JAKARTA
(8/5) – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), hari ini, Senin
(8/5), mengadakan rapat koordinasi (rakor) dengan Kepolisian Republik
Indonesia (Polri) terkait penanganan illegal, unreported, unregulated
fishing (IUUF), di Gedung Mina Bahari IV, Jakarta. Rakor tersebut
utamanya ditujukan untuk membahas perlindungan dan penanganan
pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan kecil.
Rakor dipimpin oleh Menteri Kelautan dan
Perikanan Susi Pudjiastuti, dan dihadiri oleh Kepala Korps Polisi
Perairan dan Udara (Polairud) Badan Pemeliharaan dan Keamanan (Baharkam)
Polri Muhamad Khairul, para Direktur Polisi Perairan dari seluruh
Kepolisian Daerah, dan para pejabat eselon I KKP.
Dalam kesempatan tersebut, Menteri Susi
menyampaikan terima kasih kepada jajaran Kepolisian Republik Indonesia
yang telah bekerja sama dengan KKP dalam upaya-upaya pengamanan dan
penegakan hukum, demi terciptanya kedaulatan sumber daya ekonomi
kelautan dan perikanan Indonesia. Menurut Menteri Susi, segala terobosan
yang telah dibuat selama ini, tidak mungkin dapat dilakukan tanpa
koordinasi yang baik antar berbagai instansi, khusunya KKP dan Polri.
“KKP bersama Polri khususnya Polair, selama ini telah berupaya
memberantas illegal fishing. Urusan kita selesai melawan illegal fishing
dari luar, kini, kanan kiri kita diserang oleh orang-orang yang coba
membetulkan diri. Tidak heran di Indonesia pendapatan negara dari
perikanan rendah. Kenapa? Karena masih banyak markdown untuk menghindari
pajak. Di sini kerugian negara akibat markdown ini mencapai Rp13 trilun
lebih,” ungkap Menteri Susi.
Untuk itu, Menteri Susi meminta, jajaran
Polairud untuk tegas mengawal pengukuran ulang kapal perikanan di empat
wilayah, yaitu Medan, Cirebon, Batam, dan Jakarta.
Dalam kesempatan tersebut, Menteri Susi
juga mengimbau kepolisian untuk menerapkan penegakan hukum yang
berkeadilan, dengan mengutamakan perlindungan bagi nelayan kecil, guna
mendorong kesejahteraan nelayan. Menurutnya, guna mencapai hal tersebut,
pemerintah telah menetapkan beberapa instrumen perundang-undangan
perlindungan nelayan, di antaranya Undang-undang Perikanan Nomor 7 Tahun
2016 dan Permen KP Nomor 1 Tahun 2017.
Beberapa perlindungan nelayan yang diatur di antaranya pembebasan
nelayan kecil dari kewajiban untuk memasang sistem pemantauan kapal
perikanan (VMS); pembebasan nelayan kecil dari kewajiban memiliki
SIUP/SIPI/SIKPI; pembebasan nelayan kecil dari kewajiban membayar
pungutan perikanan; kebebasan nelayan kecil untuk melakukan penangkapan
ikan di seluruh WPP RI; dan penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi,
dengan cara membebaskan biaya penerbitan perizinan yang terkait dengan
Penangkapan Ikan. Perizinan yang berlaku terkait dengan Penangkapan Ikan
bagi Nelayan Kecil, antara lain, surat ukur, surat tanda bukti lapor
kedatangan, dan keberangkatan kapal, dan surat persetujuan berlayar yang
tidak dipungut biaya dalam pengurusannya.
Di samping perlindungan nelayan kecil,
Menteri Susi juga menekankan pendekatan penanganan atas dugaan
pelanggaran ketentuan pidana perikanan. Utamanya penanganan pelanggaran
ketentuan pidana perikanan yang dilakukan nelayan kecil, misalnya
terkait penggunaan alat tangkap terlarang dan berlayar tanpa Surat
Persetujuan Berlayar (SPB).
Menteri Susi menginginkan dilakukannya
pendekatan pembinaan terhadap nelayan ketimbang pengenaan sanksi pidana.
“Jangan sampai nelayan kecil harus dipenjara, kapal terpaksa dirampas,
dan akhirnya mereka terhambat dalam mencari nafkah,” jelas Menteri Susi.
Menteri Susi menilai, situasi-situasi
tersebut bertentangan dengan rasa keadilan dalam masyarakat dan
menjauhkan Indonesia dari tujuan tercapainya kedaulatan, kesejahteraan
dan keberlanjutan, kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
Menurut Menteri Susi, pendekatan
penegakan hukum pidana semestinya dijadikan ultimum remedium bagi
nelayan kecil yang diduga melakukan pelanggaran. Hal ini sejalan dengan
Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang perlindungan nelayan yang
menginstruksikan kepada Polri untuk mengutamakan upaya preventif dan
edukatif dalam penegakan hukum di bidang perikanan terhadap nelayan
kecil.
“Mari kita bersama-sama melakukan
pendekatan pembinaan kepada seluruh nelayan kecil yang melakukan
pelanggaran ketentuan tindak pidana perikanan. Khususnya untuk
pelanggaran berlayar tanpa Surat Persetujuan Berlayar dan pelanggaran
penggunaan alat tangkap,” ajak Menteri Susi. Namun Ia menekankan,
penanganan pidana akan tetap diberlakukan terhadap kegiatan penangkapan
ikan yang bersifat destruktif (destructive fishing), seperti menangkap
ikan dengan menggunakan Bom Ikan.
Selain itu, Menteri Susi juga mengajak
KKP dan Polairud mewaspadai berkembang modus kejahatan terorganisir IUUF
dengan memanfaatkan kapal berukuran kecil, contohnya penggunaan Pump
Boat berukuran dibawa 10 GT sebagai “pasukan semut” dalam kejahatan IUUF
yang terorganisir. Menurutnya, dalam kasus ini, penegakan hukum harus
tetap dilaksanakan.
Terkait penggunaan alat tangkap
cantrang, Menteri Susi meminta jajaran KKP bersama aparat kepolisian
secara aktif menyosialisasikan peralihan ke alat tangkap ramah
lingkungan kepada nelayan. “Untuk cantrang ini, mari bersama-sama kita
aktif melakukan sosialisasi dan pembinaan kepada nelayan-nelayan kita,
agar beralih alat tangkap sebelum batas akhir yang telah ditentukan,
akhir tahun 2017,” tandasnya.
Lilly Aprilya Pregiwati
Kepala Biro Kerja Sama dan Humas KKP
Kepala Biro Kerja Sama dan Humas KKP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar