10 Mei, 2014

GOTONG-ROYONG MEREHABILITASI KARANG (REPUBLIK)

Oleh Abdul Halim
Koordinator Southeast Asia Fisheries for Justice Network (SEAFish);
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Jelang Pemilu 2014, Menteri Kelautan dan Perikanan kembali membebani keuangan Republik dan pemerintahan baru periode 2014-2019 dengan meloloskan permohonan hutang sebesar US$ 47,38 juta atau setara dengan Rp. 534,162 Miliar untuk proyek COREMAP-CTI (Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang) tahun 2014-2019. Nilai hutang tersebut diperoleh dari Bank Dunia. Selebihnya didanai dari hibah GEF (Global Environmental Facility) sebesar US$ 10 juta dan US$ 5,74 juta yang dibebankan kepada APBN.
Jebakan hutang
Berkaca dari 3 fase COREMAP sebelumnya, sudah semestinya proyek hutang ini dihentikan. Selain tidak ada perubahan membaiknya terumbu karang sebagaimana dilaporkan BPK, proyek ini membebani keuangan Negara dan terjadi banyak penyimpangan. Dari temuan BPK sudah mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi.
 
Dalam dokumen berkode P127813 yang dipublikasikan oleh Bank Dunia, disebutkan bahwa Pemerintah Indonesia mengajukan proyek hutang yang dinamai Coral Reef Rehabilitation and Management Program-Coral Triangle Initiative (COREMAP-CTI). Proyek ini mendapat persetujuan Bank Dunia pada tanggal 21 Februari 2014 dan akan berakhir pada tahun 2019. Proyek hutang ini merupakan kelanjutan  dari proyek hutang serupa sebelumnya yang dibagi ke dalam tiga tahapan: fase inisiasi (1998-2001), fase akselerasi (2011-2007), dan fase institusionalisasi (2007-2013).
Sebagaimana diketahui, Badan Pemeriksa Keuangan (Januari 2012) menemukan fakta-fakta, di antaranya: pertama, desain dan pelaksanaan kegiatan pengelolaan terumbu karang melalui program COREMAP II, antara lain mata pencaharian alternatif (MPA), dana bergulir (seed fund), pembangunan dan pemanfaatan prasarana sosial belum seluruhnya sesuai dengan desain yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat pesisir; kedua, BPK RI mengeluarkan hasil audit terhadap indikator kondisi biofisik yang meliputi terumbu karang dan tutupan karang hidup yang dibandingkan dengan kondisi setelah akhir program tidak mengalami perubahan signifikan atau cenderung mengalami penurunan dibandingkan kondisi awal (baseline); ketiga, pelaksanaan COREMAP II pada beberapa kabupaten tidak memiliki dampak yang signifikan atas peningkatan kelestarian terumbu karang dan kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah COREMAP II; keempat, pengelolaan dana bergulir (seed fund) tidak berdasarkan prinsip akuntabilitas dan pertanggungjawaban yang semestinya; kelima, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan atas penggunaan dan pelaporan dana bergulir tidak dapat dipakai sebagai ukuran atas pencapaian program tersebut; dan keenam, penggunaan dan pelaporan dana bergulir tidak efektif, tidak optimal dan banyak penyimpangan.
 
Dengan menghentikan proyek hutang tersebut, anggaran Negara sebesar US$ 5,74 juta atau setara dengan Rp. 64,712 Miliar yang dialokasikan untuk co-financing dapat dimanfaatkan untuk membangun sedikitnya 1.200 rumah yang layak dan sehat bagi masyarakat nelayan tanpa mengonsesikan laut kepada pihak asing.
Perbaikan terumbu karang mutlak diperlukan di tengah masih maraknya pemakaian alat tangkap merusak di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Jamak diketahui bahwa trawl, potasium, dan bom telah dilarang oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Tak mengherankan jika di tahun 2007 keenam pemimpin negara Segitiga Karang bersepakat untuk memerangi pencemaran laut dan praktek merusak ini.
Penegakan hukum atas pemakaian alat  tangkap merusak ini penting sebab selang periode 2000-2010, produksi perikanan tangkap di Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon dan Timor Leste yang populer disebut negara-negara Segitiga Karang (Coral Triangle countries) ini meningkat sebesar 32 persen, dengan tuna dan kerapu sebagai jenis ikan yang bernilai gizi dan berharga tinggi mengalami kenaikan sebanyak 77 persen.
Gotong-royong
Kekayaan laut ini mensyaratkan hadirnya perlindungan, penegakan hukum, dan kerjasama regional (tanpa hutang dan penjajahan gaya baru) untuk menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan laut di kawasan tersebut. Apalagi membuka partisipasi seluas-luasnya terhadap perusahaan multinasional. Noreena Hertz dalam Silent Takeover (2001) menjelaskan, perusahaan multinasional hanya mempunyai satu kepentingan: keuntungan global. Jelas hal ini berkebalikan dengan karakter masyarakat Indonesia: gotong-royong.
Pusat Data dan Informasi KIARA (2014) menemui fakta di Kepulauan Aru (Maluku) dan Pulau Lembata (NTT) bahwa: pertama, kerusakan terumbu karang disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum atas pemakaian alat tangkap merusak. Anehnya, fakta pengeboman di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, yang diduga melibatkan lembaga konservasi asing dibiarkan tanpa ketegasan penindakan. Di lain sisi, masyarakat nelayan tradisional telah berulangkali menyampaikan laporan tanpa kesungguhan menindaklanjutinya.
Kedua, rehabilitasi karang dapat dilakukan tanpa hutang jika pemerintah bersungguh-sungguh dan memprioritaskan jiwa swadaya atau gotong-royong masyarakat nelayan. Di Aru dan Lembata, masyarakat nelayan bahkan melakukan upaya-upaya preventif untuk mencegah kerusakan laut dengan mengedepankan kearifan lokal dalam mengelola kekayaan lautnya. Hal ini mereka lakukan melihat pentingnya menjaga keberlanjutan produksi tuna yang terus meningkat di kawasan Segitiga Karang: dari 888.628 ton pada tahun 2000 menjadi 1.570.110 ton di tahun 2010 (FAO, 2011).
Mendapati kuatnya etos masyarakat nelayan dalam menjaga kekayaan laut demi kesejahteraan kolektifnya, Menteri Kelautan dan Perikanan (ke depan) haruslah belajar bahwa terlampau mahal menggadaikan sumber daya alam dan etos gotong-royong Republik ini dengan segepok hutang.
Oleh karena itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai institusi pelaksana sesegera mungkin menghentikan dan mengembalikan proyek hutang ini, serta mengedepankan pengelolaan ekosistem laut kepada masyarakat nelayan dan pemerintah daerah setempat berbasis kearifan lokal yang sudah mereka jalani secara turun-temurun.***
Sumber: Majalah Samudra, Edisi 133, Tahun XII, Mei 2014

BEBAN UTANG COREMAP CPAI US$85 JUTA

Jakarta-Sejak 1998-2019, Indonesia di bebani utang Coremap (Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang) sebesar US$85,75 juta atau setara dengan Rp1,44 Triliun.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengatakan, tanpa utang, masyarakat Indonesia mampu memperbaiki kerusakan terumbu karang yang lebih disebabkan oleh pemakaian alat tangkap merusak trawl, pencemaran laut dan lemahnya penegakan hukum.

“Untuk menyelamatkan terumbu karang, sudah semestinya dikedepankan semangat gotong royong yang menjadi karakter masyarakat Indonesia,” ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (7/5).

Menurutnya, di level masyarakat pesisir, kesadaran mengenai rusaknya terumbu karang yang berakibat pada menurunnya hasil tangkapan ikan terus meningkat. Hal ini mendorong masyarakat untuk berinisiatif menyelamatkan terumbu karang.

Sumber: Bisnis Indonesia, Kamis 8 Mei 2014.

Tidak ada komentar: