Oleh: Toni Ruchimat
Menyebut
dan mendengar nama Hiu, yang terlintas dalam benak kita, sesosok
hewan yang bermukim di laut dengan
giginya yang runcing, ganas, dan mampu mencium bau darah
berkilometer jauhnya. Hiu adalah ikan, berkembang biak secara
ovovivipar artinya telur dierami dan menetas di dalam tubuhnya dan
kemudian induknya melahirkan. Hewan ini juga termasuk dalam golongan
carnivora, yakni pemakan daging. Hidup di perairan laut lepas, hewan ini
juga termasuk dalam kategori hewan buas.
Dalam
mitologi masyarakat Kepulauan Hawaii, cerita tentang hiu sangat
menonjol. Ada cerita yang menyebutkan keberadaan manusia hiu, yang
mempiliki rahang hiu di bagian belakang kepalanya. Dalam mitos ini,
diceritakan makhluk itu bisa mengubah
diri bergantian, dari hiu menjadi manusia dan sebaliknya dari
manusia menjadi hiu. Manusia-manusia hiu, diceritakan kerap
memperingati manusia yang berada di pantai, kalau di perairan itu
terdapat hiu. Kalau peringatan itu tidak diindahkan, maka
manusia-manusia hiu lah, yang akan menyantap manusia yang berada di
pantai itu. Dengan begitu, manusia hiu itu memperingatkan manusia
lain, agar tidak turun ke laut.
Dalam
budaya-budaya Samudra Pasifik lainnya, hiu juga kerap disebut dewa
hiu, yang juga merupakan pemakan jiwa- jiwa yang tersesat. Di Yunani
kuno, orang
dilarang makan daging hiu pada festival-festival perempuan. Selain itu
data statistik global menyebutkan, sekitar 10 orang meninggal
akibat serangan hiu per tahun. Namun sebaliknya, 100 juta hiu juga
dibunuh oleh orang-orang serakah untuk dikonsumsi. Terutama bagian
sirip, yang dimasak untuk salah satu hidangan Asia yang terkenal, yakni
sup sirip hiu. Sekarang juga sudah ada beberapa perusahaan
obat-obatan, yang memproduksi minyak hati ikan hiu (Squalene), untuk meningkatkan kesehatan hati dan jantung.
Ternyata
di balik keganasannya, hiu diburu untuk kebutuhan konsumsi dan
obat-obatan yang artinya sebagian besar bagian tubuh hiu bisa
dipergunakan, seperti yang pernah terjadi di pantai perairan Cilacap,
Jawa Tengah dan Raja Ampat, Papua Barat, baru-baru ini. Padahal,
hiu sesungguhnya memiliki peran yang sangat penting dalam ekosistem
laut. Hiu merupakan hewan pemangsa puncak (top predator). Jadi,
keberadaanya sangat berpengaruh terhadap kesehatan ekosistem, yang
menjadi habitatnya. Selaku top predator, hiu menjadi penjaga
keseimbangan ekosistem laut. Sebagai predator, hiu tidak hanya
sekedar sebagai pemangsa ikan lainnya. Makan ikan lain, hiu memastikan
agar kondisi ekosistem tetap sehat, agar ikan tetap berlimpah.
Pasalnya, sesungguhnya hiu merupakan predator yang memakan ikan-ikan lain yang tidak sehat, tua, dan lemah. Ini menjadikan peran dan fungsi keberadaan hiu di ekosistem laut begitu vital. Secara tidak langsung mencegah penyebaran penyakit yang dibawa oleh ikan sakit, tua, dan lemah tadi. Alhasil, ekosistem pun menjadi tetap sehat.
Saat
ini, populasi hiu mengalami penurunan yang cepat dan drastis di
seluruh dunia. Ini akibat tekanan perburuan yang begitu tinggi.
Permintaan akan sirip hiu terus meningkat di pasar internasional,
disinyalir menjadi pemicu menurunnya populasi hiu. Sedikitnya 73 juta
ekor hiu dibunuh setiap tahunnya. Padahal, setelah dibantai,
sebagian besar
hanya diambil siripnya saja, sebagai bahan sup. Akibatnya, banyak
spesies hiu telah mengalami penurunan lebih dari 75 persen. Bahkan,
untuk spesies tertentu penurunan populasi mencapai 90 persen. Hiu
menjadi sasaran langsung maupun tidak langsung sebagai tangkapan
sampingan dalam industri perikanan pelagis. Ironisnya, Indonesia
menjadi negara eksportir hiu terbesar di dunia.
Kepunahan
hiu akan berdampak besar pada mata rantai makanan di laut. Begitu hiu
punah, populasi ikan yang biasa menjadi mangsanya, seperti tuna dan
kerapu menjadi meningkat.
Kedua jenis ikan itu akan memangsa ikan-ikan di bawahnya secara
besar-besaran. Tak pelak lagi, dalam waktu singkat ikan-ikan yang
biasa dimakan tuna dan kerapu juga akan habis. Kehabisan makanan,
memungkinkan kedua ikan itu lambat laun juga mengalami kepunahan. Saat
ini, hiu memang tengah menghadapi ancaman besar kepunahan karena
perburuan siripnya. Populasi menjadi sangat rentan, karena pola
reproduksinya yang lambat. Padahal seekor hiu karang membutuhkan
waktu 7-15 tahun untuk menjadi dewasa secara seksual. Setelah
dewasa, hiu hanya mampu bertelur atau melahirkan (bergantung pada
jenis hiu), sebanyak 1 - 10 anak dengan frekuensi reproduksi
satu kali setiap 2 - 3
tahun.
Padahal,
dari hasil sebuah penelitian menunjukkan, hiu hidup dapat dijadikan
sebagai obyek pariwisata, dan ini jauh lebih bernilai dari sisi
keekonomian dibandingkan hiu mati yang diambil siripnya. Ada
perhitungan yang menyebutkan, hiu hidup untuk bisnis wisata
bahari bisa memberikan sumbangan devisa sebesar Rp 300 juta sampai
dengan Rp 1,8 miliar per tahun . Ini setara dengan Rp 18 miliar selama
ikan itu hidup.
Sementara, hiu yang dijadikan komoditas ikan tangkap dan makanan, hanya dihargai Rp 1,3 juta per ekor. Ini tentu saja, sangat jauh dibandingkan bila hiu itu dibiarkan hidup.
The Conference of the Parties to the Convention on International Trade in Endangered Species (COP CITES) pada bulan Maret tahun 2013 telah memasukkan 4 spesies hiu (3 jenis hiu caping: Scalloped Hammerhead, Great Hummerhead, Smooth Hammerhead dan satu jenis hiu koboy/Oceanic Whitetip Shark) ke dalam daftar Appendik II CITES. Jauh sebelumnya, jenis Hiu Paus/Whale Shark juga
telah diatur pada konvensi tersebut. Ini berarti bahwa kegiatan
penangkapan ikan hiu walaupun masih tetap diperbolehkan, namun dengan
pengaturan yang ketat. Untuk itu, kementerian kelautan dan perikanan
telah menindaklanjutinya dengan langkah-langkah pengelolaan
yang lebih baik terhadap sumberdaya ikan hiu di Indonesia.
Saat
ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan tengah serius melakukan upaya
konservasi Hiu, disamping upaya pengelolaan efektif kawasan konservasi
yang kini telah lebih 16 juta hektar, yang tentunya melalui upaya ini
habitat hiu telah memliki tempat yang lebih aman dari penangkapan
illegal. Upaya kami melakukan konservasi dan merubah paradigma
konservasi yang selama ini dipahami sebagai perlindungan saja tanpa
memandang keseimbangan pelestarian dan pemanfaatannya terus dilakukan
sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan untuk mendukung
program strategis Blue economy. Selain itu, kontribusi Indonesia dalam
konstelasi konservasi ditingkat regional juga mendapat dukungan positif, saat ini CTMPAs (coral triangle marine protected area system)
memasuki tahap finalisasi untuk segera diimplementasikan dalam rangka
pencapaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi di 6 (enam) negara
wilayah Coral triangle. Di tingkat lokal, Pemerintah Raja Ampat
juga telah menetapkan Perda yang secara khusus melarang penangkapan hiu
dan biota dilindungi lainnya di perairan Raja Ampat.
Upaya
perlindungan jenis ikan terus kami kampanyekan dan susun kebijakannya,
saat ini sedang disusun beberapa konsep kebijakan perlindungan jenis,
diantaranya untuk hiu. Saat ini, inisiasi status perlindungan hiu paus
telah memasuki proses legislasi final untuk penetapannya. Hiu paus
merupakan salah satu jenis yang memiliki potensi cukup tinggi untuk
pengembangan pariwisata bahari, oleh karena itu perlindungan hiu paus
akan mendukung kegiatan pariwisata, termasuk meningkatkan aktivitas
pemanfaatan pariwisata di kawasan konservasi yang telah berkembang
selama ini. Selain itu KKP juga telah memiliki NPOA (National Plan of Action)
hiu walaupun belum dilegislasi dan sedang direview mengikuti
perkembangan saat ini.
Perlu diketahui, bahwa sebagian tindakan
konservasi hiu telah diatur Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor Per.12/Men/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas,
khususnya untuk jenis hiu tikus. Artinya Kementerian Kelautan dan
Perikanan telah cukup serius melakukan upaya konservasi hiu. Saat ini
juga Diretorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan bekerjasama dengan WWF,
P4KSI dan LIPI sedang menyusun buku status perikanan hiu di
Indonesia.
Seluruh
upaya serius pengelolaan konservasi hiu ini diharapkan memberi dampak
positif bagi pencitraan pariwisata Indonesia di mata dunia. Banyak
wisatawan yang berhasil memotret sejumlah eksploitasi hewan secara
berlebihan dan mereka bagikan di dunia maya. Tentu saja hal tersebut
dapat menjadi pencitraan buruk bagi Indonesia di dunia.
Penulis
adalah Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI), Direktorat
Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan
dan Perikanan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar