oleh
ilham nusi |
SIAGA
– PALU Koalisi Penyelamatan Teluk Palu (KPTP) bakal menganalisis dokumen
Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) milik PT Yauri Properti Investama. Langkah
ini adalah salah satu tahap perlawan KPTP terhadap Pemerintah Kota Palu,
Sulawesi Tengah atas proyek reklamasi pantai sepanjang 38 kilometer yang
dilakukan perusahaan tersebut.
Koalisi Penyelamatan Teluk Palu merupakan perpaduan sejumlah organisasi peduli lingkungan, dibantu organisasi masyarakat seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR), Serikat Nelayan Teluk Palu (SNTP), FPI serta sejumlah organisasi lainnya.
Menurut KPTP yang disampaikan Sekretaris Jenderal KIARA, Abdul Halim dalam jumpa pers KPTP di Sekretariat Aliansi Independen (AJI) Kota Palu, Kamis 23 Januari 2014, PT Yauri Properti Investama belum memiliki izin lokasi dan izin pelaksanaan. Sejauh ini, KPTP mensinyalir perusahaan ini beroperasi hanya dengan bekal rekomendasi dari Pemkot Palu.
“Kami yakin, PT Yauri Properti Investama belum mengantongi izin lokasi dan izin pelaksanaan. Jika ada, kenapa tidak pernah diperlihatkan,” kata Abdul Halim.
Hal terganjil dari proyek reklamasi Teluk Palu, kata Halim, adalah Pemkot Palu tidak memiliki Peraturan Daerah (Perda) Zonasi sebagai acuan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. “Reklamasi sudah dimulai secara simbolik beberapa pekan lalu. Tapi apa dasarnya Pemkot Palu, Perda Zonasi saja tidak ada,” katanya.
Terkait salinan dokumen ANDAL PT Yauri Properti Investama yang sudah dipegang KPTP, Halim menegaskan kalau dokumen tersebut segera dianalisis oleh Dewan Pakar KARA. “Pakar Oceanografi KARA dan para pakar lainnya akan menganilisis ANDAL PT Yauri Properti Investama. Hal ini sangat penting, karena banyak kesalahan dalam penyusunan dokumen itu,” tegasnya.
Direktur WALHI Sulteng, Mat Pelor menambahkan, jika reklamasi Teluk Palu adalah alasan Pemkot Palu untuk pengembangan kota, maka hal itu sangat mengada-ngada. Menurut dia, masih ada 35 persen kawasan layak di luar sempadan pantai.
“Pengembangan kota Palu tidak harus dipaksakan hadir di wilayah pesisir pantai. Karena masih ada 35 persen kawasan di luar sempadan pantai,” ungkap Mat. WALHI Sulteng, lanjut Mat, meragukan legalitas proyek reklamasi ini. Karena selama ini, Pemkot Palu dan pihak terkait tidak pernah menunjukan detail rencana reklamasi itu.
Sementara itu, Ketua SNTP Danil yang juga hadir dalam jumpa pers menyebutkan sesungguhnya para nelayan tidak menolak pengembangan kota Palu. Namun, dari rencana reklamasi, Pemkot seharusnya memikirkan nasib nelayan dikemudian hari.
“Jika direklamasi, wilayah tangkap ikan kami pasti berubah. Belum lagi pasang surut air laut yang menyebabkan banjir seperti di kelurahan Baru, Palu Barat,” singkat Danil.
Terkait langkah hukum KPTP untuk membatalkan proyek reklamasi tersebut, Ketua YPR Sulteng Dedi Irawan membocorkan, saat ini mereka telah membentuk tim hukum yang sedang menyusun langkah ke arah mana perlawanan ini dibawa.
“Yang jelas kami sedang menyusun draft gugatan hukum untuk membatalkan reklamasi Teluk Palu,” tegasnya. Dedi juga mempertanyakan sumber anggaran untuk reklamasi yang katanya menelan biaya hingga ratusan miliar rupiah. Jika itu dari APBD, APBN atau bahkan Pinjaman Swasta, maka harus ada transparansi publik.
“Jika sumber dana dari pinjaman swasta, maka kemungkinan grafitasi itu sangat terbuka,” katanya.
Menurut Dedi, masih banyak pra syarat dan syarat yang belum dipenuhi PT Yauri Investama. Anehnya, Pemkot Palu seakan memuluskan jalan untuk perusahaan ini melakukan reklamasi tanpa mempedulikan kepentingan umum. Dengan demikian, pihak kepolisian di Sulteng wajib memeriksa perusahaan tersebut.
“Polisi wajib memperhatikan kasus ini agar daerah kita bisa terselamatkan,” tutupnya. Dari riset KPTP, reklamasi adalah proyek yang pasti menyengsarakan masyarakat pesisir, khususnya para nelayan, petambak garam, serta masyarakat pedagang kuliner.
Tidak hanya kelompok masyarakat tersebut, reklamasi pantai juga berakibat kerusakan ekosistem setempat dan wilayah terdekat lainnya dimana material urugan untuk reklamasi diambil. Bahkan secara umum, reklamasi ini telah merampas hak masyarakat atas air dan pantai.
Selain itu, upaya reklamasi pantai hanyalah modus Pemkot Palu untuk melindungi properti perumahan, pergudangan swasta, dan kawasan elite.
Di sisi lain, reklamasi mengakibatkan terjadinya penggusuran, kerusakan ekosistem pesisir dan laut, serta dapat menghilangkan akses nelayan melaut.
Reklamasi pantai berimplikasi negatif karena dapat mengubah bentang alam dan aliran air, serta menurunkan daya dukung lingkungan hidup yang ditandai dengan penurunan permukaan tanah dan kenaikan muka air laut (rob).
Dampak reklamasi lainnya adalah penurunan kualitas udara yang berimbas pada munculnya penyakit ISPA (insidensi saluran pernafasan akut), iritasi mata akut (conjunctivitis acute), infeksi kulit (dermatitis), dan keracunan gas buang seperti timbal (Pb) dan Karbon Monoksida (CO).
Contoh terkini adalah kekhawatiran masyarakat di Kelurahan Tipo akan bahaya banjir yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Itu akibat pengerugan lahan yang materialnya diambil dari wilayah ini untuk reklamasi. Masyarakat Tipo yang sadar akan kerusakan ekosistem serta bahaya langsungnya nanti, bersikeras menolak adanya aktifitas pengerugan di wilayahnya.
Di akhir kesempatan itu, Abdul Halim membeberkan fakta bahwa sudah ada 17 wilayah di Indonesia yang telah direklamasi. KARA juga berhasil menggagalkan rencana reklamasi pantai dan saat ini sedang mengadvokasi kasus serupa yang terjadi di Sulawesi Selatan. Hal itulah yang meyakinkan KPTP bisa berhasil menggagalkan reklamasi Teluk Palu sesuai Undang-Undang Pesisir Pasal 1 ayat 23 dan Pasal 34 dan landasan hukum lainnya.
“Kami (PTP) yakin reklamasi ini bisa dibatalkan,” sebut Halim.
Sumber: http://m.siaga.co/news/2014/ 01/23/kptp-tolak-reklamasi- teluk-palu/
Koalisi Penyelamatan Teluk Palu merupakan perpaduan sejumlah organisasi peduli lingkungan, dibantu organisasi masyarakat seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR), Serikat Nelayan Teluk Palu (SNTP), FPI serta sejumlah organisasi lainnya.
Menurut KPTP yang disampaikan Sekretaris Jenderal KIARA, Abdul Halim dalam jumpa pers KPTP di Sekretariat Aliansi Independen (AJI) Kota Palu, Kamis 23 Januari 2014, PT Yauri Properti Investama belum memiliki izin lokasi dan izin pelaksanaan. Sejauh ini, KPTP mensinyalir perusahaan ini beroperasi hanya dengan bekal rekomendasi dari Pemkot Palu.
“Kami yakin, PT Yauri Properti Investama belum mengantongi izin lokasi dan izin pelaksanaan. Jika ada, kenapa tidak pernah diperlihatkan,” kata Abdul Halim.
Hal terganjil dari proyek reklamasi Teluk Palu, kata Halim, adalah Pemkot Palu tidak memiliki Peraturan Daerah (Perda) Zonasi sebagai acuan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. “Reklamasi sudah dimulai secara simbolik beberapa pekan lalu. Tapi apa dasarnya Pemkot Palu, Perda Zonasi saja tidak ada,” katanya.
Terkait salinan dokumen ANDAL PT Yauri Properti Investama yang sudah dipegang KPTP, Halim menegaskan kalau dokumen tersebut segera dianalisis oleh Dewan Pakar KARA. “Pakar Oceanografi KARA dan para pakar lainnya akan menganilisis ANDAL PT Yauri Properti Investama. Hal ini sangat penting, karena banyak kesalahan dalam penyusunan dokumen itu,” tegasnya.
Direktur WALHI Sulteng, Mat Pelor menambahkan, jika reklamasi Teluk Palu adalah alasan Pemkot Palu untuk pengembangan kota, maka hal itu sangat mengada-ngada. Menurut dia, masih ada 35 persen kawasan layak di luar sempadan pantai.
“Pengembangan kota Palu tidak harus dipaksakan hadir di wilayah pesisir pantai. Karena masih ada 35 persen kawasan di luar sempadan pantai,” ungkap Mat. WALHI Sulteng, lanjut Mat, meragukan legalitas proyek reklamasi ini. Karena selama ini, Pemkot Palu dan pihak terkait tidak pernah menunjukan detail rencana reklamasi itu.
Sementara itu, Ketua SNTP Danil yang juga hadir dalam jumpa pers menyebutkan sesungguhnya para nelayan tidak menolak pengembangan kota Palu. Namun, dari rencana reklamasi, Pemkot seharusnya memikirkan nasib nelayan dikemudian hari.
“Jika direklamasi, wilayah tangkap ikan kami pasti berubah. Belum lagi pasang surut air laut yang menyebabkan banjir seperti di kelurahan Baru, Palu Barat,” singkat Danil.
Terkait langkah hukum KPTP untuk membatalkan proyek reklamasi tersebut, Ketua YPR Sulteng Dedi Irawan membocorkan, saat ini mereka telah membentuk tim hukum yang sedang menyusun langkah ke arah mana perlawanan ini dibawa.
“Yang jelas kami sedang menyusun draft gugatan hukum untuk membatalkan reklamasi Teluk Palu,” tegasnya. Dedi juga mempertanyakan sumber anggaran untuk reklamasi yang katanya menelan biaya hingga ratusan miliar rupiah. Jika itu dari APBD, APBN atau bahkan Pinjaman Swasta, maka harus ada transparansi publik.
“Jika sumber dana dari pinjaman swasta, maka kemungkinan grafitasi itu sangat terbuka,” katanya.
Menurut Dedi, masih banyak pra syarat dan syarat yang belum dipenuhi PT Yauri Investama. Anehnya, Pemkot Palu seakan memuluskan jalan untuk perusahaan ini melakukan reklamasi tanpa mempedulikan kepentingan umum. Dengan demikian, pihak kepolisian di Sulteng wajib memeriksa perusahaan tersebut.
“Polisi wajib memperhatikan kasus ini agar daerah kita bisa terselamatkan,” tutupnya. Dari riset KPTP, reklamasi adalah proyek yang pasti menyengsarakan masyarakat pesisir, khususnya para nelayan, petambak garam, serta masyarakat pedagang kuliner.
Tidak hanya kelompok masyarakat tersebut, reklamasi pantai juga berakibat kerusakan ekosistem setempat dan wilayah terdekat lainnya dimana material urugan untuk reklamasi diambil. Bahkan secara umum, reklamasi ini telah merampas hak masyarakat atas air dan pantai.
Selain itu, upaya reklamasi pantai hanyalah modus Pemkot Palu untuk melindungi properti perumahan, pergudangan swasta, dan kawasan elite.
Di sisi lain, reklamasi mengakibatkan terjadinya penggusuran, kerusakan ekosistem pesisir dan laut, serta dapat menghilangkan akses nelayan melaut.
Reklamasi pantai berimplikasi negatif karena dapat mengubah bentang alam dan aliran air, serta menurunkan daya dukung lingkungan hidup yang ditandai dengan penurunan permukaan tanah dan kenaikan muka air laut (rob).
Dampak reklamasi lainnya adalah penurunan kualitas udara yang berimbas pada munculnya penyakit ISPA (insidensi saluran pernafasan akut), iritasi mata akut (conjunctivitis acute), infeksi kulit (dermatitis), dan keracunan gas buang seperti timbal (Pb) dan Karbon Monoksida (CO).
Contoh terkini adalah kekhawatiran masyarakat di Kelurahan Tipo akan bahaya banjir yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Itu akibat pengerugan lahan yang materialnya diambil dari wilayah ini untuk reklamasi. Masyarakat Tipo yang sadar akan kerusakan ekosistem serta bahaya langsungnya nanti, bersikeras menolak adanya aktifitas pengerugan di wilayahnya.
Di akhir kesempatan itu, Abdul Halim membeberkan fakta bahwa sudah ada 17 wilayah di Indonesia yang telah direklamasi. KARA juga berhasil menggagalkan rencana reklamasi pantai dan saat ini sedang mengadvokasi kasus serupa yang terjadi di Sulawesi Selatan. Hal itulah yang meyakinkan KPTP bisa berhasil menggagalkan reklamasi Teluk Palu sesuai Undang-Undang Pesisir Pasal 1 ayat 23 dan Pasal 34 dan landasan hukum lainnya.
“Kami (PTP) yakin reklamasi ini bisa dibatalkan,” sebut Halim.
Sumber: http://m.siaga.co/news/2014/ 01/23/kptp-tolak-reklamasi- teluk-palu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar