Perdagangan ikan secara illegal dilakukan melalui ekspor
dari Indonesia ke negara lain atau sebaliknya impor dari negara lain ke
Indonesia. Kata illegal dapat dipersepsikan sebagai kegiatan yang melanggar
peraturan perundangan di Indonesia. Dalam perspektif tersebut, maka lalu
lintas perdagangan ikan keluar dan masuk Indonesia diatur dalam peraturan
perundangan perdagangan dan pengaturan teknis peraturan perundangan Perikanan
diantaranya:
1) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang
menetapkan apakah jenis ikan tersebut dilarang untuk diimpor, sebagaimana sudah
diatur dalam UU no 31 tahun 2004 tentang Perikanan pasal 7. Apabila tidak ada
ketentuan larangan, maka berarti ikan tersebut boleh diimpor (dengan kata lain
legal).
2)
Peraturan Kepabeanan yang mengatur pembebanan bea masuk bagi impor kapal,
dimana semua pemasukan ikan wajib dilaporkan dalam dokumen PIB (pelaporan impor
barang) dan jika tidak dikenakan Bea Masuk maka ditulis 0 rupiah. Bagi impor
ikan yang tidak dilaporkan ke petugas Bea Cukai, maka dapat dikategorikan
illegal.
3)
Peraturan Perundangan yang berkaitan dengan transportasi atau pengangkutan,
jika diangkut dengan oleh alat angkut tidak memiliki izin, maka impor tsb juga
illegal.
4)
Peraturan Perundangan berkaitan dengan mutu dan kesehatan ikan itu sendiri.
Jika mutunya tidak memenuhi standar seperti HACCP (Hazzard Acceptance
Critical Control Point), berarti tidak aman dikonsumsi manusia, maka ikan
tersebut dimusnahkan atau direeskpor ke negara pengirim. Apabila ikan tersebut
tidak dilengkapi dengan sertifikat Karantina yang menunjukan ikan tersebut
bebas penyakit, maka ikan bisa dimusnahkan atau dikembalikan ke negara
pengirim.
Faktor pemicu Impor ikan illegal lebih banyak didorong oleh
faktor ekonomi (economic driven), dimana terjadi kesenjangan harga antara
negara pengimpor dengan negara pengekspor sehingga berlaku sifat alami perilaku
ekonomi, yaitu selama komoditas itu menguntungkan untuk diimpor maka akan terjadi
impor baik legal maupun illegal.
Contoh kasus impor ikan lele dari Malaysia ke Medan dan
Batam sudah berlangsung lama, disebabkan ikan Lele di daerah tersebut lebih
murah didatangkan dari Malaysia dibandingkan dari Jawa. Penyebabnya,
transportasi dari Jawa lebih jauh dan supply ikan Lele dari Jawa sulit karena
produksinya juga hanya mampu memenuhi kebutuhan di daerah Jawa. Produksi Lele
di tanah air sulit berkembang meskipun permintaan banyak karena harga pakan
terlalu mahal. Di Malaysia, subsidi untuk pembudidaya ikan cukup besar sehingga
harga produksinya bisa lebih murah. Sama halnya dengan ikan Patin, terjadi
impor dari Vietnam dengan nama lain yaitu Dori (banyak di hotel berbintang),
karena harga produksi budidaya patin di Vietnam jauh lebih murah karena subsidi
Pemerintah dan pakan ikan diproduksi di dalam negeri dengan harga murah.
Faktor pemicu ekspor ikan illegal pada dasarnya juga economic
driven, dimana terjadi disparitas harga yang cukup besar antara Indonesia
dengan negara-negara konsumen. Contoh Ikan Kakap Merah harga dalam negeri Rp 25
ribu/Kg dan harga di Thailand bisa mencapai Rp 50 ribu/Kg, artinya masih cukup
insentif untuk melakukan penangkapan dan ekspor secara illegal. Lalu berapa
kerugian negara akibat perdagangan ikan secara illegal ini?. Penulis mencoba
mengungkap kerugian yang bersifat kuantitatif dalam arti dapat dihitung dan
kerugian kualitatif dalam arti yang tidak bisa dihitung dengan angka.
1.
Jumlah ikan yang diekspor secara
illegal akibat penangkapan secara illegal oleh kapal asing dan eks asing
sekitar 15 s/d 30 Trilyun rupiah dengan estimasi: 1500 kapal asing illegalrat
dimana rata-rata produktivitas kapal menangkap ikan = 500 ton per
tahun/kapal (dihitung rata-rata 80 GT kapal dalam setahun 12 trip, per trip 1
bulan)., maka jumlah ikan yang dicuri oleh kapal asing illegal mencapai 1500
kapal x 500 ton = 750 ribu ton per tahun, dikonversi dengan harga ikan 2 USD
per Kg menghasilkan angka Rp 15 Trilyun. Pendekatan lain adalah ikan yg dicuri
dan dibawa ke luar negeri sejumlah 25% dari stok ikan berarti = 25% x 6,4 juta
ton/th = 1,6 juta ton ikan per tahun, jika dikonversi dengan harga ikan
rata-rata 2 USD/Kg maka akan didapat angka kerugian sekitar Rp 30 Trilyun per
tahun.
2.
Kerugian akibat impor ikan illegal
adalah opportunity lossess yang seharusnya nilai ekonomi dari perdagangan
diambil oleh masyarakat Indonesia = jumlah ikan impor dikalikan harga ikan.
Jenis ikan yang paling banyak diimpor illegal adalah Lele, Teri dan Layang
(Kembung). Jika diasumsikan rata-rata pertahun jumlah yang diimpor 1000 ton
masing-masing maka akan ada kerugian (Lele = Rp 12000/Kg; Teri = Rp 40000/Kg,
Kembung= Rp 15000/Kg) sebesar Rp 67 Milyar. Angka tersebut akan makin besar
manakala jumlah nyata ikan yg diimpor lebih besar dari estimasi tersebut.
3.
Kerugian kualitatif tentu saja ada
beberapa hal, antara lain: kredibilitas Indonesia di dunia Internasional kurang
baik karena tidak mampu mengontrol perdagangan ikan illegal; kebijakan
Pemerintah dalam menggenjot produksi ikan berarti gagal (akibat dari rendahnya
insentif dan kurang keberpihakan); komoditas ikan belum menjadi prioritas dalam
strategi pangan nasional.
Tanggung jawab dalam mengatasi kegiatan illegal baik ekspor
maupun impor atau illegal fishing tentu saja bukan hanya di pundak Pemerintah,
namun juga para pengusaha dan Asosiasi Perikanan.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh Pemerintah,
antara lain:
1.
KKP (Kementrian Kelautan dan
Perikanan) menetapkan dengan tegas jenis ikan yang dilarang impor demi
melindungi nelayan dan pembudidaya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang no
31 tahun 2004 Pasal 7, bentuknya Peraturan Menteri.
2.
Pengawasan ketat jalur ika masuk ke
Indonesia di daerah perbatasan seperti Batam, Belawan, Entikong baik melalui
darat, laut maupun udara. Hal ini terkait dengan peran Pengawas dan Petugas
Karantina Ikan yang perlu ditingkatkan kapasitas dan SDM nya. Demikian pula
jalur ekspor ikan illegal perlu diawasi terutama melalui laut dengan
meningkatkan patroli Pengawasan di laut, karena sebagain besar diangkut oleh
Kapal Pengangkut tanpa laporan di pelabuhan.
3.
Kebijakan dan aturan yang membuka
peluang illegal agar diperketat, misalnya masih dibolehkannya ABK asing di
Kapal Ikan bendera Indonesia dengan Surat Edaran Menteri padahal Undang-Undang
Perikanan nomor 45 tahun 2009 telah melarangnya, pelaksanaan Catch
Certification lebih diperketat terutama kepada kapal-kapal eks asing.
4.
Menerapkan kebijakan disinsentif
fiscal, misalnya penerapan bea ekspor bagi ikan segar/utuh (whole fish)
yang diangkut ke luar negeri dan menerapkan bea masuk bagi ikan impor baik
whole fish maupun ikan olahan.
5.
Pemerintah bersama Asosiasi membuat
daftar perusahaan eksportir dan importir ikan dengan daftar hitam dan putih
(black list dan white list). Perusahaan yang di black list adalah yang
melakukan pelanggaran dan jika terbukti melanggar hukum, sedangkan yang masuk
white list adalah perusahaan yang mentaati peraturan.
Memberantas ekspor dan impor ikan illegal tentu bukan
pekerjaan mudah karena adanya kebutuhan dan lemahnya pengawasan, namun upaya
serius dan keberpihakan kepada Indonesia perlu terus diperjuangkan tanpa lelah.
Dikupas oleh Dr. Aji Sularso, Pengamat Kelautan dan
Perikanan
Sumber Majalah Samudra
1 komentar:
hadeehh.. kok gitu ya??
Posting Komentar