16 April, 2013

Ikan di Indonesia Tak Terpantau Kelestariannya selama 16 Tahun

Oleh : Angiola Harry St Bagindo

Betapa mahalnya dan sulitnya memperoleh data yang bagus. Begitukah?
Inilah permasalahan klasik perikanan tangkap Indonesia, dan mungkin juga dunia. Seperti kita ketahui bersama, nilai potensi lestari (ikan) Indonesia atau dengan istilah yang lebih umum dipakai yakni MSY (maximum sustainable yield) berkisar pada angka 6,4 juta ton per tahun.

Secara harfiah MSY tersebut dapat dimaknai; bila dalam setahun para nelayan berhasil menjaring ikan-ikan di Indonesia hingga 6,4 juta ton, maka tak perlu menunggu 5 tahun, Indonesia akan kehabisan ikan.

Angka MSP tersebut nyaris tidak bergerak berubah. Sudah dua windu berlalu, 6,4 juta ton ini ibarat angka keramat jumlah pasal di UUD 45 yang sulit untuk diutak-atik menjadi kode buntut!

Padahal kian hari, teknologi penangkapan ikan kian hebat kemampuannya. Kapal-kapal penangkap ikan pun didesain dengan kapasitas tampung ikan hasil tangkapan semakin besar. Seharusnya, secara logika, setiap tahun angka MSY semakin turun, bukan malah bertahan di angka 6,4 juta ton.

Namun setelah sempat ‘bergaul’ dengan para pakar yang terlibat dalam penentuan angka tersebut, barulah dapat memahami situasinya. Memang sangat tidak mudah untuk menentukan nilai MSY

Para pakar pun sejatinya agak meragukan nilai yang mereka peroleh itu. “So far, it is the best availaible data we have, and until the better data is available, we have to ‘stick’ with this data, and we have to believe it. If someone else have another data which is scientificly can be proven, we still use this data,” begitulah komentar pakar tersebut.
Singkat kata, butuh upaya cukup dahsyat untuk memperoleh data-data pendukung keperluan menemukan jumlah MSY untuk setiap titik pengambilan sampel, di setiap stasiun suatu wilayah perairan. Dan pengambilan data tersebut sebaiknya dilakukan secara bersamaan.

Kakap yang tertangkap trawl. Foto: Istimewa
Kakap yang tertangkap trawl. Foto: Istimewa

Kemudian mari bicara spekulasi biaya yang dibutuhkan. Pada tahun 1997 harga sewa kapal riset Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Stella Maris, dengan tarif bersubsidi adalah Rp 600 ribu, untuk satu hari. Perlu dicatat, itu harga subsidi dari IPB tahun 1997, dengan menggunakan kapal riset, saat belum terkena imbas krisis moneter 1998.

Maka bisa dikalkulasi berapa biaya operasional sebuah kapal riset jenis trawl saat ini. Lalu harus dihitung juga ongkos riset-nya. Taruhlah Rp 750.000 per hari per orang, dan anggap ada 5 orang peneliti per kapal. Kemudian lumpsum atau uang layar anak buah kapal (ABK) anggap Rp 400.000 per hari per ABK.

Kemudian tak lupa jumlah biaya-biaya operasional lainnya. Contoh, tiket pesawat buat sang peneliti dari Jakarta ke lokasi pengambilan sampel, misalnya tiket buat Jakarta ke Ambon, lalu tiket Ambon ke Merauke pulang balik untuk pengambilan sampel di Arafura. Dan biaya-biaya lain-lain.”

Bila dijumlahkan biaya untuk satu stasiun pengambilan sampel dijumlahkan dengan total biaya untuk stasiun-stasiun lainnya, terbayangkan berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan. Itu baru kendala untuk biaya.

Selanjutnya, bagaimana dengan SDM-nya? Taruhlah kita butuh 50 stasiun titik pengambilan sampel, yang berarti butuh 50 kapal riset dan 5 orang peneliti per kapal (belum termasuk ABK dan teknisi). Berarti kita butuh 250 peneliti perikanan laut yang siap dan rela ‘terjun’ langsung ke laut.

Jika semua itu sudah terpenuhi dan dapat diwujudkan, barulah kita bisa mendapatkan data yang sangat bagus di wilayah Indonesia. Sehingga kalau hal tersebut belum bisa diwujudkan, maka marilah kita kembali berpegang teguh kepada “the best available data” yang disebutkan para pakar tadi.

http://tajuk.co/2013/04/16-tahun-ikan-di-indonesia-tak-terpantau-kelestariannya/

Tidak ada komentar: