Wilayah
laut timur Indonesia seperti laut Aru, Arafura dan laut Timor, hingga
kini masih menjadi lumbung ikan nasional. Bahkan laut Arafura dinilai
menjadi lumbung ikan andalan dunia. Untuk itu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberi prioritas pengawasan terhadap wilayah ini. KKP kini juga telah meluncurkan Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) di 3 wilayah perairan tersebut. RPP yang diberi registrasi Wilayah Pengelolaan Perikanan
(WPP) 718 ini diharapkan dapat meningkatkan produksi udang hingga 45%
dan ikan demersal naik hingga 20%. Demikian disampaikan Menteri Kelautan
dan Perikanan, Sharif C. Sutardjo seusai meluncurkan RPP di wilayah
perairan Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor Bagian Timur (WPP 718),
di Jakarta, Selasa (19/2).
Sharif
menegaskan, peluncuran RPP WPP 718 tersebut sebagai komitmen nyata
pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan perikanan, untuk
merevitalisasi pengelolaan perikanan tangkap di laut Arafura dan
sekitarnya. Apalagi laut Arafura dan sekitarnya sebagai salah satu
kawasan perikanan tersubur di dunia. Dengan implementasi RPP ini
diharapkan devisa negara dapat ditingkatkan serta industri perikanan
lokal di Provinsi Maluku, Papua dan Papua Barat akan tumbuh dan
berkembang. Efek selanjutnya, lapangan kerja bagi masyarakat lokal
tercipta luas. Diperkirakan minimal untuk 15.000 tenaga kerja bisa
terlibat didalamnya serta tersedia data pengelolaan perikanan yang lebih
akurat. “Multiplier effect dari perkembangan industri perikanan tersebut akan menggerakkan sektor produksi dan jasa lainnya di wilayah ini,” ujarnya.
Menurut
Sharif, RPP WPP 718 disusun secara aspiratif dan terpadu dengan
melibatkan seluruh pemangku kepentingan. RPP disusun bertujuan untuk
melakukan upaya terprogram dalam pengelolaan SDI dan memerangi kegiatan
perikanan ilegal yang marak terjadi di wilayah ini. Sehingga sumberdaya
ikan dan ekosistemnya terselamatkan dari kegiatan pencurian nelayan
asing atau kegiatan IUU fishing lainnya. RPP di tetapkan juga sebagai
bentuk tanggung jawab negara dan pelaku perikanan sebagaimana yang
diamanatkan oleh norma global tentang tata kelola perikanan yang
bertanggung jawab. “RPP WPP-718 ini mendapat dukungan TNI AL, POLRI,
Para Gubernur Maluku, Papua, dan Papua Barat, 8 Bupati Kepala Daerah
sekitar WPP 718, Pengusaha Perikanan, Perwakilan Negara Sahabat dan
Lembaga Internasional, serta lembaga swadaya masyarakat,” jelasnya.
Pendekatan Unconvensional
Menurut
Sharif, penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan di Indonesia merupakan
sebagai salah satu fokus program kerja KKP dibawah Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap. Pada periode ini dalam mendukung program
industrialisasi perikanan dan kelautan. Penyusunan RPP WPP 718 ini
dilakukan dengan pendekatan unconvensional atau pendekatan Ecosystem Approach to Fisheries Management
(EAFM). Yakni pendekatan yang berusaha menyeimbangkan tujuan sosial
yang beragam, dengan memperhatikan pengetahuan dan ketidakpastian yang
terdapat pada sumberdaya biotik, abiotik dan manusia sebagai komponen
ekosistem dan interaksi mereka. Termasuk, menerapkan pendekatan yang
terintegrasi untuk perikanan di dalam batas-batas ekologis yang berarti.
“Pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan ini sangat penting
diimplementasikan di Indonesia sebagai salah satu acuan penting
pengelolaan, menuju perikanan Indonesia lestari untuk kesejahteraan
masyarakat,” tandasnya.
Ditambahkan,
penyusunan RPP WPP 718 dilakukan tim yang beranggotakan perwakilan
dari unit-unit eselon I KKP, pakar dari Perguruan Tinggi, dan LSM.
Sedangkan untuk meningkatkan kapasitas anggota tim, mereka terlebih
dahulu di-training di Amerika Serikat selama 3 minggu. Untuk
sosialisasi, selanjutnya dilakukan serangkaian workshop dan konsultasi
publik untuk menerima aspirasi stakeholders seluas-luasnya dari tingkat
pusat hingga daerah dalam penyusunan dokumen RPP tersebut. Dalam rencana
aksi, setiap pemangku kepentingan dituntut komitmen dan
tanggungjawabnya secara terpadu dan terukur. Bahkan model kelembagaan
baru diformulasikan untuk mengkoordinasikan rencana aksi yang telah
disepakati dan dilegalisasi oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
“Evaluasi dan review akan dilakukan secara periodik sesuai dengan
dinamika perubahan kondisi yang ada. Akhirnya, model rencana pengelolaan
perikanan di wilayah ini selanjutnya akan dikembangkan juga di wilayah
pengelolaan perikanan lainnya,” jelasnya.
Pada
kesempatan yang sama diresmikan juga alat untuk mengevaluasi
efektivitas pengelolaan perikanan di Indonesia yang dikenal sebagai
indikator Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM)
atau pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem. Pada acara
tersebut dilaksanakan pula penandatangan komunike bersama Pengelolaan
Perikanan di WPPNRI-718 antara Menteri Kelautan dan Perikanan RI,
Gubernur Maluku, Gubernur Papua Barat, Gubernur Papua, yang disaksikan
oleh beberapa Bupati di sekitar kawasan perairan tersebut.
Komunike ini merupakan komitmen bersama untuk menerapkan secara
konsisten ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009, FAO International Plan of Action for the Management of Fishing
Capacity, FAO Internationan Plan of Action to Prevent, Deter and
Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing, 2001 termasuk FAO Code of Conduct for the Responsible Fisheries, 1995; serta EAFM dalam pengelolaan perikanan di WPP-NRI 718.
Jakarta, 19 Februari 2014
Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi
http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/10430/Arafura-Lumbung-Ikan-Andalan-Dunia/
http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/10430/Arafura-Lumbung-Ikan-Andalan-Dunia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar