Jakarta (7/6). Kegiatan penangkapan ikan secara tidak
bertanggungjawab bukan hanya terbatas pada kegiatan penangkapan ikan
secara ilegal (illegal fishing), tetapi juga terdapat kegiatan penangkapan ikan dengan cara-cara yang merusak (destructive fishing).
Kegiatan ini juga dapat menyebabkan kerugian yang besar terutama
terhadap kelestarian ekosistem perairan yang ada. Untuk itu, Kementerian
Kelautan dan Perikanan, lewat Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber
Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) berupaya terus untuk menjaga laut
dari ancaman destructive fishing. Demikian diungkapkan Direktur Jenderal PSDKP, di Jakarta (7/6).
Selanjutnya, Eko menambahkan kegiatan destructive fishing yang
dilakukan oleh oknum masyarakat umumnya menggunakan bahan peledak (bom
ikan), dan penggunaan bahan beracun untuk menangkap ikan. Penggunaan
bahan-bahan tersebut mengakibatkan kerusakan terumbu karang dan
ekosistem di sekitarnya, serta menyebabkan kematian berbagai jenis dan
ukuran yang ada di perairan tersebut. Setidaknya, hasil penelitian World
Bank tahun 1996 menunjukkan bahwa penggunaan bom seberat 250 gram akan
menyebabkan luasan terumbu karang yang hancur mencapai 5,30 m2.
Dalam hal pengawasan kegiatan destructive fishing,
Direktorat Jenderal PSDKP melalui para Pengawas Perikanan yang tersebar
di seluruh Indonesia serta instansi terkait lainnya telah berhasil
menggagalkan kegiatan pengggunaan bom ikan. Keberhasilan terbaru
dilakukan oleh Pangkalan PSDKP Tual yang menggagalkan penangkapan ikan
menggunakan bom di perairan Tual, Provinsi Maluku pada bulan Maret 2017.
Selanjutanya pada tanggal 10 April 2017 Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Nusa Tenggara Barat bersama TNI Angkatan Laut juga berhasil
menggagalkan penangkapan ikan menggunakan bom di perairan Lombok Timur.
Sementara pada tanggal 30 Mei 2017, Polair Polda Sulawesi Selatan juga
menangkap pelaku penangkapan ikan menggunakan bom di perairan Barang
Lompo, Sulawesi Selatan.
Sementara itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
menyebutkan bahwa setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa,
dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu
penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya
ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia. Apabila diketahui dan didapatkan cukup bukti terdapat oknum
masyarakat yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan cara merusak,
maka dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun atau
denda paling banyak Rp. 2 milyar.
Perlu Peran Serta Masyarakat Atasi Destructive Fishing
Dengan luasnya wilayah laut Indonesia, memang terdapat keterbatasan Pemerintah untuk mengawasi kegiatan destructive fishing. Mulai
dari keterbatasan personil pengawasan, kapal pengawas, dan jangkauan
wilayah yang sangat luas. Untuk itu, peran serta masyarakat sangat
diperlukan untuk bersama-sama memerangi pelaku destructive fishing.
Peran serta masyarakat dapat dilakukan dengan mengamati atau memantau
kegiatan perikanan dan pemanfaatan lingkungan yang ada di daerahnya,
kemudian melaporkan adanya dugaan kegiatan destructive fishing kepada Pengawas Perikanan atau aparat penegak hukum, pungkas Eko.
http://www.djpsdkp.kkp.go.id/arsip/c/491/?category_id=20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar