Illegal fishing merupakan
masalah serius yang sering kali terjadi di wilayah perairan Indonesia
terutama di perbatasan. Hal ini disebabkan pada beberapa wilayah laut
perbatasan Indonesia memiliki kelimpahan ikan target yang bernilai
ekonomis tinggi dan sekaligus intensitas pengawasan perikanan yang
dilakukan terhadap wilayah perbatasan acapkali sangat lemah oleh aparat
negara. Salah satu lokasi yang kerap dijadikan sebagai wilayah illegal
fishing yaitu di kawasan perairan Pulau Maratua, Kalimantan Timur. Pulau
yang berpenduduk 3.195 jiwa ini merupakan salah satu pulau terluar
berpenduduk Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia.
Kepulauan
Maratua sendiri memiliki gugusan pulau-pulau kecil yang menjadi tempat
berkembang biaknya beberapa jenis penyu. Pada setiap tahunnya terutama
musim angin selatan di kawasan pulau Maratua dikenal sebagai jalur
migrasi beberapa jenis penyu seperti penyu sisik dan penyu hijau.
Penyu-penyu tersebut biasanya menjadikan Pulau Sambit dan Pulau
Belambangan sebagai tempat bertelur dan memijah. Aktivitas penyu pada
musim ini banyak dimanfaatkan oleh nelayan lokal dan nelayan asing untuk
melakukan eksploitasi penyu dengan pencurian telur dan penangkapan
penyu.
Metode
dan strategi eksploitasi tersebut dilakukan dengan cara memanfaatkan
kondisi perairan yang kaya sumberdaya namun minim pengawasan dari
petugas. Pelaku pencurian sangat efektif dan mereka melengkapi dirinya
dengan kapal motor cepat, senjata dan memiliki pemahaman yang baik
terhadap perilaku dari target buruannya. Pada malam hari, kapal pelaku
berlabuh di perairan internasional hal ini cukup efektif karena perairan
internasional cukup jauh dan di periaran tersebut mereka cukup aman
terhindar dari patroli petugas Indonesia. Saat dinihari mereka mendekati
lokasi pulau dan selanjutnya menggunakan kapal motor jet yang ukurannya
lebih kecil (menyerupai jet ski) yang memudahkan mereka masuk ke
perairan dangkal bahkan pada kedalaman 40 cm dan menangkap penyu-penyu
yang sedang bertelur di daratan pulau.
Sejauh
ini, Satuan kerja pengawasan dari Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Berau dan pihak Angkatan Laut setempat memiliki keterbatasan
dalam melakukan pengawasan karena minimnya biaya operasional yang
dimiliki. Biasanya satuan pengawasan melakukan patroli bersama apabila
ada bantuan bahan bakar dan logistik lain yang disediakan. Apabila tidak
ada bantuan logistik dan BBM biasanya hanya satker yang berjalan
sendiri itupun hanya sesekali. Satker pengawas ini sudah mendapat
pelatihan khusus dalam kegiatan pengawasan dan sudah mendapat sertifikat
menembak senjata api laras panjang serta linsensi untuk langsung
melakukan penyidikan di tempat, namun sayangnya setelah pelatihan
pengawasan tersebut, anggota satker yang sudah memiliki kapasitas dan
bersertifikasi tersebut tidak diberi fasilitas yang memadai. Ibaratnya,
tanggungjawab yang begitu besar untuk melakukan pengawasan laut tapi
fasilitas yang diberikan sangat jauh dari standar atau hanya sekedar di
beri pentungan. Dengan modal pentungan inilah Satker pengawasan
melakukan patroli pengawasan dan sulit melakukan tindakan tegas apabila
menemukan kapal-kapal yang melakukan aktivitas illegal fishing dan penjarahan penyu di kawasan perairan Maratua.
Sampai
dengan tahun 2014 Indonesia hanya memiliki 27 unit kapal pengawas
perikanan untuk mengcover seluruh wilayah perairan Indonesia. Hal ini
tentunya sangat minim dibandingkan dengan luasnya perairan yang harus
dijaga. Jika hanya menunggu ketersediaan jumlah unit kapal untuk
mengawasi dan menjaga kekayaan sumber daya laut nusantara maka
membutuhkan waktu yang sangat lama. Belum lagi harus diakui bahwa
alokasi pembiayaan pengawasan perikanan setiap tahunnya semakin menurun
serta minimnya inovasi strategi dan program pengembangan kelautan yang
mendukung pengelolaan sumberdaya laut kita secara berkelanjutan.
Kemudian menjadi kekhawatiran kita adalah sampai pada waktunya nanti
kapal-kapal siap beroperasi namun tidak ada lagi yang bisa dijaga dan
diselamatkan.
Pemerintah Indonesia perlu segera memperkuat dan memprioritaskan upaya penanggulangan illegal fishingdi
wilayah perbatasan yang kaya akan sumberdaya perikanan. Selain
menggalang dukungan dan kemampuan dalam negeri melalui kerjasama lintas
sector dan berbagai pihak, Indoneia perlu menjalin kerjasama
internasional khususnya dengan negara-negara di kawasan ASEAN untuk
bekerjasama mengawasi perairan perbatasan masing-masing negara guna
meminimalkan praktek illegal fishing. Pelakuillegal fishing baik
dari negara tetangga maupun nelayan Indonesia sendiri harus mendapat
tindakan hukum yang menimbulkan efek jera. Agar aktivitas illegal fishing tidak menjadi momok yang menakutkan dan tidak pula menjadi masalah klasik tanpa solusi di negeri indah ini. (Tim DFW-Indonesia)
Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia
Gedung SME Tower Lantai 10
Jl. Jenderal Gatot Subroto Kav. 94
Jakarta Selatan, 12780, Indonesia
Phone : 021-7981872 / 79181105
Fax: 021-7981409 Email : info@dfw.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar