Oleh : Angiola Harry St Bagindo
Betapa mahalnya dan sulitnya memperoleh data yang bagus. Begitukah?
Inilah permasalahan klasik perikanan tangkap Indonesia, dan mungkin
juga dunia. Seperti kita ketahui bersama, nilai potensi lestari (ikan)
Indonesia atau dengan istilah yang lebih umum dipakai yakni MSY (maximum
sustainable yield) berkisar pada angka 6,4 juta ton per tahun.
Secara harfiah MSY tersebut dapat dimaknai; bila dalam setahun para
nelayan berhasil menjaring ikan-ikan di Indonesia hingga 6,4 juta ton,
maka tak perlu menunggu 5 tahun, Indonesia akan kehabisan ikan.
Angka MSP tersebut nyaris tidak bergerak berubah. Sudah dua windu
berlalu, 6,4 juta ton ini ibarat angka keramat jumlah pasal di UUD 45
yang sulit untuk diutak-atik menjadi kode buntut!
Padahal kian hari, teknologi penangkapan ikan kian hebat
kemampuannya. Kapal-kapal penangkap ikan pun didesain dengan kapasitas
tampung ikan hasil tangkapan semakin besar. Seharusnya, secara logika,
setiap tahun angka MSY semakin turun, bukan malah bertahan di angka 6,4
juta ton.
Namun setelah sempat ‘bergaul’ dengan para pakar yang terlibat dalam
penentuan angka tersebut, barulah dapat memahami situasinya. Memang
sangat tidak mudah untuk menentukan nilai MSY
Para pakar pun sejatinya agak meragukan nilai yang mereka peroleh itu. “So
far, it is the best availaible data we have, and until the better data
is available, we have to ‘stick’ with this data, and we have to believe
it. If someone else have another data which is scientificly can be
proven, we still use this data,” begitulah komentar pakar tersebut.
Singkat kata, butuh upaya cukup dahsyat untuk memperoleh data-data
pendukung keperluan menemukan jumlah MSY untuk setiap titik pengambilan
sampel, di setiap stasiun suatu wilayah perairan. Dan pengambilan data
tersebut sebaiknya dilakukan secara bersamaan.
Kemudian mari bicara spekulasi biaya yang dibutuhkan. Pada tahun 1997
harga sewa kapal riset Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Stella
Maris, dengan tarif bersubsidi adalah Rp 600 ribu, untuk satu hari.
Perlu dicatat, itu harga subsidi dari IPB tahun 1997, dengan menggunakan
kapal riset, saat belum terkena imbas krisis moneter 1998.
Maka bisa dikalkulasi berapa biaya operasional sebuah kapal riset
jenis trawl saat ini. Lalu harus dihitung juga ongkos riset-nya.
Taruhlah Rp 750.000 per hari per orang, dan anggap ada 5 orang peneliti
per kapal. Kemudian lumpsum atau uang layar anak buah kapal (ABK) anggap
Rp 400.000 per hari per ABK.
Kemudian tak lupa jumlah biaya-biaya operasional lainnya. Contoh,
tiket pesawat buat sang peneliti dari Jakarta ke lokasi pengambilan
sampel, misalnya tiket buat Jakarta ke Ambon, lalu tiket Ambon ke
Merauke pulang balik untuk pengambilan sampel di Arafura. Dan
biaya-biaya lain-lain.”
Bila dijumlahkan biaya untuk satu stasiun pengambilan sampel
dijumlahkan dengan total biaya untuk stasiun-stasiun lainnya,
terbayangkan berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan. Itu baru
kendala untuk biaya.
Selanjutnya, bagaimana dengan SDM-nya? Taruhlah kita butuh 50 stasiun
titik pengambilan sampel, yang berarti butuh 50 kapal riset dan 5 orang
peneliti per kapal (belum termasuk ABK dan teknisi). Berarti kita butuh
250 peneliti perikanan laut yang siap dan rela ‘terjun’ langsung ke
laut.
Jika semua itu sudah terpenuhi dan dapat diwujudkan, barulah kita
bisa mendapatkan data yang sangat bagus di wilayah Indonesia. Sehingga
kalau hal tersebut belum bisa diwujudkan, maka marilah kita kembali
berpegang teguh kepada “the best available data” yang disebutkan para
pakar tadi.
http://tajuk.co/2013/04/16-tahun-ikan-di-indonesia-tak-terpantau-kelestariannya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar