22 Januari, 2018

“De Javu” Cantrang, Belajarlah dari Masa Lalu

kapal-kapal nelayan di Pualau Jawa
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro (Brazil) tahun 1992 menghasilkan kesepakatan tentang perlunya pembangunan berkelanjutan. Bermakna bahwa kebijakan pembangunan yang dipilih harus memenuhi aspek kebutuhan masa kini dan generasi masa depan.

KKT Rio itu menjadi alas lahirnya Tatalaksana Perikanan yang Bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries – CCRF) oleh FAO pada 1995 dan menjadi acuan bersama dalam menyelenggarakan pembangunan perikanan di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Indonesia yang kita cintai sudah lama dikenal sebagai pemasok produk perikanan terbesar dunia. Meski demikian, banyak pihak lupa bahwa meski produksi melimpah namun dia diperoleh dari ‘jalan gelap pengelolaan’, yang berlangsung karena maraknya praktik penangkapan ikan ilegal, tak terlaporkan, dan tidak diatur (Illegal, Unreported, Unregulated/IUU Fishing).

Sejak tahun 1970, industri perikanan memang berkembang namun sejarah juga mencatat bahwa tak sedikit pula kebijakan antisipatif dikeluarkan Pemerintah karena sudah membaca tren ancaman untuk generasi bangsa.
Indikasi berkurangnya jumlah populasi ikan di wilayah perairan Indonesia terbaca, tak hanya itu konflik sosial dan disparitas ekonomi juga terpapar nyata di pesisir dan pulau-pulau karena eksploitasi yang berlebih.

Yang terjadi, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Armada yang sarat modal dan teknologi semakin jauh ke laut lepas, merangsek ke wilayah perikanan tradisional dan yang miskin, papa, hina dina tersudut di lekuk pantai, nirdaya.
Dok KKP
Kebijakan baru
Pilihan Jokowi – JK untuk kembali ke lautan setelah memunggunginya terlalu lama ada pilihan tepat. Lantaran itu, salah satu yang dicanangkannya adalah perang terhadap IUU Fishing seperti yang disebutkan di atas.

Selama 4 tahun terakhir, Pemerintah sungguh telah amat tegas memerangi illegal fishing. Praktik illegal fishing di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI). Kapal perikanan berbendera asing atau kapal eks asing berkapasitas di atas 30 GT dibuat tak berkutik.

Perlu diketahui bahwa jumlah mereka mencapai 20 persen dari jumlah total kapal ikan di atas 30 GT yang beroperasi di WPP NRI atau sekitar 1.605 kapal eks asing (Buku Laut Masa Depan Bangsa, KKP 2017).
Kebijakan tersebut dapat mengurangi upaya eksploitasi ikan sebesar 35 persen dan akan meningkatkan tangkapan ikan dalam jangka panjang selama upaya penangkapan dalam negeri dikelola dengan baik.
Jika kebijakan IUU dilaksanakan dengan pelaksanaan reformasi perikanan yang konsisten maka akan meningkatkan produksi ikan sebesar 25 persen.
Peraturan Permen KP No 2 tahun 2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia adalah bukti bahwa Pemerintah konsisten dengan arah pembangunan bangsa tersebut
Apa yang diperoleh dan menggembirakan sejauh ini adalah manifestasi dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang perikanan.
Bahwa pembangunan perikanan pada hakekatnya mempunyai tujuan ganda, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan di satu sisi dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan di sisi lain.
Pembangunan perikanan memang harus memperhatikan aspek pemerataan dalam menikmati hasil pembangunan disamping aspek pertumbuhan.
Arah pembangunan sumber daya kelautan dan perikanan yang lestari telah menjadi amanat undang-undang.

Karenanya keberlanjutan ketersediaan sumber saya ikan Indonesia merupakan bagian dari 3 pilar utama dan bagian rencana strategis Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Senapas dengan itu, Pemerintah yang membaca sejarah, praktik dan dinamika pengoperasian alat tangkap yang kontradiktif dengan harapan ideal Poros Maritim serta spirit pembangunan bangsa yang adil, berbasis lingkungan dan jangka panjang memandang perlu untuk menyiapkan perangkat aturan yang membatasi ruang gerak alat-alat perikanan destruktif.
Bukan hanya bom ikan atau bius, muroami, bubu tindis, tetapi fishing gear dengan daya rusak masif seperti trawl atau cantrang.

Peraturan Permen KP No 2 tahun 2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia adalah bukti bahwa Pemerintah konsisten dengan arah pembangunan bangsa tersebut.
Nelayan Masalembu menolak cantrang
De Javu cantrang
Tanggal 15 Januari 2018, ketika sebagian besar wilayah sudah menegakkan aturan pelarangan cantrang sejak 1 Januari 2018, sebuah kabar angin berhembus dari Tegal.

Kabar tersebut menyatakan bahwa Presiden menyilakan kapal cantrang beroperasi meski kemudian diluruskan oleh Deputi Bidang Protokol Pers dan Media, Sekretariat Presiden, Bey Machmuddin sebagaimana banyak beredar di grup whatsapp.

Disebutkan bahwa dalam kunjungan kerjanya ke Provinsi Jawa Tengah, Presiden Joko Widodo bertatap muka dengan 16 nelayan yang merupakan perwakilan nelayan Jawa Tengah yang berasal dari Tegal, Batang, Pati dan Rembang.
Pertemuan tersebut dihelat di rumah makan Sate Batibul Bang Awi, Kabupaten Tegal, Senin siang 15 Januari 2018.

Presiden mengatakan bahwa pemerintah dan nelayan terus berupaya mencari solusi dari pelarangan penggunaan cantrang.
“Kita carikan solusi agar nelayan ini juga bisa melaut dengan baik. Tapi juga dari sisi penggunaan alat-alat yang berdampak tidak baik bagi lingkungan itu juga tidak (merusak),” kata Presiden.
Dok KKP
Menanggapi hal ini, Presiden memahami apa yang disampaikan nelayan dalam pertemuan tersebut serta sangat memperhatikan kesejahteraan para nelayan.
Tuntutan para nelayan akan dibahas pada Rabu, 17 Januari 2018 mendatang dengan para wakil dari nelayan, bupati dan Menteri Kelautan dan Perikanan di di Istana Kepresidenan Jakarta.

Sampai di sini, kita seperti tersedot ke masa silam lagi. Betapa ekses kebijakan di dunia perikanan berpotensi menjadi ‘negotiable’.
Tahun 1980, setelah menimbang kisruh antar wilayah di pesisir Nusantara karena konflik sosial beroperasinya trawl, Soeharto mengeluarkan peraturan penghapusan jaring trawl melalui Keppres No 39 Tahun 1980.
Pola ini telah ditempuh Pemerintah sejak dua tahun terakhir dan terdengar seperti suasana ‘de javu’
Kepres itu menjelaskan bahwa penghapusan jaring trawl dilakukan secara bertahap dengan mengurangi jumlah penggunaan jaring trawl terhitung mulai tanggal 1 juli 1980. Pola ini telah ditempuh Pemerintah sejak dua tahun terakhir dan terdengar seperti suasana ‘de javu’.

Padahal upaya tersebut dilakukan substansinya untuk membatasi jumlah kapal trawl yang beroperasi di perairan Indonesia. Secara bertahap pula dilakukan penghapusan seluruh kapal trawl yang berasal dan beroperasi di sekitar Jawa dan Bali.

Semua kegiatan yang menggunakan jaring trawl mulai dilarang pada tanggal 1 Oktober 1980. Para pemilik kapal diberikan hak memilih untuk mengganti alat tangkap selain jaring trawl.
Salah satu korban cantrang
Menimbang solusi
Jika menggunakan logika ekonomi, cantrang memang memberikan manfaat berlipat. Dia menjadi helaan rezeki bagi pengusaha besar tetapi bagaimana dengan nelayan tradisional?

Seperti disebutkan sebelumnya, di beberapa lokasi yang telah menjadi lokasi operasi cantrang, jumlah tangkapan nelayan kian tipis, nelayan cantrang semakin jauh beroperasi. Penggunaanya pu memicu huru-hara sosial.

Eskalasinya yang masif mengancam lokasi tangkapan nelayan tradisional. Akibatnya konflik sosial pecah di sejumlah tempat. Kapal pukat harimau (trawl) dari Kubu Raya, Kalimantan Barat, dibakar nelayan di Kabupaten Ketapang awal tahun 2016.

Sementara 4 unit trawl dibakar di Sumatera Utara dan nelayan dari Pantura dihadang di Kalimantan Selatan. demikian pula di Kalimantan Timur, Bagan Asahan, Nagan Raya Aceh

Nun lampau, di tahun 1980, di Bagansiapi-api, nelayan purse-seine dan pemancing telah mengganggu stabilitas negara saat itu hingga memaksa Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres Nomor 39/1980.
Pada masa diperbolehkan cantrang, banyak pelanggaran operasi jalur (4 mil-12 mil) dan wilayah penangkapan sehingga timbul konflik dengan nelayan lainnya yang mayoritas tidak memakai cantrang.

Tahun 2006 terjadi konflik di Kalimantan Timur. Kapal Cantrang nelayan Bendar dibakar di perairan Kalimantan Timur karena nelayan di daerah itu menuduh pendaratan hasil tangkapan kapal tersebut di pelabuhan perikanan setempat telah merusak harga pasaran ikan.

Akibatnya, pemilik kapal mengalami kerugian yang sangat besar, mencapai hampir 1 miliar rupiah, termasuk nilai ikan hasil tangkapan

KKP melaporkan bahwa dengan pelarangan trawl membuat nelayan pengguna trawl mengubah teknologi penangkapan menjadi kapal purse seine.

Nelayan pun, atas fasilitasi Pemerintah telah banyak melakukan modifikasi pada alat penangkapan ikan guna memperlancar kegiatan penangkapan ikan, sehingga banyak jaring-jaring penangkapan ikan dengan nama lokal yang telah dimodifikasi agar tidak seperti trawl, namun memiliki fungsi dan cara kerja yang tidak jauh berbeda.

“Di Pulau Podang-Podang Pangkep dan nelayan Takalar Sulawesi Selatan, nelayan sudah beralih ke bubu, ke alat tangkap lain mereka patuh dan mengikuti anjuran Pemerintah Pusat,” kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan, Sulkaf S. Latief saat dimintai pendapat tentang efektivitas regulasi cantrang.

Disebut menyandarkan sekira 90% cantrang dari seluruh Indonesia, menjadikan pantai Jawa sebagai ‘dermaga’ harapan bagi nelayan cantrang.
Mencermati perkembangan terbaru, ketika sebagian wilayah mulai efektif menjaga laut dari operasi cantrang di luar Jawa, per 1 Januari 2018, Presiden Jokowi nampaknya tetap membuka ruang untuk solusi ‘jalan tengah’.

Presiden Jokowi disebutkan akan bersua dengan perwakilan nelayan cantrang untuk bertemu di tanggal 17 Januari 2018 di Istana Negara bersama jajarannya.
Meski mengapresiasi gagasan silaturahmi Presiden, namun agenda tersebut di luar perkiraan publik ketika sebelumnya, di tahun lalu, Pemerintah dan perwakilan nelayan telah setuju untuk perpanjangan selama setahun di 2017 bahwa tidak ada toleransi lagi saat pemberlakuan larangan pada 1 Januari 2018.
Ini adalah sebuah setback yang bisa melemahkan semangat pembangunan yang berkeadian dan berkelanjutan.

Tak hanya itu, publik bisa saja menduga ketidakkonsistenan dan ‘lemahnya Negara’ dalam memperjuangkan semangat pelestarian sumber daya alam, prinsip keadilan bagi nelayan kecil dan memastikan jaminan bagi masa depan generasi.

Semakin jauhnya cantrag beroperasi, semakin masifnya mereka memasuki wilayah-wilayah perairan provinis lain, potensi konfliknya akan semakin besar dan terbuka. Regulasi harus terus ditegakkan, sebab dengan itu itulah jargon ‘laut masa depan bangsa’ akan bisa terjaga.
Laut tentu tidak akan menjadi masa depan bangsa, ketika kapal-kapal cantrang yang selama ini beroperasi di Laut Jawa dan telah menguras ikan dasar di pesisir dan, laut pedalaman kini semakin jauh merangsek ke pesisir Kalimantan, ke Masalembu, ke Asahan Sumatera, Nagan Raya Aceh, ke Maluku hingga Papua.
ilustrasi cantrang (Dok KKP)
Isyarat zaman bahwa ada penolakan di beberapa daerah tidak boleh diabaikan oleh rezim.

Logika pembangunan nasional yang telah menyasar perubahan-perubahan terukur baik melalui rencana pembangunan pulau-pulau kecil terluar, sentra kelautan dan perikanan, pengembangan perikanan tangkap, budidaya hingga dukungan penguatan daya saing dan penerapan pengelolaan ruang laut yang lestari dan menyejahterakan seharusnya membuat Pemerintah tetap tegak lurus dan tak terganggu hal-hal kasuistik dan merepresentasi visi jangka panjang Nawa Cita atau Poros Maritim.

Penulis : DEN
Editor: MFM

https://maritimenews.id/de-javu-cantrang-belajarlah-dari-masa-lalu/

Cari Solusi Cantrang, Presiden Tetap Larang Alat yang Merusak

Dok Pers dan Media Sekretariat Presiden
Dalam kunjungan kerjanya ke Provinsi Jawa Tengah, Presiden Joko Widodo bertatap muka dengan 16 nelayan yang merupakan perwakilan nelayan Jawa Tengah yang berasal dari Tegal, Batang, Pati dan Rembang.
Pertemuan tersebut dihelat di rumah makan Sate Batibul Bang Awi, Kabupaten Tegal, Senin siang 15 Januari 2018.

Presiden mengatakan bahwa pemerintah dan nelayan terus berupaya mencari solusi dari pelarangan penggunaan cantrang.

“Kita carikan solusi agar nelayan ini juga bisa melaut dengan baik. Tapi juga dari sisi penggunaan alat-alat yang berdampak tidak baik bagi lingkungan itu juga tidak (merusak),” kata Presiden usai meninjau program padat karya di Dukuh Lo, Kecamatan Lebak Siu, Kabupaten Tegal dalam keterangan resmi.

Dalam pertemuan tersebut, para nelayan juga mengusulkan agar pemerintah melakukan uji petik yang melibatkan para ahli guna membuktikan apakah cantrang ini merusak lingkungan atau tidak.

Menanggapi hal ini, Presiden memahami apa yang disampaikan nelayan dalam pertemuan tersebut serta sangat memperhatikan kesejahteraan para nelayan.
Tuntutan para nelayan akan dibahas pada Rabu, 17 Januari 2018 mendatang dengan para wakil dari nelayan, bupati dan Menteri Kelautan dan Perikanan di di Istana Kepresidenan Jakarta.

“Nanti hari Rabu (17/1), intinya tadi kita sudah bertemu, sudah sama-sama ketemu solusinya. Hanya nanti lebih didetailkan lagi di Jakarta,” tutur Presiden.
Turut hadir dalam pertemuan tersebut, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, Bupati Tegal Enthus Susmono, Wakil Walikota Tegal Nursholeh dan Bupati Pati Haryanto.

Penulis : Dwi Gema Kumara
 https://maritimenews.id/presiden-akan-cari-solusi-soal-cantrang-tapi-tetap-larang-alat-tangkap-yang-merusak-lingkungan/

Cantrang dan Serba-serbinya

Ramai isu penolakan yang mengatasnamakan nelayan terhadap pelarangan alat tangkap cantrang. Pelarangan alat tangkap ikan (API) cantrang tersebut berkaitan dengan keputusan berdasarkan Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti Nomor 72/MEN-KP/II/2016 tentang Pembatasan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Cantrang di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Indonesia (WPNRI).
Dibalik pro dan kontra yang terus bergulir, mari kita mengenal kembali apa itu sebenarnya cantrang.

Cantrang berbentuk kantong terbuat dari jaring dengan 2 (dua) panel dan tidak dilengkapi alat pembuka mulut jaring. Bentuk konstruksi cantrang tidak memiliki medan jaring atas, sayap pendek dan tali selambar panjang.
Dok KKP
Rata-rata ukuran mata jaring cantrang yang digunakan adalah 1,5 inchi. Cantrang dioperasikan dengan cara menarik jaring di dasar laut dengan menggunakan satu kapal. Pada saat penarikan kapal dapat ditambat atau tanpa ditambat.

Cantrang merupakan pengembangan dari API Danish Seine yang menggunakan satu kapal dan tali selambar berat agar menyentuh
dasar laut (seabed).

Pengoperasian cantrang berpotensi mengganggu dan merusak ekosistem dan tempat tumbuhnya biota laut semisal jasad renik yang menjadi makanan ikan. Kondisi ini menyebabkan produktivitas dasar perairan berkurang.
Cantrang dikenal sebagai alat tangkap populer di kalangan nelayan pantai utara Jawa (Pantura) sejak tahun 1960 dengan ukuran kapal sekitar 5 GT.
Pasca diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl dan, banyak nelayan eks trawl yang beralih menggunakan alat penangkap ikan cantrang.
Dok KKP
Alat tangkap Gillnet
Ada alat tangkap yang ramah lingkungan yaitu gillnet. Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim menyebutkan bahwa salah satu alat penangkapan ikan yang lebih ramah lingkungan yakni gillnet millennium
Gillnet millenium adalah jaring insang seperti pada umumnya, merupakan jaring yang berbentuk persegi panjang, terdiri dari tali ris atas, tali pelampung, badan jaring, tali ris bawah, dan tali pemberat.
Gillnet
Dok KKP
Kondisi fisik yang membedakannya adalah bahan jaring yaitu berupa benang nylon PA monofilament terdiri dari 6-10 serat yang tidak dipintal (pintalan sangat lunak) berwarna putih atau perak.

Warna keperakan ini oleh masyarakat nelayan diidentifikasi dengan millennium, dalam istilah asing disebut Untwisted polyamide.

Sehingga sangat jelas perbedaan Antara cantrang yang tak ramah lingkungan dengan gillnet. Saat ini KKP terus mensosialisasikan pada nelayan untuk terus beralih menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan dan tentu tetap produktif secara ekonomis
Penulis: Dwi Gema Kumara
Editor : MFM

https://maritimenews.id/cantrang-dan-serba-serbinya/

Tidak ada komentar: