10 April 2017
Dibaca Normal 2 menit
Letusan
terdahsyat gunung Tambora terjadi pada 10 April 1815. Tiga kerajaan di
lereng gunung terkubur beserta penduduknya. Tsunami menyapu dari Jawa
Timur hingga Kepulauan Maluku.
tirto.id
- Ada yang berbeda dari musim semi 1815 di langit Eropa. Cuaca tak
wajar terjadi, ditandai hujan lebat disertai badai. Lazimnya, hujan
apalagi disertai badai sudah tidak ditemui lagi ketika akan memasuki
musim semi yang kaya sinar matahari.
Di saat bersamaan, pada 18 Juni 1815, adalah pertempuran penting bagi Napoleon yang mewakili Kekaisaran Prancis melawan lima koalisi kekaisaran Eropa. Pertempuran sengit yang berlokasi di Waterloo ini kemudian jadi babak akhir dari kiprah Napoleon Bonaparte. Pasukannya kalah. Di antara sederet analisis kekalahan perang, salah satu yang ditunjuk sebagai penyebabnya adalah cuaca ekstrem mencuat.
“[...] Hujan turun begitu lebat, tentara tertua dari pasukan itu bahkan tidak pernah melihat kejadian seperti ini,” tulis John Lewis dalam "The Weather of the Waterloo Campaign 16 to 18 June 1815: Did it Change the Course of History?"
Catatan "Napoleon, The Tambora Eruption and Waterloo" karya John Tarttelin turut menyebut pasukan Napoleon digambarkan sangat terganggu oleh hujan lebat yang sedang melanda, dan mereka terpaksa menunda perjalanan ke Waterloo. Sementara itu, pihak balatentara Prusia terus menerjang badai untuk terlebih dahulu mencapai Waterloo.
Terlepas dari kekalahan Napoleon, cuaca ekstrem yang sedang melanda bumi adalah akibat meletusnya sebuah gunung api yang kini letaknya adalah bagian dari Pulau Sumbawa, Gunung Tambora.
Thomas Stamford Raffles yang kala itu memerintah Jawa sejak 1811 mencatat peristiwa letusan dahsyat tersebut dalam memoarnya.
Ia mencatat letusan pertama terdengar sampai Jawa pada sore hari tanggal 5 April dan setiap 15 menit terus terdengar sampai hari-hari berikutnya. Mulanya, suara ini dianggap suara meriam hingga sebuah detasemen tentara bergerak dari Yogyakarta, mengira pos terdekat sedang diserang.
Perahu-perahu di pesisir turut dikerahkan oleh pejabat setempat. Mereka menafsirkan suara dentuman itu sebagai sinyal minta tolong dari kapal rekanan di laut dan perlu segera ditolong. Suara gemuruh ini tidak hanya terdengar sampai ke Jawa, tetapi juga sampai di Ternate dan Maluku. Letusan ini terus terjadi dan kian membesar.
Yang paling dahsyat terjadi pada pagi pukul tujuh tanggal 10 April. Laporan yang dihimpun William & Nicholas Klingaman berjudul "Tambora Erupts in 1815 and Changes World History" menyebut hampir seluruh isi perut gunung dimuntahkan, yakni magma, abu yang memancar, dan batuan cair yang menembak ke segala arah. Berlangsung sekira satu jam, begitu banyak abu dan debu terlempar berada di uadara hingga menutupi pandangan terhadap gunung.
Merujuk kembali ke catatan Thomas Stamford Raffles, letusan dahsyat tanggal 10 April 1815 ini terdengar sampai ke Sumatera.
Dalam skala kekuatan erupsi gunung berapi, Volcanic Explosivity Index (VEI), letusan Tambora menempati VEI 7 atau tertinggi kedua dari puncak VEI 8. Menurut Volcano Discovery, sekitar 50 sampai 150 kilometer kubik magma keluar dari perut bumi melalui Tambora yang menghasilkan kubah kolosal setinggi hampir 40 sampai 50 kilometer itu membawa abu dalam jumlah besar di angkasa.
Karena dahsyatnya letusan ini, gunung Tambora yang mulanya menjulang setinggi 4.300 mdpl menjadi terpangkas sampai tersisa setinggi 2.772 mdpl. Ledakan terdengar hingga 2.600 kilometer jauhnya, dan abunya jatuh setidaknya sejauh 1.300 kilometer.
Di saat bersamaan, pada 18 Juni 1815, adalah pertempuran penting bagi Napoleon yang mewakili Kekaisaran Prancis melawan lima koalisi kekaisaran Eropa. Pertempuran sengit yang berlokasi di Waterloo ini kemudian jadi babak akhir dari kiprah Napoleon Bonaparte. Pasukannya kalah. Di antara sederet analisis kekalahan perang, salah satu yang ditunjuk sebagai penyebabnya adalah cuaca ekstrem mencuat.
“[...] Hujan turun begitu lebat, tentara tertua dari pasukan itu bahkan tidak pernah melihat kejadian seperti ini,” tulis John Lewis dalam "The Weather of the Waterloo Campaign 16 to 18 June 1815: Did it Change the Course of History?"
Catatan "Napoleon, The Tambora Eruption and Waterloo" karya John Tarttelin turut menyebut pasukan Napoleon digambarkan sangat terganggu oleh hujan lebat yang sedang melanda, dan mereka terpaksa menunda perjalanan ke Waterloo. Sementara itu, pihak balatentara Prusia terus menerjang badai untuk terlebih dahulu mencapai Waterloo.
Terlepas dari kekalahan Napoleon, cuaca ekstrem yang sedang melanda bumi adalah akibat meletusnya sebuah gunung api yang kini letaknya adalah bagian dari Pulau Sumbawa, Gunung Tambora.
Thomas Stamford Raffles yang kala itu memerintah Jawa sejak 1811 mencatat peristiwa letusan dahsyat tersebut dalam memoarnya.
Ia mencatat letusan pertama terdengar sampai Jawa pada sore hari tanggal 5 April dan setiap 15 menit terus terdengar sampai hari-hari berikutnya. Mulanya, suara ini dianggap suara meriam hingga sebuah detasemen tentara bergerak dari Yogyakarta, mengira pos terdekat sedang diserang.
Perahu-perahu di pesisir turut dikerahkan oleh pejabat setempat. Mereka menafsirkan suara dentuman itu sebagai sinyal minta tolong dari kapal rekanan di laut dan perlu segera ditolong. Suara gemuruh ini tidak hanya terdengar sampai ke Jawa, tetapi juga sampai di Ternate dan Maluku. Letusan ini terus terjadi dan kian membesar.
Yang paling dahsyat terjadi pada pagi pukul tujuh tanggal 10 April. Laporan yang dihimpun William & Nicholas Klingaman berjudul "Tambora Erupts in 1815 and Changes World History" menyebut hampir seluruh isi perut gunung dimuntahkan, yakni magma, abu yang memancar, dan batuan cair yang menembak ke segala arah. Berlangsung sekira satu jam, begitu banyak abu dan debu terlempar berada di uadara hingga menutupi pandangan terhadap gunung.
Merujuk kembali ke catatan Thomas Stamford Raffles, letusan dahsyat tanggal 10 April 1815 ini terdengar sampai ke Sumatera.
Dalam skala kekuatan erupsi gunung berapi, Volcanic Explosivity Index (VEI), letusan Tambora menempati VEI 7 atau tertinggi kedua dari puncak VEI 8. Menurut Volcano Discovery, sekitar 50 sampai 150 kilometer kubik magma keluar dari perut bumi melalui Tambora yang menghasilkan kubah kolosal setinggi hampir 40 sampai 50 kilometer itu membawa abu dalam jumlah besar di angkasa.
Karena dahsyatnya letusan ini, gunung Tambora yang mulanya menjulang setinggi 4.300 mdpl menjadi terpangkas sampai tersisa setinggi 2.772 mdpl. Ledakan terdengar hingga 2.600 kilometer jauhnya, dan abunya jatuh setidaknya sejauh 1.300 kilometer.
Di
lereng Tambora, ada tiga kerajaan yang tercatat yaitu Kerajaan Tambora,
Kerajaan Sanggar, dan Kerajaan Pekat yang semuanya musnah karena
letusan Tambora. Kerajaan Bima sendiri turut mencatat peristiwa
mahadahsyat ini seperti tertuang dalam naskah kuno Bo Sangaji Kai.
Di hari puncak letusan yang terjadi pada 10 April itu, tsunami juga menerjang berbagai pulau di Indonesia sebagai dampak dari letusan Tambora. Tercatat, di wilayah Sanggar tsunami menerjang setinggi 4 meter, di Besuki Jawa Timur tsunami setinggi 2 meter terjadi sebelum tengah malam, juga di Kepulauan Maluku. U.S. Geological Survey mencatat korban tewas diperkirakan sebanyak 4.600 jiwa.
Bagi bumi, letusan Tambora berdampak terhadap perubahan iklim global lantaran sulfur dioksida yang turut lepas ke lapisan stratosfer. Musim semi tahun 1815 menjadi terganggu karena debu-debu dan kandungan yang dibawa tertiup angin bergeser ke langit Eropa, Amerika, dan lainnya.
Clive Oppenheimer dalam tulisannya berjudul "Climatic, Environmental and Human Consequences of the Largest known Historic Eruption: Tambora Volcano (Indonesia) 1815" menyebut kabut kering terlihat dari timur laut Amerika Serikat. Hal ini terus berlanjut hingga musim panas 1815. Di belahan bumi utara, terjadi kondisi cuaca ekstrem hingga disebut peristiwa “Tahun Tanpa Musim Panas” pada 1816, karena Eropa menjadi gelap.
Suhu global menurun sekitar 0,4 sampai 0,7 derajat celsius akibat kabut kering yang menyelimuti bumi. Pertanian yang seharusnya mendapat paparan sinar matahari di musim semi menjadi gagal panen di India dan timbul wabah kolera di Bengal pada 1816. Tifus menyerang wilayah Eropa tenggara dan timur Mediterania antara 1816 sampai 1819.
Gagal panen karena suhu dingin dan hujan lebat melanda Inggris dan Irlandia. Kelaparan merata di utara dan barat daya Irlandia karena gagal panen gandum, oat, dan kentang. Jerman dilanda krisis: harga pangan meningkat akibat kelangkaan. Demonstrasi menjadi pemandangan umum di depan pasar dan toko roti, diikuti kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan yang menjadikan kelaparan terburuk di Eropa pada abad ke 19.
Merujuk penelitian Oppenheimer, jumlah kematian langsung di wilayah sekitar Tambora maupun tidak langsung sebagai dampak luas di seluruh dunia mencapai 71.000 jiwa. Laporan Anthony Reid saat peringatan 200 tahun meletusnya Tambora menunjukkan angka kematian bahkan mencapai 100.000 jiwa.
Dari letusan yang tercatat terhebat sepanjang sejarah modern, banyak peristiwa sejarah dunia turut lahir. Termasuk penemuan sepeda di Amerika dan Prancis karena kematian para kuda, hingga lagu Malam Kudus dari Austria yang ikonik menjelang malam Natal.
Kini, kaldera yang terbentuk di gunung Tambora merupakan kaldera aktif terbesar di dunia. Daerah di sekitar lereng Tambora pun turut menjadi pusat penelitian arkeologi terkait tertimbunnya tiga kerajaan sekaligus.
Di hari puncak letusan yang terjadi pada 10 April itu, tsunami juga menerjang berbagai pulau di Indonesia sebagai dampak dari letusan Tambora. Tercatat, di wilayah Sanggar tsunami menerjang setinggi 4 meter, di Besuki Jawa Timur tsunami setinggi 2 meter terjadi sebelum tengah malam, juga di Kepulauan Maluku. U.S. Geological Survey mencatat korban tewas diperkirakan sebanyak 4.600 jiwa.
Bagi bumi, letusan Tambora berdampak terhadap perubahan iklim global lantaran sulfur dioksida yang turut lepas ke lapisan stratosfer. Musim semi tahun 1815 menjadi terganggu karena debu-debu dan kandungan yang dibawa tertiup angin bergeser ke langit Eropa, Amerika, dan lainnya.
Clive Oppenheimer dalam tulisannya berjudul "Climatic, Environmental and Human Consequences of the Largest known Historic Eruption: Tambora Volcano (Indonesia) 1815" menyebut kabut kering terlihat dari timur laut Amerika Serikat. Hal ini terus berlanjut hingga musim panas 1815. Di belahan bumi utara, terjadi kondisi cuaca ekstrem hingga disebut peristiwa “Tahun Tanpa Musim Panas” pada 1816, karena Eropa menjadi gelap.
Suhu global menurun sekitar 0,4 sampai 0,7 derajat celsius akibat kabut kering yang menyelimuti bumi. Pertanian yang seharusnya mendapat paparan sinar matahari di musim semi menjadi gagal panen di India dan timbul wabah kolera di Bengal pada 1816. Tifus menyerang wilayah Eropa tenggara dan timur Mediterania antara 1816 sampai 1819.
Gagal panen karena suhu dingin dan hujan lebat melanda Inggris dan Irlandia. Kelaparan merata di utara dan barat daya Irlandia karena gagal panen gandum, oat, dan kentang. Jerman dilanda krisis: harga pangan meningkat akibat kelangkaan. Demonstrasi menjadi pemandangan umum di depan pasar dan toko roti, diikuti kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan yang menjadikan kelaparan terburuk di Eropa pada abad ke 19.
Merujuk penelitian Oppenheimer, jumlah kematian langsung di wilayah sekitar Tambora maupun tidak langsung sebagai dampak luas di seluruh dunia mencapai 71.000 jiwa. Laporan Anthony Reid saat peringatan 200 tahun meletusnya Tambora menunjukkan angka kematian bahkan mencapai 100.000 jiwa.
Dari letusan yang tercatat terhebat sepanjang sejarah modern, banyak peristiwa sejarah dunia turut lahir. Termasuk penemuan sepeda di Amerika dan Prancis karena kematian para kuda, hingga lagu Malam Kudus dari Austria yang ikonik menjelang malam Natal.
Kini, kaldera yang terbentuk di gunung Tambora merupakan kaldera aktif terbesar di dunia. Daerah di sekitar lereng Tambora pun turut menjadi pusat penelitian arkeologi terkait tertimbunnya tiga kerajaan sekaligus.
Baca juga artikel terkait SEJARAH atau tulisan menarik lainnya Tony Firman
(tirto.id - Humaniora)
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar