Kebijakan Kementerian Kelautan dan
Perikanan yang mengizinkan kapal ikan pukat cincin skala besar berbobot
mati di atas 1.000 ton untuk menangkap ikan di perairan Indonesia, dan
mengangkut hasil tangkapan ke luar negeri, menuai sejumlah reaksi keras.
Di
dalam negeri, industri pengolahan ikan menjerit kekurangan bahan baku.
Industri pengolahan ikan nasional tertinggal. Kendala klasik permodalan,
bahan baku, infrastruktur, dan hasil tangkapan ikan yang tak menentu
membuat sektor hilir sulit bangkit.
Pemerintah telah berkomitmen
menguatkan usaha hulu-hilir perikanan melalui program industrialisasi
perikanan. Konsepsi itu berimplikasi antara lain mewajibkan hasil
tangkapan didaratkan dan dipasok ke industri olahan guna meningkatkan
nilai tambah. Ini sejalan dengan Undang-Undang Perikanan yang mengatur
seluruh kapal ikan Indonesia di wilayah perikanan RI untuk mendaratkan
ikannya di pelabuhan Tanah Air.
Namun, terbit Peraturan Menteri
Nomor 30 Tahun 2012 tanggal 27 Desember 2012 yang memberi keistimewaan
bagi kapal ikan pukat cincin berbobot mati 1.000 ton yang beroperasi
tunggal lebih dari 100 mil untuk melakukan alih muatan di tengah laut
dan mengangkutnya ke luar negeri.
Zona ekonomi eksklusif Indonesia
(ZEEI) sejauh 200 mil memang belum tergarap maksimal untuk perikanan.
Indonesia belum punya kapal ikan berbobot mati 1.000 ton. Sebanyak 99
persen dari kapal ikan berbobot mati di bawah 30 ton. Sedangkan kapal
berbobot mati di atas 30 ton dengan surat izin penangkapan berjumlah
4.221 unit.
Pada bentang laut lepas lebih dari 200 mil, Komisi
Tuna Samudra Hindia (IOTC) mencatat hanya ada 1 kapal Indonesia
berukuran di atas 1.000 ton dengan kuota tangkapan di Samudra Hindia.
Namun, izin kapal itu pun terindikasi sudah habis masa berlakunya sejak
tahun 2006.
Ketidakberdayaan kapal ikan Indonesia di laut sendiri
membuat perairan kita kerap dijarah kapal ikan asing. Tiga tempat yang
kerap dimasuki kapal asing secara ilegal adalah Laut China Selatan, Laut
Arafura, dan Laut Sulawesi bagian utara.
Rasa keadilan menjadi
terusik tatkala pemerintah secara terbuka mengizinkan hasil tangkapan
kapal besar untuk dipasok ke luar negeri. Argumentasi Kementerian
Kelautan dan Perikanan bahwa izin khusus ini adalah insentif bagi
pemodal untuk bisa optimal menangkap ikan di laut lepas memunculkan
kekhawatiran bahwa kebijakan itu akan salah sasaran.
Kebijakan itu
bisa membuka peluang bagi pemodal kuat menjarah sumber daya ikan
Indonesia bagi kepentingan asing. Janji pemerintah menempatkan pengawas
di kapal dan mendatangkan aparat bea cukai dengan helikopter ke kapal
1.000 ton menimbulkan tanda tanya, seberapa efisien dan efektif langkah
ini. Di sisi lain, ketentuan itu berpotensi memicu benturan dengan
nelayan kecil yang juga beroperasi lebih dari 100 mil. Juga mengancam
industri pengolahan karena kebutuhan bahan baku kian tak tercukupi. Visi
industrialisasi perikanan luntur.
Sudah waktunya pemerintah fokus
memperkuat kapal ikan dalam negeri untuk berdaya di perairan kita
sampai ke laut lepas sehingga hasil tangkapan akan optimal. Di tengah
menurunnya sumber daya ikan dan kekurangan bahan baku industri,
pengelolaan sumber daya ikan yang bijak dan bertanggung jawab sudah
keharusan. Jangan sampai kedaulatan bahari ini tergadai oleh arus
pengurasan ikan yang jauh dari kemanfaatan bangsa sendiri. (BM Lukita Grahadyarini)
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/02/08/02252722/Tergadainya.Laut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar