Oleh Ridzki R. Sigit,
Sebagai negara dengan garis pantai tropis terpanjang di dunia,
Indonesia adalah pemilik hutan mangrove terluas di dunia. Namun, seperti
diungkap oleh Harry Santoso pakar senior dari Kementerian Kehutanan
dalam Seminar Pengelolaan Mangrove Lestari di Bogor pada pertengahan
Oktober 2013 ini, luasan hutan mangrove di Indonesia semakin lama
semakin berkurang.
Ancaman dari kelestarian mangrove sendiri adalah konversi
besar-besaran menjadi peruntukan lain, diantaranya untuk menjadi areal
tambak udang.
Udang berkembang menjadi industri besar, dimana ekspor udang telah
melejit dari hanya 22.000 ton pada tahun 1975 menjadi 2,6 juta ton pada
tahun 2005 atau ekuivalen dengan pertumbuhan 12 ribu persen. Dalam
tahun 2006 saja, sepertiga dari total impor hasil laut Amerika Serikat
senilai dengan 4,1 miliar dollar adalah udang laut.
Dalam dua puluh tahun terakhir ini dari total 3,2 juta hektar, atau
22% dari total luas mangrove di dunia, kawasan mangrove Indonesia telah
berkurang sebanyak 1,1 juta hektar. Sebagian besar atau 75% berkurang
akibat konversi untuk tambak dan peruntukan penggunaan lain. Saat ini
bentangan mangrove yang masih baik di Indonesia berada di Papua, dengan
sekitar 69% luas wilayah mangrove Indonesia berada di sini.
Jika dikelola secara lestari dengan sistem penebangan rotasi,
sebenarnya kayu mangrove dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan
seperti chip bahan baku kertas, papan, kayu lapis dan kayu bakar
berkualitas baik. Lebih daripada itu, dari non kayu mangrove dapat
diolah menjadi tepung buah, bahan penyamak kulit, sirup, minyak goreng,
minyak wangi, obat serta bahan baku pembuatan batik. Beberapa jenis
spesies mangrove utama diantaranya rhizophora, bruguiera dan heritiera.
Muljadi Tantra, dari Green Forest Product/PT BUMWI (Bintuni Utama
Murni Wood Industries), selaku pemegang konsesi hutan 82.120 ha yang
meliputi sebagian besar wilayah mangrove di Bintuni, Papua Barat,
mengakui jika pendapatan (revenue) ekonomi pengelolaan mangrove
di areal konsesinya kalah jauh jika dibandingkan dengan pengelolaan
tambak udang dalam luas hektar yang sama.
Secara hitung-hitungan net present value (NPV) yang dilakukan Tantra,
maka dari 1 hektar lahan, jika dikelola untuk mangrove lestari dalam 1
hektar akan dihasilkan USD 1,720 dalam laju diskonto 7,5%, sedangkan
jika dikelola untuk tambak udang bernilai USD 8,933. Perhitungan ini
dipilih dengan menggunakan angka moderat yang bersandarkan nilai
pemanenan kayu mangrove yang paling minimal.
Dengan demikian, secara ekonomi apakah pengusahaan kawasan hutan mangrove akan menimbulkan kehilangan kesempatan berusaha (lost opportunity) bagi pengusaha?
“Bagi kami, tidak saja pendapatan (revenue) yang menjadi
perhitungan dalam berusaha, bukan keuntungan semata, bukan melulu
perhitungan depresiasi asset dan perhitungan ekonomi barang, tetapi
lebih pada memilih kesempatan berusaha yang memperhitungkan nilai
ekstraksi (extractable value), nilai sosial (social value) dan nilai lingkungan (environmental value), semua dengan memasukkan perhitungan nilai eksternalitas.”
Penjelasan Tantra dapat dipahami. Dalam beberapa kasus yang terjadi
di Indonesia untuk pengelolaan tambak udang secara intensif, meskipun di
depan akan menghasilkan keuntungan dalam jangka waktu ekonomi pendek,
ternyata rawan terhadap kerusakan alam yang ujung-ujungnya mengarah
kepada kehancuran ekonomi.
Dalam daur siklus pertama, tambak udang budidaya monokultur masif
masih mungkin menguntungkan, namun dalam beberapa rotasi berikutnya
telah banyak bukti tambak udang intensif mengalami kehancuran yang
kemudian malah menimbulkan kerusakan dan kolapsnya lingkungan wilayah
pesisir.
Hilangnya hutan mangrove, hilangnya tempat berpijah biota laut,
ancaman abrasi pantai dan hilangnya garis pantai telah banyak terbukti
dari praktek intensifikasi tambak udang yang kemudian ditinggalkan.
Tambak-tambak udang yang ditinggalkan kemudian, menjadi rawan
terhadap abrasi dan memerlukan biaya besar untuk pemulihan
ekosistemnya. Belum jika hal ini diperhitungkan dengan kehilangan
wilayah hidup dari masyarakat lokal yang berusaha secara turun-temurun
dengan memanfaatkan potensi-potensi tradisional dari hutan mangrove.
Jika dimasukkan biaya eksternalitas lingkungan, maka tambak udang
harusnya memperhitugkan pula biaya pemulihan lingkungan termasuk biaya
pemulihan habitat dan hutan mangrove yang telah dikonversi. Dengan
demikian, maka nilai ekonomi tambak udang dalam jangka panjang menjadi
perlu dipertanyakan,
Sebagai seorang pengusaha di kawasan hutan mangrove, Tantra
berpendapat bahwa seharusnya pengelolaan hutan mangrove tidak untuk
didorong dengan model ekstensifikasi, tetapi dengan mencari nilai tambah
dari produk yang dihasilkan.
“Kami mengejar nilai berkelanjutan, kami telah beroperasi selama 25
tahun, sejak 1989, kami memiliki ijin konsesi sampai tahun 2052 di
wilayah Bintuni. Saat ini kami memilih beroperasi di bawah 50% kapasitas
kami, strategi kami adalah dengan mengoptimalkan potensi produk untuk
mengejar pendapatan usaha. Kami ingin menjadi SRC (Socialy Responsible Company) bukan hanya CSR (Corporate Social Responsibility),” jelasnya.
Pengembangan teknologi, riset dan inovasi produk tampaknya dapat
menjadi solusi pengelolaan mangrove. Saat ini pemanfaatan produk arang
putih (white charcoal) dari kayu mangrove ternyata memiliki kegunaan yang lebih baik dari arang hitam (black charcoal).
Per kilogramnya produk ini mampu untuk mencapai 8.000 kcal dibandingkan
dengan arang biasa yang hanya 6.000 kcal. Selain temperatur bakar yang
lebih tinggi, maka asap yang dihasilkan lebih bersih yang dapat
menghindari efek negatif bagi manusia. Selain itu kayu chip dari hutan
mangrove yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik untuk dijadikan
bahan baku pulp.
Cecep Kusmana, pengajar dari Fakultas Kehutanan IPB mengamini
pernyataan ini. Secara ekosistem mangrove merupakan bagian penting dari
pengatur keseimbangan alam yang meliputi pengelolaan wilayah pesisir
pantai dan wilayah darat. Mangrove menjadi penting karena ekosistem ini
berada di antara dua ekosistem yang berbeda.
Jadi jika memang bisa mendapatkan nilai lingkungan yang lebih baik
dari pengelolaan mangrove lestari, mengapa kawasan mangrove tidak
dikelola optimal dan harus dikorbankan untuk kepentingan ekonomi jangka
pendek?
http://www.mongabay.co.id/2013/10/25/ekonomi-lingkungan-pilih-mangrove-atau-tambak/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar