IUU Fishing adalah permasalahan serius yang bukan
hanya merugikan perekonomian negara kepulauan seperti Indonesia, merusak
upaya-upaya konservasi untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya
perikanan, IUU Fishing yang dilakukan oleh kapal-kapal asing juga adalah salah satu bentuk ancaman kedaulatan negara. IUU Fishing
adalah terminologi umum yang digunakan dunia international terhadap
pelanggaran peraturan-peraturan penangkapan ikan baik di laut lepas
maupun diperairan teritorial sebuah negara.
Walaupun akar permasalahan nya adalah illegal fishing, namun International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IPOA-IUU) yang di adopsi dalam National Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (NPOA-IUU)
melalui keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 50 Tahun 2012,
mendefinisikan kejahatan dalam dunia perikanan ini ke dalam tiga konsep
yang berbeda; Illegal fishing (I) yaitu operasi penangkapan
ikan yang melanggar hukum baik dari negara setempat jika dilakukan di
zona ekonomi eksklusif (ZEE) maupun dari regional management organizations (RFMOs) jika dilakukan di laut lepas, unreported (U) adalah penangkapan yang tidak dilaporkan atau keliru terlaporkan, sedangkan unregulated
(U) adalah kegiatan penangkapan ikan yang belum diatur bisa atau
kegiatan perikanan yang dilakukan di area yang belum memiliki
upaya-upaya pengelolaan and konservasi perikanan.
Meningkatkan Efektifitas Membasmi IUU Fishing
Praktik IUU Fishing yang sangat masif dan merugikan negara
di masa lalu membuat pemerintah saat ini menetapkan dan
mengimplemetasikan kebijakan-kebijakan yang juga masif bahkan tergolong
keras bertujuan menciptakan efek jera. Beberapa media negara tetangga
bahkan menilai bahwa langkah Pemerintah Indonesia terkait penanggulangan
IUU Fishing adalah sangat keras, tradisional
(seperti penenggalaman kapal asing), menunjukkan Indonesia sebagai
negara baru yang sombong dan bahkan tidak sesuai dengan spirit ASEAN
yang mengutamakan dialog dan kompromi. Seperti yang dikemukakan Presiden
Jokowi, bahwa kebijakan penenggelaman kapal asing pelaku illegal fishing bertujuan sebagai shock therapy yang diharapkan dapat menghasilkan efek jera bagi para pelaku IUU Fishing
selama ini di perairan Indonesia. Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan
dan Perikanan menguatkan perkataan Presiden Jokowi dan mengungkapkan
bahwa kebijakan penenggelaman kapal telah didasarkan pada prinsip
keberlanjutan. Namun, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber daya
Kelautan dan Perikanan (PSDKP) dalam Buku Refleksi 2016 dan Outlook 2017
menyebutkan bahwa terjadi peningkatan jumlah kapal ikan asing (KIA)
dari 84 kapal di tahun 2015 menjadi 140 di tahun 2016 yang berhasil
ditangkap.
Sebuah penelitian yang dipublikasikan tahun 2016 juga mengungkapkan bahwa tidak ada pengurangan Jumlah kapal illegal fishing
yang ditemukan di pangkalan PSDKP di Bitung. Peningkatan jumlah KIA
ini dapatkah diinterpretasi sebagai bentuk peningkatan keberhasilan
operasi penangkapan? Ataukah kebijakan baru pemerintah dalam memberantas
Illegal fishing ini belum berhasil mencapai tujuannya:
meningkatkan efek jera? Jadi efektifkah kebijakan-kebijakan ini dalam
menghasilkan efek jera sehingga perikanan kita sekarang dapat
dikategorikan lestari?
Ada beberapa hal mendasar yang perlu dipahami dalam upaya meningkatkan efektifitas penyelesaian IUU Fishing di Indonesia.
Pertama, polemik ketidakjelasan perbatasan dengan negara tetangga dapat menghambat upaya pemberantasan IUU Fishing
di Indonesia. Walaupun Indonesia telah berhasil menegosiasikan
penetapan batas-batas maritim dengan negara tetangga sejak tahun 1969,
namun hingga kini beberapa segmen perbatasan masih menjadi perdebatan.
Polemik Laut China Selatan misalnya, diklaim Indonesia sebagai wilayah
ZEE di sekitar perairan Pulau Natuna overlap dengan klaim China atas wilayah 9 dash line-nya.
Perselisihan wilayah perbatasan ini berpotensi menghambat upaya pemberantasan IUU Fishing. Hal ini dikarenakan klaim terhadap fishing grounds yang sama menyebabkan ketidakjelasan antara legal dan illegal fishing grounds
bagi nelayan setempat. Insiden tertangkapnya kapal penangkap ikan
China, Kwey Fey yang beroperasi ilegal di perairan ZEE Indonesia bulan
Maret 2016 lalu misalnya bisa saja akan terjadi kembali jika
permasalahan perbatasan ini tidak terselesaikan.
Kedua, ketiadaan kerjasama dengan negara tetangga terkait upaya pengelolaan stok ikan bersama. IUU Fishing
adalah permasalahan bersama negara-negara ASEAN. Secara umum,
negara-negara ASEAN memiliki karakteristik perikanan yang hampir sama:
didominasi perikanan tradisional skala kecil dengan implementasi
instrumen-instrumen pengelolaan perikanannya yang lemah seperti sistem
registrasi kapal perikanan yang kurang efektif menjadi alat bagi negara
mengontrol kegiatan penangkapan ikan warga negaranya, lemahnya kapasitas
negara dalam kegiatan monitoring, control and surveillance (MCS) serta lemahnya informasi (scientific data)
mengenai kondisi status stok ikan. Hal ini mengakibatkan banyaknya
nelayan-nelayan yang melakukan operasi penangkapan lintas perbatasan
dengan mudah.
Negara-negara ASEAN sejak lama telah memulai kerjasama dalam sektor perikanan yang terwujudkan dalam kegiatan-kegiatan joint MCS sebagai bentuk upaya pemberantasan IUU Fishing.
Namun pembahasan kerjasama mengenai pengelolaan stok ikan bersama
sepertinya jauh panggang dari api. Hal ini dikarenakan masing-masing
negara masih cenderung enggan mengontrol daya penangkapan ikannya yang
memicu eksploitasi berlebih serta mengancam sumberdaya perikanan yang
ada. Kerjasama perikanan regional dalam bentuk joint MCS yang diperkuat dengan kerjasama regional pengelolaan stok ikan bersama akan mengefektifkan upaya-upaya pemberantasan IUU Fishing sehingga keberlanjutan sumberdaya perikanan di kawasan Asia Tenggara dapat terwujud.
Ketiga, upaya-upaya pemberantasan IUU Fishing
dapat terhambat dengan kurang memadainya kapasitas MCS yang dibutuhkan
untuk mengamankan 5.8 milliar km2 laut Indonesia. Dalam laporan
Refleksi 2016 dan Outlook 2017, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber
Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) menyebutkan sejak tahun 2001 sampai
dengan 2016 terdapat 35 kapal pengawas perikanan, 1 unit kapal pengawas
sumber daya kelautan dan 109 unit speedboat pengawasan. Jumlah
ini tentu saja masih kurang memadai dibandingkan besaran luas laut
Indonesia. Kurang kuatnya armada pengawasan kita menjadikan
kebijakan-kebijakan pemberantasan illegal fishing menjadi kurang efektif.
Lemahnya armada pengawasan ini berpotensi membuat aparat penegak
hukum cenderung tebang pilih, berani terhadap kapal-kapal yang lebih
kecil (atau dari negara-negara yang kurang kuat) namun lemah terhadap
kapal-kapal yang berasal dari negara besar seperti China. Hal ini
terlihat dari pembiaran kapal penangkapan ikan China, FU Yuan Yu 80 yang
beroperasi ilegal di lepas pantai utara Jakarta pada Februari 2015 oleh
TNI Angkatan Laut. Sejak Desember 2014, TNI Angkatan Laut telah mencoba
menangkap 22 kapal pelaku illegal fishing, namun hanya sekitar
8 kapal saja yang benar-benar tertangkap. Penambahan kapasitas
pengawasan menjadi krusial jika tidak kebijakan penenggalaman kapal
pelaku illegal fishing hanya akan terlihat tidak lebih sebagai ajang penunjukkan kekuatan.
Keempat, lemahnya koordinasi dan harmonisasi antar institusi pemerintah dapat mempengaruhi upaya pemberantasan illegal fishing. Implementasi penerapan logbook
perikanan yang diatur oleh Kepmen KP No. 3 tahun 2002 dan Permen KP No.
18 tahun 2010 yang baik misalnya, dapat digunakan sebagai tool
bagi Kementerian Keuangan dalam memvalidasi data hasil tangkapan yang
dilaporkan oleh perusahaan perikanan kepada Direktorat Jenderal
Perpajakan.Logbook adalah laporan harian yang memuat semua
informasi kegiatan operasi penangkapan ikan oleh nakhoda seperti jumlah
tangkapan, alat tangkap, daerah penangkapan, jenis dan jumlah upan yang
digunakan hingga banyaknya bahan bakar yang dihabiskan dalam satu trip
penangkapan.
Koordinasi yang kuat antar dua kementerian ini akan mendorong Kementerian Kelautan dan Perikanan selaku penanggung jawab logbook untuk senantiasa meningkatkan kevalidatisan logbook ini guna mendukung penarikan jumlah pajak yang benar oleh Kementerian Keuangan. Penerapan logbook yang baik akan menguatkan upaya pemberantasan IUU Fishing
serta menguatkan formulasi manajemen perikanan sehingga dapat
menghasilkan kebijakan pemanfaatan sumber daya perikanan yang tepat.
Menuju Pengelolaan Perikanan yang Berkelanjutan
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah
luasan laut mencapai 5.8 juta km² ini memiliki karakteristik perikanan
yang unik. Walaupun didominasi oleh perikanan tradisional skala kecil
dengan tekologi yang sangat sederhana namun Indonesia adalah salah satu
produsen utama tuna dunia, bahkan FAO, organisasi dunia yang mengurusi
pangan di tahun 2016 menyebutkan Indonesia sebagai negara terbesar
penghasil perikanan tangkap kedua setelah China. Tentu saja hal ini
sangat membanggakan. Namun, dunia juga mengakui bahwa perikanan
Indonesia masih memiliki beberapa kekurangan, salah satunya adalah
lemahnya sistem pendataan perikanan. Perikanan tradisional skala kecil
Indonesia masih tergolong unregulated atau masih belum sepenuhnya diatur sebagaimana mestinya.
Dalam hal pemberian izin misalnya, nelayan skala kecil dalam
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 1 tahun 2017 didefinisikan
sebagai kapal-kapal tangkap ikan yang berukuran paling besar 10 gross tonnage
(GT) tidak diwajibkan memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI),
Surat Izin Kapal Penangkut Ikan (SIKPI) maupun surat izin usaha
penangkapan ikan (SIUP). Di samping itu, nelayan skala kecil juga
dibebaskan dari kewajiban melaporkan jumlah tangkapan ikannya. Kemudahan
ini tentu saja baik karena menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap
nelayan kecil. Namun hal ini dapat menjadi bumerang bagi perencanaan
pengelolaan dan manajemen sumberdaya perikanan. Hasil penelitian terbaru
mengestimasi jumlah hasil perikanan skala kecil dan medium di perairan
Indonesia mencapai 33-38 % lebih tinggi ketimbang yang terlaporkan
selama ini.
Ketidaklengkapan data dan informasi penangkapan ikan yang bersumber
dari tidak tercatatnya hasil tangkapan nelayan-nelayan kecil di beberapa
daerah, pencatatan yang kurang tepat, yang diakibatkan oleh
ketidaktahuan dan ketidakpedulian nelayan-nelayan melaporkan hasil
tangkapannya serta kurangnya kapasitas petugas pencatatan data
menyebabkan formulasi pengelolaan dan manajemen perikanan didasarkan
pada data dan informasi yang kurang akurat yang tentu saja berpotensi
memicu ekploitasi yang sebenarnya sudah melebihi batas kapasitas
sumberdaya yang ada atau yang biasa disebut dengan overexploitasi.
Di samping itu, nelayan-nelayan kecil yang mayoritas beroperasi diperairan teritorial masih banyak menargetkan juvenile tuna
yang tentu saja mengancam keberlanjutan perikanan terutama jika
informasi dan data ini terlewatkan dari formulasi kebijakan perikanan.
Perbaikan dan penguatan sistem pencatatan dan pengelolaan informasi
perikanan yang efektif dan akurat adalah hal salah satu penting terutama
karena, pemerintah melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.
25 tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan
Perikanan tahun 2015 -2019, telah menetapkan rencana penerapan sistem
kuota penangkapan ikan, di mana dokumentasi yang lengkap yang
menggambarkan keseluruhan hasil tangkapan menjadi salah satu syarat
utamanya.
Terakhir adalah upaya penguatan pemahaman akan best practice of fish handling on board
atau proses menjaga dan meningkatkan kualitas ikan serta peningkatan
higienitas pada pelabuhan pendaratan ikan guna dapat menembus pasar
ekspor. Absennya pemahaman akan higienitas dan teknologi yang dimiliki
menyebabkan banyaknya hasil tangkapan nelayan selama ini tidak dapat
menembus pasar ekspor. Preferensi akan produk ikan yang berkualitas
(higienitas yang baik) yang dihasilkan secara lestari atau yang telah
melalui upaya penerapan langkah-langkah pengelolaan perikanan yang
berkelanjutan, mendominasi pasar dunia saat ini. Sehingga peningkatan
kualitas ikan yang dibarengi dengan upaya manajemen perikanan selain
dapat mendorong meningkatkan harga ikan dan meningkatkan kesejahteraan
nelayan juga dapat menekan laju eksploitasi yang juga adalah salah satu
cara menuju perikanan yang berkelanjutan.
Nilmawati
Peneliti DFW-Indonesia, PhD Candidate
Political Economy and Transnational Governance
University of Amsterdam (UvA)
n.nilmawati@uva.nl
http://dfw.or.id/basmi-iuu-fishing-menuju-perikanan-yang-berkelanjutan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar