Oleh : Dr. Haryo Budi Nugroho
KITA
mungkin masih ingat terobosan-terobosan Menteri Kelautan dan Perikanan,
Susi Pudjiastuti, untuk mengatasi masalah penangkapan ikan ilegal atau
istilah reinua Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU Fising).
Tidak
hanya di Indonesia, masalah IUU Fishing merupakan masalah yang dihadapi
banyak negara di dunia. Untuk itu, masalah ini memerlukan penanganan
komprehensif dan melibatkan berbagai negara pantai di mana IUU Fishing
dilakukan, negara bendera kapal dari kapal yang melakukan IUU Fishing,
maupun negara pelabuhan tempat kapal-kapal pelaku IUU Fishing bersandar
dan menjual hasil tangkapannya.
Kerjasama internasional maupun
regional telah banyak dilakukan dalam upaya pemberantasan IUU Fishing.
Namun permasalahan yang kerap dihadapi adalah ketidakmampuan (atau
ketidakmauan?) dari negara terkait untuk mengikuti upaya pemberantasan
IUU Fishing.
Berkaitan dengan hal tersebut, pada 23 Maret 2013,
Sub Regional Fisheries Organization (SRFO) yang beranggotakan
negara-negara di belahan barat dunia seperti Cape Verde, Gambia, Guinea,
Guinea Bissau, Mauritania, Senegal, dan Sierra Leone, mengajukan
permintaan Advisory Opinion (AO) kepada Mahkamah Hukum Laut
Internasional (ITLOS).
Mahkamah ini adalah pengadilan
internasional khusus hukum laut yang didirikan berdasarkan Konvensi PBB
tentang Hukum Laut 1982 (the United Nations Convention on the Law of the
Sea) atau yang biasa disebut dengan UNCLOS. AO tidak serta-merta
memberikan putusan yang mengikat negara-negara secara langsung, namun
memberikan penafsiran lebih lanjut dari suatu ketentuan hukum
internasional.
Salah satu pertanyaan dari SRFO kepada ITLOS
adalah apa tanggung jawab negara bendera kapal terhadap IUU Fishing di
negara ketiga yang dilakukan oleh kapal yang mengibarkan benderanya
serta sejauh mana negara bendera kapal bertanggung jawab?
Dalam putusannya, disampaikan pada 2 April 2015, ITLOS menyatakan bahwa negara bendera kapal memiliki due diligence obligation
untuk memastikan bahwa kapal yang mengibarkan benderanya tidak terlibat
dalam IUU Fishing atau aktivitas lain yang bertentangan dengan upaya
perlindungan dan konservasi lingkungan laut.
Lebih lanjut, ITLOS
menyatakan negara bendera kapal tidak serta-merta bertanggung jawab
terhadap kegiatan IUU Fishing oleh kapal yang mengibarkan benderanya
karena kegiatan tersebut merupakan kegiatan individu. Tetapi, negara
bendera kapal dianggap tidak memenuhi kewajiban tersebut jika gagal
untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah
keterlibatan kapal yang mengibarkan benderanya dalam kegiatan IUUF.
Meskipun
AO ini tidak memberikan putusan langsung yang mengikat secara hukum,
penafsiran ITLOS dapat dikatakan mempengaruhi negara-negara lain selain
anggota SRFO. Pasalnya, jawaban ITLOS merupakan penafsiran dari
ketentuan-ketentuan UNCLOS.
Dengan demikian, meskipun AO diajukan
negara-negara anggota SRFO, negara-negara lain yang menjadi pihak dari
UNCLOS, termasuk Indonesia, dimungkinkan untuk memanfaatkan penafsiran
lebih lanjut dari UNCLOS melalui AO untuk memberantas IUU Fishing.
Pertimbangan-pertimbangan hakim dalam AO juga relevan bagi seluruh
negara pihak UNCLOS, di antaranya adalah kewajiban untuk melindungi
lingkungan laut berlaku bagi seluruh negara.
Indonesia bisa
menjadikan penafsiran dalam AO ini untuk mengajak negara bendera kapal
dari kapal-kapal yang terlibat IUU Fishing di ZEE Indonesia untuk
melakukan investigasi dan memberikan sanksi terhadap pihak-pihak yang
terlibat.
Jika negara bendera kapal menolak untuk bekerjasama,
tidak tertutup kemungkinan Indonesia dapat mengajukan tuntutan terhadap
negara tersebut ke ITLOS dan untuk pertama kali menguji aplikasi dari
penafsiran ITLOS pada AO.
Dalam hal ini, apakah ITLOS akan
mengabulkan tuntuan Indonesia bukanlah menjadi tujuan utama, tapi dengan
langkah tersebut maka hakim akan memberikan pertimbangan hukum yang
akan memperjelas hak dan kewajiban negara-negara, khususnya dalam
pemberantasan IUU Fishing.
Sudah saatnya Indonesia sebagai
negara kepulauan yang sedang giat membangun potensi maritimnya
memanfaatkan mekanisme hukum internasional dan menunjukan kemampuannya
untuk menjadi barometer hukum laut dunia.
(Penulis adalah
lulusan program master dan doktor dari the University of Virginia School
of Law dan Training Fellow pada ITLOS (2013-2014). Tulisan ini adalah
pendapat pribadi)
http://internasional.kompas.com/read/2015/07/08/07000021/Pemberantasan.Penangkapan.Ikan.Ilegal.Berdasarkan.Advisory.Opinion.Mahkamah.Hukum.Laut.Internasional?page=1
09 Juli, 2015
Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal Berdasarkan "Advisory Opinion" Mahkamah Hukum Laut Internasional
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar