Indonesia yang memiliki luasan
2/3 bagian yang terdiri dari laut, menjadikan sumberdaya kelautan dan
perikanan merupakan komponen penting dalam mewujudkan keberhasilan
Indonesia sebagai poros maritim dunia. Hal ini disebabkan antara lain
karena sumberdaya kelautan dan perikanan sebagai salah satu sumber
devisa negara dan penyedia bahan pangan yang dapat memenuhi kebutuhan
protein hewani.
Saat ini, akar permasalahan
terjadinya Illegal, Unregulated and Unreported Fishing (IUUF) adalah
regulasi sistem tata kelola perikanan yang dibuat belum mengikuti
tuntutan dinamika perkembangan dan kompleksitas permasalahan yang
semakin tinggi. Apabila tata kelola perikanan tangkap tidak segera
dilakukan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan maka tidak menutup
kemungkinan over fishing semakin banyak bahkan eksploitasi sumber daya
ikan akan terjadi.
Narmoko Prasmadji, Direktur
Jenderal Perikanan Tangkap, Senin (21/12) menjelaskan, over fishing
dapat disebabkan oleh laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat,
sehingga kebutuhan akan pangan termasuk dari ikan semakin meningkat.
Selain itu harga komoditas perikanan menunjukkan nilai jual semakin
tinggi dan dianggap merupakan ladang bisnis yang menarik dan
menjanjikan, sehingga terjadi kompetisi yang serius dengan menggunakan
kemampuan yang dominan artinya yang punya modal besar akan mendapatkan
lebih cepat.
Tak hanya itu, ketersediaan sumber
daya ikan di negara-negara dunia selain Indonesia semakin memperlihatkan
kecenderungan menurun, sehingga dorongan kebijakan negara dunia untuk
memanfaatkan sumberdaya yang ada selain di negaranya sendiri termasuk ke
perairan Indonesia. Di Indonesia sendiri, pertumbuhan penduduk yang
secara signifikan selalu meningkat, permintaan terhadap kebutuhan ikan
semakin meningkat, masyarakat pesisir yang sebagin besar masyarakat
dikatagorikan termasuk miskin dan lahan pertanian semakin berkurang
untuk berusaha, serta kecenderungan memilih sebagai nelayan apabila
mendapatkan pemutusan hasil pekerjaan (PHK), ditambah lagi dengan
penegakan hukum yang masih rendah, sehingga tekanan sumberdaya ikan
semakin besar.
Sebagai contoh, laut utara Jawa
yang telah dieksplotasi oleh ±390.000 nelayan dengan ±122.500 unit alat
tangkap yang berbeda (DJPT,2010). Tekanan penangkapan ini termasuk pada
tingkat yang paling tinggi dibandingkan dengan wilayah perairan pantai
lainnya. Hampir semua jenis perikanan di pantai Utara Jawa sudah
diidentifikasi mengalami tangkap penuh (fully-exploited) maupun tangkap
lebih (over exploited) (KepMen KP No. 45/men/2011). Jenis tekanan
lainnya yang juga mengancam kelangsungan sumber daya 0 – 4 mil Utara
Jawa ialah: penangkapan tidak ramah lingkungan, pencemaran, sedimentasi,
dan pembangunan di wilayah pesisir (RRSEA, 2002).
Pengelolaan
0 – 4 mil laut berbasis konservasi yang dicanangkan oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) tentunya akan memberikan dampak positif.
Yaitu memberikan kesempatan kepada sumber daya ikan di kawasan 0 – 4 mil
laut Pantai Utara Jawa untuk beregenerasi dan memulihkan diri. Umumnya
daerah terumbu karang dan padang lamun berada pada kawasan di bawah 4
mil dimana kawasan ini meruoakan daerah pemijahan, pengasuhan dan
pembesaran serta merupakan rantai makanan yang paling penting. Namun hal
ini tentunya tidak dapat dirasakan secara langsung dalam waktu yang
singkat oleh masyarakat. Dalam jangka panjang dengan pengelolaan bebasis
konservasi, dapat memberikan dampak positif yang signifikan bagi
kelangsungan sumberdaya ikan dan ekonomi masyarakat di pesisir Pantai
Utara Jawa.
Indonesia telah mencanangkan pada
tahun 2020 memiliki 20 juta Ha kawasan konservasi. Saat ini telah
terbentuk ±16 juta Ha kawasan konservasi yang umumnya terdapat pada
wilayah 0-4 mil (KKPD). Sistem zonasi ditetapkan pada kawasan konservasi
yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, zona perikanan
berkelanjutan dan zona lainnya.
“KKP telah
mengeluarkan kebijakan untuk mengelola sumber daya kelautan dan
perikanan secara lestari dan berkelanjutan. Salah satu kebijakannya
adalah pengelolaan perikanan tangkap di perairan 0-4 mil yang
dikhususkan untuk nelayan dengan kapal di bawah 10 GT, sedangkan nelayan
skala industri (10 GT ke atas) dapat memanfaatkan sumber daya ikan di
jalur penangkapan di atas 4 mil,” ujarnya
Narmoko
menuturkan perairan di bawah 4 mil merupakan penyangga dari pengelolaan
sumberdaya ikan secara utuh. Wilayah ini merupakan daerah pemijahan,
daerah asuh dan daerah sumber makanan bagi ikan kecil dan biota laut
yang secara rantai makanan akan menopang ikan-ikan di di atas perairan 4
mil.
“Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan
tersebut tujuannya untuk mewujudkan keberlanjutan sumberdaya ikan di
perairan laut Indonesia. Hal ini sesuai dengan salah satu pilar
pembangunan KKP untuk mendukung Indonesia sebagai poros maritim dunia,”
kata Narmoko.
Ditambahkannya, nelayan lokal
sebenarnya justru lebih memahami betul bagaimana memanfaatkan ikan
secara berkelanjutan seperti, adanya hak-hak ulayat yang telah dibangun
mereka sejak lama untuk keberlanjutan sumberdaya ikan. Perairan di bawah
4 mil memang seharusnya dimanfaatkan hanya oleh nelayan kecil dan bukan
untuk nelayan industri.
“Nelayan kecil, modalnya
sedikit dan menggunakan teknologi yang sederhana sehingga tidak mampu
menangkap ikan ke arah yang lebih jauh. Sedangkan nelayan industri
mempunyai modal besar dan teknologi yang tinggi pula, jadi silakan untuk
memanfaatkan sumber daya ikan ke arah jelajah yang lebih jauh. Bahan
baku untuk industri perikanan sudah pasti tersedia, jadi untuk kapal
besar tidak perlu lagi mengambil ikan di wilayah 4 mil, biarkanlah
wilayah tersebut untuk para nelayan dengan kapal dibawah 10 GT,”
pungkasnya. (MA/CP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar