- Jakarta, Kemampuan pelaut perikanan Indonesia telah diakui dunia. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2011, jumlah pelaut perikanan sebanyak 2.237.640 orang, jauh lebih besar dibandingkan dengan para pelaut kapal niaga yang berjumlah 338.224 orang. Sayangnya belum semua pelaut perikanan memiliki sertifikat kompetensi yang dapat menjadi acuan kompetensi dalam persaingan dalam dunia kerja internasional. Konvensi Internasional tentang Standar Pelatihan, Sertifikasi dan Pencatatan untuk Personel Kapal Perikanan, 1995 (STCW-F 1995 Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel) mulai berlaku pada tanggal 29 September 2012. Konvensi STCW-F menetapkan persyaratan pelatihan sertifikasi dan minimum untuk awak kapal nelayan sepanjang 24 meter dan lebih tinggi. Konvensi tersebut terdiri dari 15 pasal dan lampiran yang berisi peraturan teknis.
Konvensi STCW-F adalah yang pertama
menetapkan persyaratan dasar tentang pelatihan, sertifikasi dan
pengawasan untuk Personil Kapal Perikanan di tingkat internasional.
Konvensi STCW-F telah diratifikasi oleh banyak negara, diantaranya:
Kanada, Denmark, Islandia, Kiribati, Latvia, Mauritania, Maroko,
Namibia, Norwegia, Palau, Federasi Rusia, Sierra Leone, Spanyol,
Republik Arab Suriah dan Ukraina, dan juga oleh Faroes, Denmark.
Meskipun demikian, sampai saat ini Indonesia belum meratifikasi STCW F.
Saat ini, diperkirakan setiap tahun
lebih dari 24.000 nyawa hilang di seluruh dunia selama operasi
penangkapan ikan. IMO menyadari perlunya perhatian atas keselamatan di
industri perikanan dan perlunya tiap negara memiliki instrumen untuk
menangani masalah ini. Salah satu instrumen tersebut adalah Konvensi
Internasional tentang Standar Pelatihan, Sertifikasi dan Pencetakan
untuk Personil Kapal Perikanan (STCW-F), yang diadopsi oleh IMO pada
tahun 1995, dan diharapkan dapat membawa manfaat dan keuntungan bagi
industri perikanan yaitu memperbaiki kualitas pendidikan dan pelatihan
yang diberikan kepada personil yang dipekerjakan di kapal penangkap ikan
dan meningkatkan standar pelatihan dan keselamatan di industri
perikanan dan armada kapal penangkap ikan.
Konvensi STCW-F akan berkontribusi pada
pengurangan korban jiwa dan akan terus memperbaiki catatan keselamatan
industri perikanan global. Konvensi STCW-F akan berlaku untuk kapal
penangkap kapal laut dengan kapal berukuran panjang 24 meter dan
diatasnya. STCW-F menetapkan kerangka peraturan untuk pelatihan dan
sertifikasi personil yang dipekerjakan di kapal penangkap ikan dengan
tujuan untuk meningkatkan keamanan kehidupan dan properti di laut dalam
industri perikanan. Ini adalah usaha untuk menetapkan standar pelatihan
wajib internasional untuk awak kapal dan mengoperasikan kapal penangkap
ikan. Namun, penting untuk dicatat bahwa Konvensi STCW-F harus
diratifikasi agar lebih mudah diimplementasikan bagi semua pihak.
“Peningkatan
kualitas SDM perikanan, standar keamanan, keselamatan dan perlindungan
bagi SDM perikanan Indonesia adalah target ratifikasi STCW-F” dipaparkan
oleh Asisten Deputi Bidang Pendidikan dan Pelatihan Maritim TB.Haeru
Rahayu dalam Lokakarya Rencana Aksi Antisipasi diberlakukannya
Ratifikasi STCW-F di Jakarta (27/9), “Saat ini Kemenko Maritim terus
berkoordinasi dengan K/L terkait untuk persiapan ratifikasi dan
implementasi. Semua harus simultan, kita siapkan langkah-langkah
antisipasi agar setelah ratifikasi bisa langsung berjalan baik.”
TB.Haeru menegaskan kualitas SDM
Indonesia khususnya bidang perikanan sangat baik dan bisa bersaing
secara global. Namun demikian patut disayangkan, masih banyak SDM
perikanan tidak memiliki sertifikat kompetensi yang dibutuhkan,
“Akibatnya meskipun kemampuannya mumpuni, penghasilannya jadi lebih
rendah dibanding SDM yang bersertifikat. Hal ini dapat dicegah melalui
ratifikasi selanjutnya implementasi. Ratifikasi saja tidak cukup, harus
dijalankan, ini memerlukan kerja bersama berbagai pihak. Kemenko Maritim
akan terus berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait agar ratifikasi
STCW-F dapat terlaksana sesuai harapan” tutup TB.Haeru ***
https://maritim.go.id/kemenko-maritim-siapkan-langkah-antisipasi-pemberlakuan-ratifikasi-stcw-f/
STCW-F 1995 Mulai Diberlakukan Tanggal 29 September 2012
Posted by Capt. Hadi Supriyono, MM, M.Mar
Konvensi Internasional tentang Standar Pelatihan, Sertifikasi dan Dinas-jaga untuk Personil Kapal Perikanan, 1995 (STCW-F 1995)mulai berlaku pada tanggal 29 September 2012.
Konvensi STCW-F menetapkanpersyaratan minimum pelatihan dan sertifikasi untuk awak kapal penangkap ikan yang berlayar di laut lepas dengan panjang 24 meter atau lebih. Konvensi ini terdiri dari 15 pasal (Article) dan lampiran yang berisiperaturan-peraturan teknis. Konvensi STCW-F telah diratifikasi oleh 15 negara: Kanada, Denmark, Islandia,Kiribati, Latvia, Mauritania, Maroko, Namibia, Norwegia, Palau, Federasi Rusia, SierraLeone, Spanyol, Republik Arab Suriah dan Ukraina, dan juga oleh Faroes, Denmark.
Pelaut kapal perikanan Indonesia
Bagaimana dengan pelaut-pelaut kita? Seperti kita ketahui, pelaut-pelaut kita banyak yang bekerja di kapal-kapal perikanan, baik itu kapal-kapal penangkap ikan maupun kapal pengolah ikan di laut. Baik di dalam maupun di luar negeri. Di kapal berbendera Indonesia maupun di kapal berbendera asing, kiranya dengan diberlakukannya STCW-F 1995 ini, akan menimbulkan dampak yang serius terhadap nasib ribuan pelaut Indonesia yang bekerja di kapal ikan (terutama kapal berbendera asing).
Selama ini, pemerintah Indonesia memberlakukan dua jenis sertifikat kompetensi untuk para pelaut kita, yaitu sertifikat Ahli Nautika dan Ahli Tehnika untuk kapal niaga (bukan perikanan), sertifikat ANKAPIN dan ATKAPIN (Ahli Nautika Kapal Ikan dan Ahli Teknika Kapal Ikan) untuk kapal-kapal perikanan.
Ahli Nautika dan Ahli Nautika berkiblat pada STCW 1978, dan Indonesia sudah meratifikasi sejak tahun 1986, serta telah diakui secara internasional, dengan pengakuan Indonesia menjadi salah satu negara yang masuk kedalam IMO White-listdalam pelaksanaan STCW 1978. Sedangkan untuk ANKAPIN dan ATKAPIN diterbitkan berdasarkan ketentuan Nasional. Oleh karena itu kita sering mendengar bahwa pemegang sertifikat ANKAPIN dan ATKAPIN belum mendapatkan pengakuan secara internasional, sehingga Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjenhubla) memfasilitasi upaya penyetaraan sertifikat dari ANKAPIN ke Ahli Nautika dan ATKAPIN ke Ahli Tehnika, agar pelaut kapal ikan kita dapat bekerja di kapal-kapal asing, dan berlayar ke luar negeri.
Saya membaca dari berbagai media online tentang nasib pelaut kapal ikan Indonesia, sangat memprihatinkan. Coba baca berita online yang dilansir oleh harian Pikiran Rakyat pada tanggal 26 September 2012 di http://www.pikiran-rakyat.com/node/197358 . Bahwa banyak pelaut Indonesia di kapal-kapal ikan Korea terancam diturunkan dan perusahaan kapal ikan korea tidak mau menerima pelaut dari Indonesia karena mereka banyak yang melarikan diri dari kapal dan bekerja di darat (Korea).
Harian Suara Pembaruan tanggal 25 September juga memberitakan bahwa diperkirakan 80% pelaut asing banyak yang bekerja di kapal-kapal perikanan Indonesia. Berita selengkapnya di:
http://www.suarapembaruan.com/ekonomidanbisnis/pelaut-lokal-tergusur-80-kapal-perikanan-gunakan-pelaut-asing/25027
Dengan berlakunya STCW-F 1995 pada tanggal 29 September 2012, maka mau tidak mau, pemerintah Indonesia harus segera meratifikasi konvensi ini, mengingat banyak pelaut Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing dan banyaknya kapal asing yang masuk wilayah Indonesia, serta orang asing yang bekerja di kapal ikan Indonesia.
Salah satu kendala bagi pelaut kapal ikan kita adalah kata ‘Nelayan’. Pada umumnya, yang kita sebut ‘nelayan’ tersebut mayoritas dengan latar belakang pendidikan umum yang rendah. Mungkin banyak juga diantara nelayan kita justru tidak pernah mengenyam pendidikan umum yang layak. Lebih memprihatinkan lagi kalau mereka ada yang “buta huruf“. Kalau mereka bertahan pada kapal2 dibawah 24 meter memang tidak terpengaruh dengan berlakunya STCW-F 1995 ini. Namun perlu diingat bahwa salah satu instrumen hukum IMO juga ada yang mengatur tentang keselamatan kapal2 ikan kecil di bawah 24 meter (Safety measure for small fishing vessels, Code of Safety and the Voluntary Guidelines on fishing vessels below 12 m in length, and undecked fishing vessels of any size). Berita selengkapnya dapat di baca di
http://www.imo.org/OurWork/Safety/Regulations/FishingVessels/Pages/Default.aspx .Sangat dimungkinkan ketentuan untuk pelaut kapal ikan kecil juga akan diatur secara internasional. Maka hal ini harus diwaspadai dan diantsispasi secara dini agar nantinya tidak menjadi beban berat bagi kita untuk melaksanakannya.
Berbeda dengan STCW 1978 yang berlaku untuk semua kapal yang berlayar di laut tanpa melihat ukuran dan jenisnya, STCW-F 1995 hanya diberlakukan untuk kapal-kapal perikanan yang panjangnya 24 meter atau lebih. Sehingga kapal-kapal ikan yang panjangnya kurang dari 24 meter terbebas dari ketentuan konvensi ini. Tentunya kita dapat mengatur sendiri di dalam Indonesian NCVS (Non Convention Vessel Standard) yang telah diberlakukan sejak tahun 2010 yang lalu.
Mengingat STCW-F 1995 ini adalah instrumen hukum dari IMO, dan AdministrationIMO di Indonesia adalah Ditjenhubla, maka pelaksanaannya adalah merupakan tanggung jawab Ditjenhubla. Dengan demikian Pusbang SDM Hubla akan bertambah lagi tugas-tugasnya untuk menyusun kurikulum dan silabus berdasarkan STCW-F 1995 ini, sedangkan Ditjenhubla dan Pusbang SDM Hubla saat ini sedang dibebani tugas berat berkaitan dengan pemberlakuan STCW 1978 amandemen Manila 2010. Mudah-mudahan Pusbang SDM dari Kementerian Kelautan dan Perikanan mampu bekerja sama dengan Pusbang SDM Hubla, serta semua pemegang kepentingan dapat membantu agar pelaksanaan STCW-F di Indonesia dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan, sehingga ribuan pelaut Indonesia yang bekerja di kapal asing dapat diselamatkan
Konferensi diplomatik tentang Torremolenos Protocol 1993
Sebagaimana kita ketahui bahwa pada tanggal 9 – 11 Oktober 2012 (yang akan datang), IMO juga akan menyelenggarakan Konferensi Diplomatik untuk mempertimbangakan dan mengadopsi Torremolenos Protokol 1993, yaitu protokol dari konvensi Internasional tentang keselamatan kapal ikan, yang pertama di adopsi di Torremolenos, Spanyol pada tahun 1977 dengan nama 1977 Torremolinos International Convention for the Safety of Fishing Vessels. Konferensi diplomatik tersebut akan dilaksanakan di Cape Town, Afrika Selatan.
Delegasi Indonesia pada sidang-sidang IMO sebelumnya, banyak memberikan kontribusi dalam penyusunan konsep protocol ini pada sidangnya tahun 2007 – 2011, khususnya pada sidang-sidang sub komite SLF (Stability and Load Lines and Fishing Vesseles) yang mampu memberikan perimbangan antara keinginan negara-negara Eropa dan negara-negara Asia, mengingat konstruksi kapal-kapal Eropa berbeda dengan kapal-kapal ikan di Asia. Selain itu, Indonesia juga pernah menjadi tuan rumah dalam loka-karya tentang keselamatan kapal ikan ini di Bali tahun 2010, dan Ketua Sidang pada loka-karya tersebut adalah juga dari Indonesia. Namun saya tidak tahu sejauh mana pemerintah Indonesia mempersiapkan keikut-sertaannya dalam Konverensi Diplomatik bulan Oktober ini, baik dari Ditjenhubla, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta pihak-pihak yang berkepentingan lainnya…….???
So, what we can do, let do it together…..from now…! Whoever you are, wherever you are, whatever your position, I beleive you could contribute to our beloved country….Indonesia……..Jayalah negeriku….jayalah bangsaku…!
STCW-F 1995 Mulai Diberlakukan Tanggal 29 September 2012
Posted by Capt. Hadi Supriyono, MM, M.Mar
Konvensi Internasional tentang Standar Pelatihan, Sertifikasi dan Dinas-jaga untuk Personil Kapal Perikanan, 1995 (STCW-F 1995)mulai berlaku pada tanggal 29 September 2012.
Konvensi STCW-F menetapkanpersyaratan minimum pelatihan dan sertifikasi untuk awak kapal penangkap ikan yang berlayar di laut lepas dengan panjang 24 meter atau lebih. Konvensi ini terdiri dari 15 pasal (Article) dan lampiran yang berisiperaturan-peraturan teknis. Konvensi STCW-F telah diratifikasi oleh 15 negara: Kanada, Denmark, Islandia,Kiribati, Latvia, Mauritania, Maroko, Namibia, Norwegia, Palau, Federasi Rusia, SierraLeone, Spanyol, Republik Arab Suriah dan Ukraina, dan juga oleh Faroes, Denmark.
Pelaut kapal perikanan Indonesia
Bagaimana dengan pelaut-pelaut kita? Seperti kita ketahui, pelaut-pelaut kita banyak yang bekerja di kapal-kapal perikanan, baik itu kapal-kapal penangkap ikan maupun kapal pengolah ikan di laut. Baik di dalam maupun di luar negeri. Di kapal berbendera Indonesia maupun di kapal berbendera asing, kiranya dengan diberlakukannya STCW-F 1995 ini, akan menimbulkan dampak yang serius terhadap nasib ribuan pelaut Indonesia yang bekerja di kapal ikan (terutama kapal berbendera asing).
Selama ini, pemerintah Indonesia memberlakukan dua jenis sertifikat kompetensi untuk para pelaut kita, yaitu sertifikat Ahli Nautika dan Ahli Tehnika untuk kapal niaga (bukan perikanan), sertifikat ANKAPIN dan ATKAPIN (Ahli Nautika Kapal Ikan dan Ahli Teknika Kapal Ikan) untuk kapal-kapal perikanan.
Ahli Nautika dan Ahli Nautika berkiblat pada STCW 1978, dan Indonesia sudah meratifikasi sejak tahun 1986, serta telah diakui secara internasional, dengan pengakuan Indonesia menjadi salah satu negara yang masuk kedalam IMO White-listdalam pelaksanaan STCW 1978. Sedangkan untuk ANKAPIN dan ATKAPIN diterbitkan berdasarkan ketentuan Nasional. Oleh karena itu kita sering mendengar bahwa pemegang sertifikat ANKAPIN dan ATKAPIN belum mendapatkan pengakuan secara internasional, sehingga Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjenhubla) memfasilitasi upaya penyetaraan sertifikat dari ANKAPIN ke Ahli Nautika dan ATKAPIN ke Ahli Tehnika, agar pelaut kapal ikan kita dapat bekerja di kapal-kapal asing, dan berlayar ke luar negeri.
Saya membaca dari berbagai media online tentang nasib pelaut kapal ikan Indonesia, sangat memprihatinkan. Coba baca berita online yang dilansir oleh harian Pikiran Rakyat pada tanggal 26 September 2012 di http://www.pikiran-rakyat.com/node/197358 . Bahwa banyak pelaut Indonesia di kapal-kapal ikan Korea terancam diturunkan dan perusahaan kapal ikan korea tidak mau menerima pelaut dari Indonesia karena mereka banyak yang melarikan diri dari kapal dan bekerja di darat (Korea).
Harian Suara Pembaruan tanggal 25 September juga memberitakan bahwa diperkirakan 80% pelaut asing banyak yang bekerja di kapal-kapal perikanan Indonesia. Berita selengkapnya di:
http://www.suarapembaruan.com/ekonomidanbisnis/pelaut-lokal-tergusur-80-kapal-perikanan-gunakan-pelaut-asing/25027
Dengan berlakunya STCW-F 1995 pada tanggal 29 September 2012, maka mau tidak mau, pemerintah Indonesia harus segera meratifikasi konvensi ini, mengingat banyak pelaut Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing dan banyaknya kapal asing yang masuk wilayah Indonesia, serta orang asing yang bekerja di kapal ikan Indonesia.
Salah satu kendala bagi pelaut kapal ikan kita adalah kata ‘Nelayan’. Pada umumnya, yang kita sebut ‘nelayan’ tersebut mayoritas dengan latar belakang pendidikan umum yang rendah. Mungkin banyak juga diantara nelayan kita justru tidak pernah mengenyam pendidikan umum yang layak. Lebih memprihatinkan lagi kalau mereka ada yang “buta huruf“. Kalau mereka bertahan pada kapal2 dibawah 24 meter memang tidak terpengaruh dengan berlakunya STCW-F 1995 ini. Namun perlu diingat bahwa salah satu instrumen hukum IMO juga ada yang mengatur tentang keselamatan kapal2 ikan kecil di bawah 24 meter (Safety measure for small fishing vessels, Code of Safety and the Voluntary Guidelines on fishing vessels below 12 m in length, and undecked fishing vessels of any size). Berita selengkapnya dapat di baca di
http://www.imo.org/OurWork/Safety/Regulations/FishingVessels/Pages/Default.aspx .Sangat dimungkinkan ketentuan untuk pelaut kapal ikan kecil juga akan diatur secara internasional. Maka hal ini harus diwaspadai dan diantsispasi secara dini agar nantinya tidak menjadi beban berat bagi kita untuk melaksanakannya.
Berbeda dengan STCW 1978 yang berlaku untuk semua kapal yang berlayar di laut tanpa melihat ukuran dan jenisnya, STCW-F 1995 hanya diberlakukan untuk kapal-kapal perikanan yang panjangnya 24 meter atau lebih. Sehingga kapal-kapal ikan yang panjangnya kurang dari 24 meter terbebas dari ketentuan konvensi ini. Tentunya kita dapat mengatur sendiri di dalam Indonesian NCVS (Non Convention Vessel Standard) yang telah diberlakukan sejak tahun 2010 yang lalu.
Mengingat STCW-F 1995 ini adalah instrumen hukum dari IMO, dan AdministrationIMO di Indonesia adalah Ditjenhubla, maka pelaksanaannya adalah merupakan tanggung jawab Ditjenhubla. Dengan demikian Pusbang SDM Hubla akan bertambah lagi tugas-tugasnya untuk menyusun kurikulum dan silabus berdasarkan STCW-F 1995 ini, sedangkan Ditjenhubla dan Pusbang SDM Hubla saat ini sedang dibebani tugas berat berkaitan dengan pemberlakuan STCW 1978 amandemen Manila 2010. Mudah-mudahan Pusbang SDM dari Kementerian Kelautan dan Perikanan mampu bekerja sama dengan Pusbang SDM Hubla, serta semua pemegang kepentingan dapat membantu agar pelaksanaan STCW-F di Indonesia dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan, sehingga ribuan pelaut Indonesia yang bekerja di kapal asing dapat diselamatkan
Konferensi diplomatik tentang Torremolenos Protocol 1993
Sebagaimana kita ketahui bahwa pada tanggal 9 – 11 Oktober 2012 (yang akan datang), IMO juga akan menyelenggarakan Konferensi Diplomatik untuk mempertimbangakan dan mengadopsi Torremolenos Protokol 1993, yaitu protokol dari konvensi Internasional tentang keselamatan kapal ikan, yang pertama di adopsi di Torremolenos, Spanyol pada tahun 1977 dengan nama 1977 Torremolinos International Convention for the Safety of Fishing Vessels. Konferensi diplomatik tersebut akan dilaksanakan di Cape Town, Afrika Selatan.
Delegasi Indonesia pada sidang-sidang IMO sebelumnya, banyak memberikan kontribusi dalam penyusunan konsep protocol ini pada sidangnya tahun 2007 – 2011, khususnya pada sidang-sidang sub komite SLF (Stability and Load Lines and Fishing Vesseles) yang mampu memberikan perimbangan antara keinginan negara-negara Eropa dan negara-negara Asia, mengingat konstruksi kapal-kapal Eropa berbeda dengan kapal-kapal ikan di Asia. Selain itu, Indonesia juga pernah menjadi tuan rumah dalam loka-karya tentang keselamatan kapal ikan ini di Bali tahun 2010, dan Ketua Sidang pada loka-karya tersebut adalah juga dari Indonesia. Namun saya tidak tahu sejauh mana pemerintah Indonesia mempersiapkan keikut-sertaannya dalam Konverensi Diplomatik bulan Oktober ini, baik dari Ditjenhubla, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta pihak-pihak yang berkepentingan lainnya…….???
So, what we can do, let do it together…..from now…! Whoever you are, wherever you are, whatever your position, I beleive you could contribute to our beloved country….Indonesia……..Jayalah negeriku….jayalah bangsaku…!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar