Eksportir Tak Terdaftar Gunakan Perusahaan Lain untuk Ekspor
JAKARTA, KOMPAS
— Dugaan penyelundupan ikan hasil kegiatan perikanan ilegal
disinyalir mulai marak seiring kebijakan moratorium izin kapal ikan
buatan luar negeri dan larangan penggunaan alat tangkap berbahaya.
Terkait itu, pemerintah berjanji meningkatkan pengawasan di pintu keluar
pelabuhan dan bandar udara.
Sekretaris Badan Karantina Ikan,
Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan
Perikanan (BKIPM-KKP) Agus Priyono mengemukakan itu di Jakarta, Selasa
(14/7).
Sebelumnya, saat menyampaikan penahanan 33 peti kemas
berisi ikan yang akan diekspor, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro
antara lain mengungkapkan berbagai hasil perikanan yang akan diekspor
itu tidak memiliki sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia.
"Jika
sampai lolos dan diekspor, kemudian ikan itu nanti dikonsumsi dan
mungkin menimbulkan keracunan, nama Indonesia akan ikut tercemar. Jadi,
penting bagi kita untuk menjaga kualitas ikan kita, bukan hanya soal
nilai ikannya," kata Bambang (Kompas, 14/7).
Kebijakan
pemerintah untuk menghentikan sementara (moratorium) izin kapal ikan
buatan luar negeri mulai Oktober 2014 dan larangan penggunaan alat
tangkap ikan yang berbahaya ditengarai telah menimbulkan penimbunan stok
ikan. Di sisi lain, pemerintah melarang produk ikan yang dihasilkan
kapal-kapal ikan buatan luar negeri untuk dipasarkan sampai masa
moratorium selesai, Oktober 2015.
"Muncul modus perusahaan mencari
celah untuk tetap memasarkan stok ikan dari kapal yang dibekukan atau
dilarang beroperasi. Mereka memakai calo perusahaan atau menumpang
perusahaan lain untuk ekspor," kata Agus.
Sepanjang semester
I-2015, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (BC) Kementerian Keuangan di
Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, bekerja sama dengan BKIPM-KKP telah
menahan setidaknya 37 peti kemas berisi beragam hasil perikanan yang
akan diekspor. Selain eksportir tidak teregistrasi di BKIPM-KKP, beragam
hasil perikanan yang akan diekspor tidak memiliki sertifikat sistem
kontrol keamanan pangan (Hazard Analysis and Critical Control
Point/HACCP) dan sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia.
Agus
mengemukakan, hampir seluruh pemilik barang atau eksportir dari 37 peti
kemas yang tidak teregistrasi itu menggunakan nama perusahaan lain.
Perusahaan-perusahaan itu berdomisili di Jawa dan Lampung. Adapun 1
perusahaan eksportir telah teregistrasi, tetapi lupa menyertakan dokumen
sertifikasi kesehatan untuk konsumsi manusia.
Barang bukti yang
ditemukan antara lain beragam produk perikanan, seperti cumi-cumi beku
ikan sotong beku, ikan beku campuran, udang beku, ubur-ubur diasinkan,
ikan kakap merah, ikan kembung. Selain itu, ikan tuna beku, hiu beku,
dan ikan mackerel beku.
Sejauh ini, Pemerintah Indonesia telah
membuat nota kesepahaman dengan beberapa negara mitra tujuan ekspor,
yakni Tiongkok, Vietnam, Korea Selatan, Kanada, Rusia, Uni Eropa, dan
Norwegia. Dalam nota kesepahaman itu, setiap ekspor hasil perikanan dari
dan ke dua negara hanya dapat dilakukan oleh eksportir yang
teregistrasi dan memiliki sertifikat HACCP dan sertifikat kesehatan
untuk konsumsi manusia.
Mengelabui
Menurut
Agus, sejumlah modus kerap dipakai eksportir untuk mengelabui aparat,
antara lain produk ubur-ubur yang diekspor akan dipakai untuk bahan
kosmetik. Faktanya, ubur-ubur itu ditujukan untuk konsumsi.
Ketua
Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Riza Damanik menilai, kasus
penyelundupan ikan dapat menjadi indikasi bahwa praktik pencurian ikan
masih agresif meski pemerintah tengah mengambil fokus pemberantasan itu
sendiri. Proses hukum harus segera dilakukan dengan menjangkau hingga ke
pemilik kapal atau pemilik perusahaan. (LKT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar