Oleh: Sudarman (Ketua Yayasan Mattirotasi)
Indonesia berada pada posisi kedua dari sepuluh
negara produksi tuna tertinggi, yaitu sebesar 9.9 juta ton sejak
1960-2015. Produksi total tuna Indonesia di kawasan penangkapan Samudera
Pasifik Bagian Barat Tengah mencapai 9.9 juta ton sejak 1960-2015.
Indonesia sendiri merupakan jalur migrasi tuna sehingga perairan ini
merupakan kawasan pertemuan tuna yang berasal dari Samudra Pasifik dan
Samudra Hindia.
Menurut Laporan FAO (2009), 80% sumber tuna Indonesia berasal dari Samudra Pasifik, sedangkan sisahnya 20% berasal dari kawasan Samudra Hindia. Buku statistik tahunan Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) yang mengelola tuna dan spesies seperti tuna di Samudera Pasifik Bagian Barat Tengah, mencatat bahwa produksi tuna di kawasan ini pada 1960-2015 telah mencapai 71 juta ton. Samudera Pasifik Bagian Barat Tengah ini masuk pada Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) 713.
Salah satu pemasok tuna Indonesia berasal dari Teluk Bone, yang berada pada WPP-NRI 713. Dari 8 kabupaten dan 1 kota dalam kawasan ini, terdapat 5 kabupaten yang aktif melakukan penangkapan tuna di kawasan Teluk Bone.
Salah satunya adalah Kecamatan Larompong Selatan, Kabupaten Luwu, yang menjadikan tuna sebagai produk unggulan. Sejak tahun 2005, nelayan penangkap tuna di Luwu telah membentuk Kelompok Usaha Bersama (KUB) Sumber Laut.
KUB Sumber Laut yang beranggotakan 77 nelayan ini telah memproduksi sekitar 181 ton spesies yellowfin tuna sejak tahun 2012 sampai 2016 dengan hasil tangkapan kelompok rata-rata 36 ton per tahunnya menggunakan pancing ulur dengan ukuran kapal 6 – 9 GT.
Sejak tahun 2014, Yayasan Mattirotasi, lembaga percepatan pembangunan perikanan yang merupakan mitra WWF-Indonesia, telah mendukung KUB Sumber Laut yang ingin berkomitmen positif dalam mentransformasikan kegiatan industri perikanan tuna secara berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Komitmen kelompok ini perlu ditindaklanjuti, mengingat bahwa di WPP-NRI 713, FAO dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber daya Ikan di WPPNRI, telah menetapkan tuna madidihang berada pada kondisi over exploited, tuna mata besar berstatus fully exploited sedangkan cakalang pada kondisi moderate. Memang, perikanan tuna, cakalang, dan tongkol merupakan jenis spesies yang kondisinya rawan pada eksploitasi berlebih.
Karena itulah, sebagai upaya penyelamatan keberlangsungan perikanan tuna, Yayasan Mattirotasi bersama WWF-Indonesia yang tergabung dalam skema JARNUS (Jaringan Perikanan Bertanggung Jawab Nusantara) menyambut komitmen KUB Sumber Laut dengan melakukan identifikasi aktivitas penangkapan tuna oleh kelompok. Tahap ini merupakan langkah awal dalam menginisiasi rencana program perbaikan perikanan (Fisheries Improvement Project/FIP) di Kabupaten Luwu.
Selama 22 - 25 Desember 2017 di Desa Bonepute, Kabupaten Luwu ini, tim identifikasi yang terdiri atas perwakilan Yayasan Mattirotasi dan WWF-Indonesia, turun langsung mewawancarai nelayan anggota kelompok. Hal ini untuk mengetahui praktik penangkapan tuna yang selama ini dilaksanakan oleh nelayan anggota KUB Sumber Laut, mulai dari persiapan penangkapan tuna sampai ke rantai pasar.
“Kami menyambut baik rencana program perbaikan dan pendampingan yang akan dijalankan oleh Tim JARNUS kepada nelayan kami di Desa Bonepute,” sambut H. Andi Fatahillah S.Pi, MM, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Luwu, dalam kunjungan tim identifikasi ke kantor DKP. Hari itu, kami berdiskusi seputar rencana program perbaikan perikanan tuna dan program Pemerintah Kabupaten Luwu di bidang perikanan.
“Kami masih terkendala keterbatasan sumber daya manusia, sehingga kegiatan – kegiatan pemberdayaan nelayan tidak berjalan secara maksimal. Belum lagi, status ilmiah terkait produksi perikanan serta status stok yang belum lengkap,” paparnya. “Namun, paralel, kami juga melakukan pembenahan kelembagaan di sektor perikanan, agar program pendampingan ini bisa terlaksana dengan baik,” lanjutnya.
Dari hasil identifikasi dan diskusi seputar praktik perikanan tuna di Kabupaten Luwu dengan berbagai narasumber, diketahui beberapa hal yang masih perlu ditingkatkan. Salah satunya, penanganan pasca tangkap mulai dari saat ikan dinaikkan ke kapal sampai didaratkan. Selain itu, juga pengurusan izin menangkap dan pembaharuan peraturan pemerintah yang masih dianggap belum cukup disosialisasikan ke seluruh stakeholder terkait perikanan tuna.
Dengan adanya informasi awal ini, diharapkan ke depannya, program perbaikan yang akan dijalankan bisa membantu nelayan tuna di Desa Bonepute, Luwu dalam meningkatkan dan menjaga kualitas hasil tangkapannya agar tetap lestari, sehingga bisa menjadi sumber perekonomian utama dan meningkatkan kesejahteraan mereka.
Menurut Laporan FAO (2009), 80% sumber tuna Indonesia berasal dari Samudra Pasifik, sedangkan sisahnya 20% berasal dari kawasan Samudra Hindia. Buku statistik tahunan Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) yang mengelola tuna dan spesies seperti tuna di Samudera Pasifik Bagian Barat Tengah, mencatat bahwa produksi tuna di kawasan ini pada 1960-2015 telah mencapai 71 juta ton. Samudera Pasifik Bagian Barat Tengah ini masuk pada Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) 713.
Salah satu pemasok tuna Indonesia berasal dari Teluk Bone, yang berada pada WPP-NRI 713. Dari 8 kabupaten dan 1 kota dalam kawasan ini, terdapat 5 kabupaten yang aktif melakukan penangkapan tuna di kawasan Teluk Bone.
Salah satunya adalah Kecamatan Larompong Selatan, Kabupaten Luwu, yang menjadikan tuna sebagai produk unggulan. Sejak tahun 2005, nelayan penangkap tuna di Luwu telah membentuk Kelompok Usaha Bersama (KUB) Sumber Laut.
KUB Sumber Laut yang beranggotakan 77 nelayan ini telah memproduksi sekitar 181 ton spesies yellowfin tuna sejak tahun 2012 sampai 2016 dengan hasil tangkapan kelompok rata-rata 36 ton per tahunnya menggunakan pancing ulur dengan ukuran kapal 6 – 9 GT.
Sejak tahun 2014, Yayasan Mattirotasi, lembaga percepatan pembangunan perikanan yang merupakan mitra WWF-Indonesia, telah mendukung KUB Sumber Laut yang ingin berkomitmen positif dalam mentransformasikan kegiatan industri perikanan tuna secara berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Komitmen kelompok ini perlu ditindaklanjuti, mengingat bahwa di WPP-NRI 713, FAO dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber daya Ikan di WPPNRI, telah menetapkan tuna madidihang berada pada kondisi over exploited, tuna mata besar berstatus fully exploited sedangkan cakalang pada kondisi moderate. Memang, perikanan tuna, cakalang, dan tongkol merupakan jenis spesies yang kondisinya rawan pada eksploitasi berlebih.
Karena itulah, sebagai upaya penyelamatan keberlangsungan perikanan tuna, Yayasan Mattirotasi bersama WWF-Indonesia yang tergabung dalam skema JARNUS (Jaringan Perikanan Bertanggung Jawab Nusantara) menyambut komitmen KUB Sumber Laut dengan melakukan identifikasi aktivitas penangkapan tuna oleh kelompok. Tahap ini merupakan langkah awal dalam menginisiasi rencana program perbaikan perikanan (Fisheries Improvement Project/FIP) di Kabupaten Luwu.
Selama 22 - 25 Desember 2017 di Desa Bonepute, Kabupaten Luwu ini, tim identifikasi yang terdiri atas perwakilan Yayasan Mattirotasi dan WWF-Indonesia, turun langsung mewawancarai nelayan anggota kelompok. Hal ini untuk mengetahui praktik penangkapan tuna yang selama ini dilaksanakan oleh nelayan anggota KUB Sumber Laut, mulai dari persiapan penangkapan tuna sampai ke rantai pasar.
“Kami menyambut baik rencana program perbaikan dan pendampingan yang akan dijalankan oleh Tim JARNUS kepada nelayan kami di Desa Bonepute,” sambut H. Andi Fatahillah S.Pi, MM, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Luwu, dalam kunjungan tim identifikasi ke kantor DKP. Hari itu, kami berdiskusi seputar rencana program perbaikan perikanan tuna dan program Pemerintah Kabupaten Luwu di bidang perikanan.
“Kami masih terkendala keterbatasan sumber daya manusia, sehingga kegiatan – kegiatan pemberdayaan nelayan tidak berjalan secara maksimal. Belum lagi, status ilmiah terkait produksi perikanan serta status stok yang belum lengkap,” paparnya. “Namun, paralel, kami juga melakukan pembenahan kelembagaan di sektor perikanan, agar program pendampingan ini bisa terlaksana dengan baik,” lanjutnya.
Dari hasil identifikasi dan diskusi seputar praktik perikanan tuna di Kabupaten Luwu dengan berbagai narasumber, diketahui beberapa hal yang masih perlu ditingkatkan. Salah satunya, penanganan pasca tangkap mulai dari saat ikan dinaikkan ke kapal sampai didaratkan. Selain itu, juga pengurusan izin menangkap dan pembaharuan peraturan pemerintah yang masih dianggap belum cukup disosialisasikan ke seluruh stakeholder terkait perikanan tuna.
Dengan adanya informasi awal ini, diharapkan ke depannya, program perbaikan yang akan dijalankan bisa membantu nelayan tuna di Desa Bonepute, Luwu dalam meningkatkan dan menjaga kualitas hasil tangkapannya agar tetap lestari, sehingga bisa menjadi sumber perekonomian utama dan meningkatkan kesejahteraan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar