Investigasi Majalah Tempo Tentang Pencurian Ikan
Orang
dalam di Kementerian Perhubungan dan Kementerian Perikanan dituding
memuluskan izin kapal siluman. Makelarnya digaji ribuan dolar perbulan.
AGAK
tergesa, Luther Palambi turun dari Mabiru 15, kapal penangkap ikan
berbendera Indonesia yang baru saja sandar di dermaga Pelabuhan
Perikanan Nusantara Ambon, Maluku, pada medio Maret lalu. Pelaut lulusan
Sekolah Pelayaran Poso ini menjinjing koper hitam yang sedikit kusam.
Isinya dokumen perizinan kapal, dari surat laik operasi kapal, surat
aktivitas transmitter kapal, hingga segepok paspor puluhan awak
kapalnya.
Meski
tugasnya cuma mengurus surat-surat kapal dan izin penangkapan ikan,
Luther menyandang jabatan keren. Dialah nakhoda kapal Maribu 15. Lho, kapten kapal besar berbobot sampai 365 gross tonnage kok repot mengurus izin ini-itu? Luther tersenyum kecut sebelum menjawab, “Ada dua kapten di Maribu. Satunya orang Thailand.
Menurut
Luther, kapten Thailand bertanggung jawab atas pengawasan dan
memastikan operasional kapal berlangsung lancar. “Yang lainnya tugas
saya, termasuk mengurus surat izin ke syahbandar,” kata Luther.
Kapten
seperti Luther bukan barang aneh di banyak pelabuhan perikanan di
Indonesia. di Ambon, Bitung, Tual, sampai Sorong, banyak pelaut
Indonesia di pekerjakan sebagai “kapten boneka”.
Mereka
semua bertuga di atas kapal
siluman- kapal berbendera Indonesia yang sebenarnya dikendalikan orang
asing. Sang pemilik asli, atau orang kepercayaanya, biasanya juga ada
diatas kapal. Kadang mereka menyaru jadi master fishing atau engineer. Merekalah kapten kapal yang sesungguhnya.
Kepala
Kantor Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Bitung, Pung
Nugroho Saksono, membenarkan fenomena ini. Membuktikannya pun, kata dia,
tak sulit: semua kapal siluman pasti melakukan perawatan berkala alias docking ke negara asalnya. “Ini mencurigakan karena ada banyak galangan kapal
di Bitung,” kata Pung ketika ditemui Tempo pada akhir Mei lalu. Kalau memang kapal itu milik orang Indonesia, kenapa harus docking jauh-jauh?”
Pung
lalu membuka data pengawasan lembaganya di Bitung dan menunjukkan table
berisi daftar penerbitan surat berlayar sepanjang 2013. Tercatat ada
sedikitnya 52 kapal penangkap ikan yang berlayar ke Pelabuhan General
Santos di Filipina dan Pelabuhan Kaoshiung, Taiwan, untuk docking. “Padahal, secara legal, kapal-kapal itu milik perusahaan dalam negeri,” kata Pung sambil
geleng-geleng.
SETIAP
pemilik kapal siluman pasti membutuhkan calo atau makelar untuk
mengurus perizinan di Indonesia. Sang makelar yang bertugas menyiasati
aturan agar kapal dari Thailand, Taiwan, dan Filipina itu bisa bebas
mencari ikan di perairan Nusantara.
Tak
sulit menjadi calo kapal asing. Seorang
pengusaha yang pernah mengendalikan ratusan kapal siluman di Batam,
Bitung, sampa Sorong, bercerita bahwa hal pertama yang dibutuhkan hanya
selembar surat izin usaha perikanan. Berbekal surat itu, seorang calo
bisa memohon alokasi area penangkapan ikan kepada Kementerian Kelautan
dan Perikanan. Sayangnya, pengusaha ini tak mau namanya disebut karena
khawatir bisnisnya terganggu. Dia masih sering membantu kapal asing yang
hendak beroperasi di Indonesia.
Dalam
prosedur pengajuan kedua izin vital tersebut, pemerintah memang tidak
memeriksa kepemilikan kapal pemohon. Dengan kata lain, seorang bisa
mendapatkan izin penangkapan ikan meski tak punya
satu pun kapal.
Celah
inilah yang dimanfaatkan oleh calo. Berbekal kedua dokumen itu, mereka
pergi ke Pelabuhan Songkhla di Thailand, General Santos di Filipina,
atau Kaoshiung di Taiwan. “Di sana banyak pemilik kapal ikan yang siap
diajak bekerja sama,” ujar si pengusaha. Jika harga disepakati, sang
calo kembali ke Tanah Air dan mulai mengurus dokumen perizinan untuk
kapal asing itu. “Seluruh biaya ditanggung pemilik kapal,” katanya.
Pertama-tama,
sang calo harus mengurus perubahan kepemilikan kapal dari berbendera
asing ke bendera Indonesia. Ini diurus di Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan. Setelah itu, kapal harus
mengantongi surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin kapal
pengangkut ikan (SKIPI) di Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Meski
kedua izin terakhir itu harus diurus di kantor Kementerian di Ibu Kota,
Makelar di pelabuhan semacam Bitung dan Ambon sudah punya jaringan
sampai ke Jakarta.
“Mereka punya orang dalam,” kata penguasa ini.
Biasanya,
calo menggeluti berbagai bidang usaha sebagai upaya penyamaran. Ada
yang punya perusahaan penangkapan ikan meski jarang melaut. Ada juga
yang memiliki unit pengolahan ikan ala kadarnya. Semua usaha itu hanya
kedok untuk bisnis utama mereka: makelar perizinan.
Seorang
petinggi Kementerian Kelautan dan Perikanan tak membantah informasi
ini. Dia tak mau bicara terbuka karena khawatir kehilangan posisinya.
“Brokernya banyak sekali, dari barat sampai ke timur Indonesia,”
katanya.
Sang
pejabat mengaku kementeriannya kewalahan mengatasi ulah para calo ini.
Meski bukan wilayah tugasnya, dia menyarankan sebuah cara jitu untuk
membongkar kedok para makelar. “Cek saja alamat yang dipakai pada surat
izin usaha perikanan mereka,” katanya. Ketika bertugas di bidang
pengawasan, dia mengaku pernah menemukan bengkel, apotek, sampai toko
kelontongan dipakai sebagai alamat usaha perikanan.
MESKI
pengawasan sudah diperketat, calo tak kekurangan akal. Pasalnya,
imbalan untuk mereka juga selangit. Seorang calo di Bitung bercerita
bagaimana dia dibayar Rp. 10 juta setiap bulan selama kapal siluman
beroperasi di Indonesia. itu belum termasuk komisi untuk keberhasilan
mengurus izin yang bisa sampai Rp 100 juta per kapal.
Seorang
calo lain berkisah bahwa tarif mereka juga bergantung pada area
penangkapan ikan yang diinginkan. Jika kapal asing itu minta lokasi
penangkapan ikan di sekitar Natuna, makelar akan minta honor US$ 5.000
per bulan alias lebih dari Rp 50 juta. Adapun tarif makelar di laut
Sulawesi mencapai US$ 7.000. Tarif untuk makelar yang bisa mencarikan
area penangkapan ikan di Laut Arafura adalah yang paling mahal: US$ 10
ribu. “Soalnya, ikan disana masih banyak,”katanya.
Bekas
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Aji
Soelarso mengiyakan semua informasi itu. Merogoh kocek ratusan juta
rupiah untuk mendapatkan izin dari pintu belakang, kata dia, tak ada
artinya bagi pemilik kapal siluman. Soalnya, sekali melaut di Indonesia,
mereka mendapat tangkapan ikan bernilai triliunan rupiah. “Apalagi
hasil tangkapan kapal abal-abal itu langsung diangkut ke negara asalnya,
tak mampir ke pelabuhan kita,” kata Aji.
KEBERADAAN
kapten
boneka yang merangkap jadi calo perizinan kapal siluman sudah lama jadi
keprihatinan pemerhati perikanan di Indonesia. “Banyak kapten
kapal kita yang memang hanya bertugas mengurusi dokumen,” kata Abdul
Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
(Kiara), kepada Tempo, awal Jui lalu.
Selain
untuk mengurus dokumen, nama mereka dicatut buat dicantumkan dalam
surat izin dan dokumen perizinan berlayar. “Ini harus ditertibkan.”
Katanya. Tanpa peran calon dan kapten boneka ini, sebenarnya pemilik
kapal asing tak punya celah untuk mencari ikan di perairan Nusantara.
Halim
memastikan bahwa perbaikan di sektor perizinan akan berperan besar
mengatasi maraknya pencurian ikan di negeri ini. “Selama ini permainan
izin kapal eks asing ini merupakan sumber masalah yang tak pernah
ditangani,” katanya tegas.
Ketika
dimintai konfirmasi, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Gellwyn Jusuf
menolak tudingan tentang banyaknya permainan broker di lembaganya.
“Broker memang ada, tapi mereka punya kuasa resmi untuk mengurus
perpanjangan izin kapal,” katanya. Meski begitu, dia
berjanji menindak tegas makelar yang membuka pintu bagi pencoleng ikan
di Indonesia.
Sumber: Majalah Tempo, 23-29 Juni 2014.
Nelayan Salah
kelola sumberdaya ikan kita karena tdk adanya jiwa Nasionalisme
Perikanan oleh oknum pemerintah dan sebagian besar perusahaan pendamping
swasta abal-abal peternak kapal. Kondisi ini yg menyebabkan kegagalan
hampir seluruh program peningkatan produksi
dan kesejahteraan bagi 2,7jt nelayan NKRI melalui kegiatan Blue Economy
Perikanan, minapolitan, SLIN, pasar ikan nasional hiegenis, 1000 kapal
Nasional Inkamina yg ukuran kecil kalah bertarung dg kapal ikan modern
asing berukuran besar dilaut ZEE. Program restrukturisasi armada kapal
perikanan Nasional sebaiknya dibuat kapal yg berukuran besar diatas
200GT terutama untuk laut Arafura, tenaga kerja berpengalaman dan
terdidik jumlahnya banyak, pelabuhan perikanan dan industri perikanan
banyak. Kenapa ada apa kok menjadi tuan rumah di negeri sendiri gak
bisa? Ini salah urus karena tdk cerdas atau penakut dg tekanan mafia
perikanan yg didukung dg kekuatan tekanan politik ekonomi bangsa asing?
Jika ini yg terjadi maka dpt disimpulkan perikanan kita masih terjajah
dan 2,7jt nelayan NKRI akan tetap miskin, program pembangunan perikanan
ke laut ZEE slalu terhambat/gagal, anak bangsa sekolah perikanan kita
tdk memilki masa depan yg lebih baik dan hanya menjadi orang perikanan
kelas dua di negeri sendiri dg predikat Nakhoda Boneka Dakocan diatas
kapal. Salah urus perikanan nasional ZEE berakibat rakyat bangsa negara
dan pembangunan perikanan nasional jadi korban. Sudah waktunya UU
Perikanan yg memberikan celah salah urus tsb direvisi lebih mengarah kpd
operasional pembangunan perikanan yg nasionalis yg mensejahterakan
masyarakat nelayan, masyarakat pembudidaya ikan dan masyarakat perikanan
nasional kita bertindak sebagai produsen dan pengolah. Unsur asing
hanya dapat pada posisi sebagai buyer/pembeli produk perikanan, bukan
sebagai produsen/pengolah di NKRI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar