Pengakuan Bersalah, Momentum Langka
Perusahaan
milik Thailand yang beroperasi di Laut Timor pada sumur minyak Montara,
Kamis (30/8), akhirnya mengaku bersalah dalam pengadilan kasus ledakan
sumur yang mengakibatkan tumpahan minyak di perairan Laut Timor.
Pihak
PTTEP AA mengaku bersalah atas empat dakwaan terkait tumpahan minyak di
timur laut Australia. Kejadian ini kecelakaan lepas pantai terburuk di
Australia, pemberi izin eksplorasi pada PTTEP AA.
Luas
tumpahan minyak disebutkan meluas hingga sekitar 90.000 kilometer
persegi dan mencapai perairan Indonesia. Perusahaan yang sahamnya
dimiliki Pemerintah Thailand ini mengaku melanggar Offshore Petroleum
Act, gagal mengambil langkah pencegahan untuk tumpahan minyak, sehingga
membahayakan pekerjanya.
Pengakuan
bersalah itu juga dimuat pada situs resmi PTTEP AA dalam surat Presiden
dan Pemimpin Eksekutif (CEO) PTTEP Tevin Vongvanich, yang diangkat Mei
2012, kepada pihak Bursa Saham Thailand.
Seperti
ditulis kantor berita AFP, pihak PTTEP menghadapi tuntutan denda lebih
dari 1 juta dollar Australia (sekitar Rp 9 miliar). Pihak PTTEP
menyatakan, ”Kesalahan tersebut tidak akan terjadi lagi di masa depan.”
Mantan CEO PTTEP AA Ken Fitzpatrick mengatakan, ”Kami mengakui tanggung jawab kami dan kami amat menyesal.”
Menangkap momen
”Kemenangan”
pengadilan Australia tersebut nyata-nyata merupakan momen yang tak
boleh dibiarkan berlalu demikian saja oleh Indonesia. Indonesia telah
”dilecehkan” perusahaan Thailand itu. Penandatanganan nota kesepahaman
berkali-kali gagal!
Akibat
insiden itu, Pemerintah Indonesia mengajukan klaim untuk dana tanggung
jawab sosial perusahaan (CSR) 2,4 miliar dollar AS (sekitar 21,6
triliun, kurs Rp 9.000) sebagai kompensasi kerusakan terumbu karang dan
sektor perikanan. Hingga kini belum ada tanda-tanda dipenuhi.
Menarik
ke belakang, 21 Agustus 2009 merupakan mimpi buruk masyarakat di
sepanjang garis pantai Teluk Rote, Nusa Tenggara Timur. Sejak itu,
selama 72 hari, 30.000 barrel minyak mentah tumpah ke laut.
Pendapatan nelayan turun, baik dari tangkapan ikan maupun budidaya rumput laut yang langsung hancur.
Pada situasi
seperti sekarang, Yayasan Peduli Timor Barat, organisasi non-pemerintah
yang dipimpin Ferdi Tanoni, telah melangkah jauh.
Mulai dari
mengambil sampel di Laut Timor wilayah Indonesia, yang kemudian diakui
sebagai jejak tumpahan minyak Montara, hingga mengajukan gugatan resmi
ke Pengadilan Federal Australia pada akhir Agustus 2012, sesuai batas
pengajuan gugatan, yaitu tiga tahun dari kejadian.
Mewakili
pemerintah, pihak Unit Khusus Presiden untuk Pemantauan dan
Pengendalian Pembangunan telah bertemu Ferdi. Ferdi telah berkali-kali
mengajak pemerintah bersama-sama menyelesaikan kasus itu melalui
pengadilan Australia.
Di
sisi lain, pemerintah masih berupaya melakukan pendekatan bilateral.
Persoalannya, ketika Kementerian Perhubungan sebagai kementerian yang
memimpin tim penyelesaian kasus Montara tidak pernah ”bersuara”, publik
hanya bisa mengingatkan bahwa ribuan warga negeri ini membutuhkan
perlindungan negara.
Siapa
pun yang telah merugikan dan menyengsarakan warga Indonesia pantas
dituntut. Peran negara ini jelas termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Melindungi warganya, sekaranglah saatnya. Inilah momentumnya.
(Brigitta Isworo Laksmi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar