PEKERJAAN rumah bagi pemerintah. Tidak adanya regulasi yang jelas tentang tata kelola pipa dan kabel bawah laut, menjadikan Indonesia negara paling semrawut. Ketidakharmonisan ini menyebabkan gangguan terhadap sektor lain, mulai dari alur transportasi, perikanan sampai dengan pencemaran lingkungan.
Pengamat bidang kelautan, Dietriech G. Bengen mengemukakan, jika tidak ada penataan dalam penempatan pipa dan kabel bawah laut akan terjadi tabrakan dengan alur lain. Kondisi ini terjadi karena belum adanya aturan hukum tentang penataan ruang di pesisir.
Menurutnya, sejak Undang-Undang No 27 tahun 2007 muncul, dalam perencanaan pembangunan terdapat hirarki, yaitu rencana strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan dan rencana aksi. Satu-satunya yang berkaitan dengan penataan ruang di pesisir, adalah rencana zonasi. Meliputi, zona kawasan pemanfaatan umum, zona kawasan konservasi, zona strategis kawasan tertentu, dan zona alur. Penempatan pipa dan sejenisnya seharusnya ditempatkan di zona alur.
“Jika rencana zonasi dilakukan, maka penempatan pipa kabel dan lainnya akan sesuai dengan aturan. Alur ini mencakup, alur pipa bawah laut, kabel, transportasi, dan biota. Jika itu sudah ditetapkan maka zonasi akan sesuai aturan,” jelasnya.
Karena itu, Dietriech mendesak pemerintah agar segera menyusun rencana zonasi agar setiap penempatan bisa serasi dan sesuai dengan peruntukannya. Seperti zona penempatan umum harus disesuaikan dengan kepentingan publik. Jangan sampai penempatan pipa merusak sektor ekonomi, sosial masyarakat atau wilayah yang sudah ditetapkan.
“Jika dibiarkan sangat berbahaya. Kalau salah dampak negatifnya sangat besar. Contohnya, jika pipa bawah laut bocor pengaruhnya akan terasa langsung pada kehidupan ikan dan ekosistem yang ada di sekitarnya,” ujar Dietriech.
Dietriech pun menegaskan, agar permasalahan ini segera mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Sebab, penempatan kabel dan pipa sangat penting untuk kelangsungan hidup masyarakat sekitar. “Jika tidak dikelola dengan baik, masyarakat akan terganggu, yang tentu memberikan dampak ekonomi besar, karena harus melakukan penataan ulang,” terang guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) ini.
Dietriech melihat, pertimbangan faktor anggaran menjadi penunjang ketidaksesuaian pembangunan alur pipa dan kabel. Karena alasan penempatan pipa dan kabel butuh anggaran yang sangat besar, mereka mengambil jalan pintas. Padahal, jika pekerjaan itu tidak optimal akan membawa kerugian lebih besar.
“Biaya pipa dan kabel itu sangat mahal. Penempatan pipa yang lebih jauh dengan zona lain bisa menambah biaya. Namun yang perlu dipertimbangkan, apakah pipa itu akan berfungsi untuk jangka panjang. Jadi, bukan mempertimbangkan besarnya biaya, tapi optimal atau tidaknya penempatan itu. Sehingga perlu dibangun alur yang sesuai,” ujarnya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institute Pertanian Bogor (IPB), Indra Jaya mengatakan, kesemrawutan kabel dan pipa bawah laut disebabkan karena Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang paham mengenai tata ruang bawah laut. Dia juga menyoroti masalah penataan kabel dan pipa terjadi karena tidak ada pemetaan yang rinci dari batimetri (kondisi bawah air).
“Jika pemetaan selesai, baru dilakukan pengaturan tata ruang. Tampaknya, hal ini belum dilakukan secara komprehensip sehingga menimbulkan ketidakteraturan dan terkesan semrawut,” kata Indra.
Indra menegaskan selain pengaturan tata ruang laut, perlu juga penetapan zonasi sehingga pengaturan penempatan kabel laut tidak menganggu aktivitas lain. “Artinya ada keharmonisan dengan sektor lain. Jika ada penataan ruang terpadu. Saya yakin kesemrawutan bisa dihindari. Ini perlu kesungguhan bersama dari semua sektor yang terlibat untuk melakukan komunikasi dan koordinasi terhadap apa yang dilakukan, baik kementerian yang berwenang, maupun perusahaan-perusahaan yang memasang pipa atau kabel bawah laut,” tandasnya.
Diketahui, peletakan jalur pipa bawah laut (offshore) sangat dipengaruhi kondisi perairan, baik di dasar maupun dipermukaan. Selain itu, perlu pengkajian secara geologi, geofisika, arus, gelombang, lingkungan dan aspek lainnya, seperti hukum, perundangan-undangan, hubungan dengan pengguna laut lainnya.
Sebagai contoh kasus, studi pada jalur pipa offshore Banjarmasin-Semarang. Jalur ini bejarak sekitar 600 kilometer, dengan lokasi landfall di daerah Takisung, Banjarmasin dan landing point di Semarang, Jawa Tengah. Daerah Takisung terpilih sebagai daerah landfall karena lokasi tersebut bukan daerah militer seperti di Pelaihari. Sehingga, tidak ada konflik interes dan bukan merupakan daerah sedimentasi tinggi. Daerah itu juga berdekatan dengan landing point dari pengguna lainnya, seperti kabel telekomunikasi.
Secara umum kondisi geologi jalur pipa Banjarmasin-Semarang merupakan daerah yang cukup stabil baik ditinjau dari segi tektonik maupun litologi dasar laut. Namun beberapa struktur patahanan antara Pulau Jawa dan Kalimantan harus tetap mendapatkan perhatian khusus. Demikian pula dengan pusat gempa yang tidak merata mungkin terlewati jalur pipa tersebut.
Untuk batimetri lokasi jalur pipa pada umumnya mempunyai topografi landai. Pada landing point semarang batimetri landai sampai jarak sekitar 2 km ke arah laut dan selanjutnya topografi agak curam.
Topografi landfall Takisung misalnya landai bergelombang. Penentuan jalur pipa di wilayah ini bisa melewati offshore secara keseluruhan atau melewati Karimun Jawa. Secara geologi daerah ini mempunyai kondisi dengan bahaya geologi seragam. Di mana Karimun Jawa merupakan daerah berkarang. Lokasi ini bisa teridentifikasi dari ekstraksi data Landsat TM.
Banyak kasus yang berhubungan dengan penataan pipa dan kabel bawah laut masuk dalam rencana zonasi. Karena itu, penataan alur pipa dan kabel bawah laut harus dibenahi secara serius. Jika dibiarkan akan mengganggu sektor ekonomi dan tranportasi, seperti yang terjadi di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur.
Contoh kasus, belum lama ini kabel bawah laut milik PT Perusahaan Listirik Negara (PLN) persero dan pipa gas Kodeco Energy Co.Ltd Surabaya diprotes karena dianggap telah menghambat realisasi pelebaran Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS). Di mana APBS akan dilebarkan menjadi 200 meter dari kondisi yang ada saat ini, yaitu 100 meter. Jelas ini sebuah persoalan yang harus segera diselesaikan. Jika tidak, kabel dan pipa-pipa di daerah lainnya bisa seperti yang terjadi di Surabaya.
Kepala Humas PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III (Persero), Edi Priyanto mengatakan, pelebaran alur dilakukan untuk melancarkan pergerakan kapal generasi enam dan tujuh yang memiliki ukuran sangat besar dibandingkan kapal-kapal yang selama ini sandar di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. “Di sisi lain, Surabaya adalah pintu gerbang pergerakan ekonomi Jawa Timur dan Kawasan Timur Indonesia,” ujarnya.
Edi memprediksi, jika permasalahan kabel bawah laut PLN dan pipa gas Kodeco tidak segera ditangani serius Pemerintah Provinsi Jatim, hal ini bisa berdampak negatif bagi perekonomian di wilayah tersebut. “Bahkan bisa menghambat pencapaian pertumbuhan ekonomi Jatim 2011 yang diharapkan gubernur bisa tumbuh di atas 7 persen,” terangnya.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur juga mempersoalkan posisi kabel di atas dasar laut (sea belt) PLN yang ditanam tidak lebih dari 12 meter dari permukaan laut dan pipa gas Kodeco. Dalam aturannya, kabel tersebut harus ditanam 5 meter di bawah dasar laut.
Ketua Kadin Jatim La Nyalla Matalitti menyatakan, aturan penanaman kabel bawah laut sebetulnya sudah ada. Kabel listrik maupun pipa gas yang melintang alur pelayaran selain harus ditanam didasar laut juga harus diasuransikan oleh pengelola. Untuk itu, pihaknya meminta pemerintah agar menerbitkan regulasi yang memberikan jaminan terhadap keamanan alur pelayaran.
“Jika tidak ada jaminan dari pemerintah, akan menurunkan citra pelabuhan Indonesia. Efeknya berdampak pada kapal-kapal internasional. Mereka menolak berlabuh sehingga memperpanjang mata rantai transportasi pengiriman barang melalui laut,” ungkapnya.
Mengenai kasus tersangkutnya jangkar kapal milik PT Dharma Lautan Utama (DLU) ke kabel bawah laut milik PLN di APBS, Direktur Utama DLU, Bambang Harjo mengungkapkan, permasalahan itu tidak bisa menyalahkan kapal yang dianggap tidak melihat rambu-rambu di alur tersebut.
“Keberadaan kabel PLN selama ini telah mengganggu kelancaran APBS, menyusul survei Administrator Pelabuhan Gresik dan Surabaya yang menjalin kerjasama dengan INSA Surabaya (tanggal 25 – 26 Maret 2011) di alur tersebut,” kata Bambang.
Berdasarkan hasil survei INSA, Administrator Pelabuhan Gresik serta Administrator Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, kabel PLN tidak ditanam sesuai prosedur. “Apalagi, posisi kabel sirkuit 2 PLN hanya berada di kedalaman air 21-24 meter dan bisa terlihat sepanjang 345 meter,” ungkapnya.
Padahal, lanjut Bambang, penanaman kabel bawah laut harus dilakukan sesuai izin prinsip yang dikeluarkan Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, pada 24 April 1996, yaitu kabel harus ditanam 4,5 meter dari “seabed”.
Pihaknya berharap, pemerintah pusat maupun Pemprov Jatim segera mengambil langkah tegas mengatasi keberadaan kabel PLN yang menghambat kelancaran APBS. “Terserah mau kabelnya diperdalam atau dipindah, yang penting APBS aman dari kabel berbahaya tersebut. Kami juga minta masyarakat Madura mendesak Pemerintah dan PLN menuntaskan permasalahan itu. Mengingat jaminan ketersediaan aliran listrik merupakan hak warga negara dan kewajiban negara yang diwakili PLN untuk melaksanakannya,” jelas Bambang.
Menanggapi itu, Direktur Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil Ditjen KP3K, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Subandono Diposaptono mengatakan, permasalahan tersebut sebenarnya telah diatur dalam UU 27 tahun 2007. Di mana, setiap provinsi, kabupaten atau kota diwajibkan menyusun hirarki perencanaan, meliputi rencana isu, visi, misi strategis dalam pengelolaan pesisir dan laut.
“Setelah ada rencana strategis, visi dan misi, alokasi ruang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil selama 20 tahun harus dikerjakan dan dibangun. Pertama, kawasan pemanfaatan umum, misalnya untuk pemukiman, pertanian, perikanan, pariwisata. Selanjutnya, kawasan konservasi, kawasan nasional strategis, serta alur yang berkaitan dengan kabel dan pipa bawah laut,” kata Subandono kepada Indonesia Maritime Magazine.
Menurut Subandono, pengaturan alur tidak hanya untuk alur pelayaran, tapi termasuk alur migrasi ikan dan kabel laut. Semua dituangkan di sana. “Kita ini hanya sebagai regulasi. Kalau soal pelaksanaan kan bagaimana yang melaksanakannya saja,” tukasnya.
Lalu bagaimana dengan tingkat pengawasan terhadap kabel dan pipa yang dinilai tidak sesuai standar? Subandono menjawab itu adalah kewenangan Dirjen Pengawasan (KKP). “Soal pengawasan tentunya ada di Dirjen Pengawasan, saya tidak paham soal itu,” ucapnya.
Mengenai masalah harmonisasi penanaman pipa kabel dengan jalur pelayaran, Subandono mengklaim hal itu sudah selesai. Untuk pipa gas merupakan wewenang pusat, berada di bawah tanggung jawab Kementerian Lingkungan Hidup. “Biasanya selalu diundang pakar-pakar, pemda setempat, dan LSM, untuk menunjang harmonisasi dan mencegah kesemrawutan,” ujarnya.
Sementara itu, terkait pipa gas Kodeco, perwakilan BP Migas Jatim, Hamdi Zaenal menjelaskan dari pertemuan dengan Menko Perekonomian dan Dirjen Perhubungan Laut, beberapa waktu lalu, pihaknya telah memerintahkan Kodeco untuk memperdalam letak pipa. Proses pendalaman pipa ini, memakan waktu tiga bulan.
http://indomaritimeinstitute.org/?p=1257
Tidak ada komentar:
Posting Komentar