar transparansi global bersama dengan International Advisory Group,” katanya sebagaimana dikutip dari laman OECD.
Terdapat empat negara yang mulai mengambil inisiatif terkait ini yaitu, Indonesia, Mauritania, Senegal dan Seychelles. Komitmen untuk transparansi ini bergulir pada koneferensi pertama FITI di Nouakchott-Mauritania pada 3 Februari 2016.

Berkaitan dengan isu di artikel ini, ada baiknya memasukkan juga poin-poin yang dipaparkan oleh Dr Mas Achmad Santosa, ketua Satgas 115 pada lokakarya itu yang menekankan pentingnya perlawanan kepada kejahatan IUUF di Indonesia.

Pemberantasan IUUF, menjaga kekayaan bangsa (foto: NMN)
Pemberantasan IUUF, menjaga kekayaan bangsa (foto: NMN)
Memberantas IUUF dan kejahatan terkait lainnya membutuhkan kehendak politik yang kuat.

Bukti kesungguhan itu, menurut Mas Achmad adalah Indonesia menegakkan peraturan hukum dengan memberikan sanksi administratif, mencabut 291 izin, menahan 261 izin dan memberikan 48 surat peringatan keras ke perusahaan perikanan (2016).

Tak hanya itu, Indonesia pun mendirikan Satuan Tugas 115 yang di-SK-kan oleh Presiden Jokowi demi memerangi kejahatan perikanan. Tujuannya menegakkan kedaulatan dan ‘semangat Poros Maritim’. Dalam praktiknya telah memeriksa perizinan kapal asing, mencegah transshipment dan memperbaiki tata kelola bisnis perikanan.

Bagi Mas Achmad, yang perlu terus menerus dilakukan adalah memperbaiki kemampuan mendeteksi, merespon, dan menjerat kapal perikanan illegal.  Corporate criminal liability dapat dimaknai sebagai ‘prosedur kewajiban perusaan tak terkait kejahatan’ serta aplikasi dimensi hukum dalam pengertian luas harus bisa diterapkan agar bisa memberikan efek jera ke pelaku kejahatan perikanan.

Menurutnya, itu bisa dilakukan dengan mengintegrasikan data, mendorong kerjasama bilateral terkait pertukaran data, dan pemberian sanksi tegas pada pihak yang tak sedia bekerjasama.
Dua tahun kemudian, apa yang dipaparkan Mas Achmad Santosa tersebut, termasuk harapan banyak negara tentang pemberantasan IUUF dapat terbaca dari capaian Pemerintah Republik Indonesia hingga akhir tahun 2017.

Dilaporkan bahwa sepanjang 2017, Kementerian Keluatan dan Perikanan (KKP) telah menenggelamkan 127 kapal pencuri ikan. Selama periode tahun 2014-2017, telah ada 363 kapal pencuri ikan yang telah ditenggelamkan.
Informasi tembahan lainnya adalah bahwa selama 2017, KKP telah memeriksa 3.727 kapal perikanan di wilayah laut Indonesia. Terdapat 132 kapal yang ditangkap dan terdiri dari 85 kapal asing dan 47 kapal Indonesia karena terbukti telah melakukan illegal fishing.

Sejumlah kapal asing yang ditangkap tersebut didominasi oleh kapal berbendera Vietnam sebanyak 68 kapal, Filipina 5 kapal, Malaysia 11 kapal, dan Timor Leste 1 kapal. Negara-negara inilah yang harus diingatkan untuk patuh anjuran seperti dipaparkan sebelumnya.
Mau nggak ya mereka?

Tidak ada komentar: